SEJARAH
07.29
/
Diposkan oleh
Suparman Sb
/
SEJARAH GAYO
Sejarah Kerajaan
Kerajaan
Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus
Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga
Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar
pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan
Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah
antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo
pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah
dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja
Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin
yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa
sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja
Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang
wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali
Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).
Sebayak
Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia
dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh
Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii
atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri
atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh
Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang
selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke
daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan
Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan
Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab
migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa
Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat
anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Bahasa
Bahasa-bahasa
yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austronesia (Merrit Ruhlen
dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan
Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang
disebutkan Domenyk EadesA Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra: dalam bukunya
“Gayo
belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of
languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the
Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Eades
2005:4)
Bahasa
ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayo-Polinesia, dan
dikelompokan dalam bagian Austronesia seperti yang disebutkan Merrit
Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan
periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada
sejak suku ini menempati daerah ini. Suku Gayo sendiri sudah menempati
Aceh (Peureulak dan Pasai, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh)
sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1).
Untuk
menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini,
diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu
terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan
sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan
bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi
beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk
kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya
(masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah,
Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang),
Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh
Tenggara, juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi
menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan
dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet
ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik,
(sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian,
perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.” Terjadinya
persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo,
variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo LokopAceh Timur.
Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang
masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh
Tamiang) dan kabupaten Gayo
Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan
tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami.
Orang-orang Gayo di
kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon),
yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo
di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat
lain. atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada
di kabupaten.
Posted by : Edy linethink.Jr