BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Definisi Bencana
UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis”. Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana
dalam formulasi “The serious
disruption of the functioning of society, causing widespread human, material or
environmental losses, which exceed the ability of the affected communities to
cope using their own resources” (Abarquez & Murshed, 2004).
Definisi bencana seperti
dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
·
Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan
merusak (hazard).
·
Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,
penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.
·
Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui
kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada
dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka
berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara
bila kondisi masyarakat rentan, tetapi
tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.
B. Jenis-Jenis Bencana
Bencana terdiri dari berbagai
bentuk. UU No. 24 tahun
2007 mengelompokan bencana ke
dalam
tiga kategori yaitu:
·
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
·
Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
·
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission
(DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
·
Natural
hazard. Ini adalah hazard
karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki kendali. Manusia
dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti
tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam
bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel
2.1 Natural Hazard
·
Human made
hazard. Ini adalah hazard
sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian
fisik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini
mencakup:
o
Technological
hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan
kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard
ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan
sebagainya.
o
Environmental
degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia
sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat
lebih jauh terganggunya ekosistem.
o
Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia
pada kelompok yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada
komunitas yang lebih luas.
C. Model Manajemen Bencana
Bencana adalah hasil dari munculnya
kejadian luar biasa (hazard) pada
komunitas yang rentan (vulnerable)
sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar
biasa tersebut. Manajemen bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan
masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model manajemen bencana yaitu:
- Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning.
- Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.
- Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
- The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
·
Disaster
risk reduction framework. Model ini
menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam
bentuk kerentanan maupun hazard dan
mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.
Pendekatan lain
adalah lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) yang
terdiri dari dua kegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre
event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster
response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery.
Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster
preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi
dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction,
sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness (Makki,
2006).
Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007
menyatakan “Penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan bencana
dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:
·
Penanggulangan
bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.
·
Penanggulangan bencana dimulai dari
penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun
2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
D.
Kebijakan Manajemen Bencana
Dalam beberapa
tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana mengalami beberapa perubahan
kecenderungan seperti dapat dilihat dalam tabel. Beberapa kecenderungan yang
perlu diperhatikan adalah:
·
Konteks politik yang semakin mendorong
kebijakan manajemen bencana menjadi tanggung jawab legal.
·
Penekanan yang semakin besar pada
peningkatan ketahanan masyarakat atau pengurangan kerentanan.
·
Solusi manajemen bencana ditekankan pada
pengorganisasian masyarakat dan proses pembangunan.
Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang pada
umumnya terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda,
pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
evaluasi kebijakan. Di dalam kasus Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini berada pada tahap
formulasi kebijakan (proses penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah sedang berlangsung) dan implementasi kebijakan (BNPB telah
dibentuk dan sedang mendorong proses pembentukan BPBD di daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada tahap penetapan
agenda dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami bencana
besar sudah melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan dan
implementasi kebijakan.
Kebijakan manajemen
bencana yang ideal selain harus dikembangkan melalui proses yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai berikut:
·
Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
·
Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antara berbagai fungsi yang terkait.
·
Perubahan peraturan dan kelembagaan yang
jelas dan tegas.
·
Mekanisme kerja dan pengaturan antara
berbagai portofolio lembaga yang terkait dengan bencana.
Tabel 2.2
Kecenderungan Di dalam Kebijakan Manajemen Bencana
Sumber: Handmer & Dovers, 2007
Sistem
kelembagaan penanggulangan bencana yang dikembangkan di Indonesia dan menjadi
salah satu fokus studi bersifat kontekstual. Di daerah terdapat beberapa
lembaga dan mekanisme yang sebelumnya sudah ada dan berjalan. Kebijakan kelembagaan
yang didesain dari Pemerintah Pusat akan berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada serta secara
khusus dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Melalui UU No. 24 tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah memulai proses penyusunan kebijakan menajemen
bencana. Beberapa PP yang terkait telah dikeluarkan (PP No. 21, 22, 23 tahun 2008), sementara beberapa PP lain sedang
dipersiapkan.
E.
Pembagian Tanggung Jawab Manajemen Bencana
UU No. 24 tahun 2007 telah menetapkan bahwa pemerintah
(pusat) memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pennggulangan bencana.
Tanggung jawab tersebut mencakup:
a. pengurangan
risiko bencana (PRB) dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak
bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan
pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan
bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f.
pengalokasian
anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan
kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Sementara
tanggung jawab Pemerintah Daerah dirumuskan sebagai berikut:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan
pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak
bencana;
c. pengurangan risiko bencana (PRB) dan
pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan
bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
Pada tataran
operasional, UU No. 24 tahun 2007 telah mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 tahun 2008. Di dalam Peraturan Presiden tersebut dinyatakan BNPB memiliki tugas sebagai
berikut:
a. memberikan pedoman dan pengarahan
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan
setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan
penanggulangan bencana kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
f.
mempertanggungjawabkan
penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah.
Selain ketiga
pihak yang telah disebutkan di atas yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BNPB, UU No. 24 tahun 2007 juga mengenali peran serta pihak
lain, yaitu lembaga usaha dan lembaga internasional. Pasal 28 UU No. 24 tahun 2007 merumuskan peran lembaga usaha
dengan “Lembaga
usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik
secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.” Lebih jauh lagi diatur
bahwa lembaga usaha yang terlibat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
perlu “menyesuaikan kegiatan dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan
bencana”, “menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi
tugas…”, “mengindahkan prinsip kemanusiaan”.
Peran serta lembaga internasional dan
lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana dijamin melalui Pasal 30 ayat (1) UU No. 24 tahun 2007. Tata cara berperan dalam
penangulangan bencana telah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2008.