Tulisan ini adalah ungkapan rasa kecewa mantan pejuang GAM terhadap pemerintahan Aceh saat ini
Oleh: Armada Saleh
Aceh
Sumatera National Liberation Front (ASNLF), merupakan cetusan yang
muncul dari luapan amarah seorang tokoh Aceh kharismatik Almarhum Yang
Mulia Teungku Muhammad Hasan Di Tiro, yang menyaksikan sendiri pelecehan
Pemerintah Pusat Republik Indonesia terhadap Aceh.
Pada awal Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkannya “Pancasila” menjadi Ideologi dasar negara menggantikan “Piagam Jakarta” yang sudah disepakati sebelumnya.
Alinea
Pertama yang berbunyi: “Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban
melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan ini telah memicu
Perselisihan/Perpecahan yang berujung pada pemberontakan Darul Islam
dibawah Pimpinan KARTOSWIRYO di pulau Jawa, Teungku Daud Beureueh di
Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi.
Pemberontakan
Darul Islam di Aceh juga di picu oleh penurunan status Provinsi Aceh
menjadi Keresidenan Aceh dibawah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara,
pada tahun 1951 (Keputusan Presiden RI). Inilah jawaban Soekarno
terhadap tuntutan Aceh yang menginginkan berlaku Syariat Islam di Aceh.
Kemarahan
Rakyat Aceh sudah tidak terbendung, pertumpahan darah tidak dapat
dihindari, pemberontakan ini berakhir pada tahun 1961 dengan 3 butir
perjanjian damai yang disepakati antara Republik Indonesia dan Aceh.
Aceh
merupakan Daerah Istimewa: 1. Bidang Budaya, 2. Bidang Pendidikan, 3.
Bidang Agama. Namun demikian keistimewaan ini tidak pernah di Undangkan
oleh Pemerintah, sehingga Aceh merasa dibohongi dan dilecehkan.
Pada
tahun 1958 Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro pernah mengusulkan
kepada pemerintah pusat di Jakarta dengan tulisannya yang diberi judul
“Demokrasi Untuk Indonesia”. Beliau mengusulkan bentuk Negara Republik
Indonesia yang paling aman dan akan bertahan lama adalah berupa Negara
Federal (Negara Persatuan), bukan kesatuan.
Usul
ini ternyata tidak mendapat sambutan dari pemerintah pusat. Bahkan
selama pemerintahan presiden Soeharto, Aceh dijadikan sebagai sapi
perahan. Minyak, Gas dan Hutan Aceh dikuras habis oleh Pusat.
Aceh
hanya menerima hadiah berupa bencana longsor dan banjir. Atas restu
dari Almarhum Teungku Daud Beureueh, maka pada akhir tahun 1976 Yang
Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro memproklamasikan “Aceh Merdeka”
sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Kekayaan
Aceh yang diangkut ke Jakarta berupa hasil tambang dan penggundulan
hutan, sebahagian di kembalikan ke Aceh berupa timah panas. Pemberontak
yang diberi julukan “Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro” di Bombadir
dari laut, darat dan udara.
Darahpun tumpah membasahi tanah Aceh selama 30 tahun. “Perang Saudara” telah merenggut banyak nyawa, bahkan korban bukan hanya di pihak GAM dan Masyarakat biasa.
Penulis
juga bergabung dalam Barisan Gerakan yang dipimpin oleh Yang Mulia
Teungku Muhammad Hasan Ditiro tersebut sejak di Bai’at oleh Teungku
Ilyas Leube di Banda Aceh pada tahun 1975.
Sebelum
tertangkap di Medan pada bulan April 2003, penulis bertugas sebagai
salah seorang pimpinan sipil gerakan, berdampingan dengan Teungku Ilham
Ilyas Leube untuk wilayah Dataran Tinggi Gayo.
Dari
LP klas 1 A Porong, Sidoarjo, Jawa Timur penulis menyaksikan lewat
televisi, serangan dahsyat yang dikirimkan Allah SWT ke dataran Aceh
berupa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang merenggut ratusan ribu
korban nyawa dan bangunan serta lahan pertanian musnah.
Ternyata
bencana ini membuka hati dan kesadaran kedua belah pihak untuk lebih
intent merumuskan perdamaian, mengakhiri permusuhan.
Saat
yang diharapkanpun tiba, pada tanggal 15 Agustus 2005 kesepakatan damai
di tanda tangani oleh kedua belah pihak yang bertikai, disaksikan oleh
Uni Eropah di kota Helsinki, Finlandia.
Kami
yang berjumlah 73 orang yang tersebar di berbagai LP di Jawa Timur
mendapat Amnesti dari Presiden Republik Indonesia, selanjutnya kembali
ke Aceh dengan penuh harap dan tekad untuk tetap Damai.
Dengan
demikian Insya Allah Aceh dapat berbenah mengejar ketertinggalan dari
provinsi lainnya di Indonesia. Walaupun keadilan yang sangat diinginkan
oleh semua lapisan rakyat Aceh belum terwujud sampai kini, setidaknya
dalam kondisi damai, sektor pendidikan, kegiatan ekonomi dan pertanian
sudah mulai bergairah kembali.
Yang
Mulia Teungku Muhammad Daud Beureueh hanya menuntut berlaku Syariat
Islam di Aceh. Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro menginginkan
Indonesia merupakan Negara Federal (termasuk Provinsi Aceh).
Butir-butir
perjanjian damai memberikan kenyataan yang lebih luas dari apa yang
diperjuangkan oleh kedua Tokoh Kharismatik Aceh tersebut diatas.
Syariat Islam telah di undangkan. Aceh ditetapkan sebagai daerah Istimewa dengan predikat “Otonomi Khusus” . Keistimewaan yang sebahagian telah di undangkan, dan Sebahagian besar masih dalam rumusan di DPR Aceh.
Insya Allah semua akan terlaksana dengan baik dan tuntas selama “Niat”
senantiasa diutamakan untuk tetap damai. Saat ini masyarakat Aceh
sangat membutuhkan perbaikan kondisi sosial, terutama di daerah yang
tidak terjangkau oleh Program BRR (Badan Rehabilitas dan Rekontruksi)
pasca tsunami, yaitu daerah pegunungan.
Program
Pemberatasan kemiskinan seharusnya menjadi prioritas utama dalam
menentukan kebijakan pemerintah daerah Aceh pasca tsunami dan konflik
saat ini.
Pemerintah dan DPR Aceh terkesan memaksakan kehendak dengan menetapkan prioritas utama:
-
Qanun Wali Nanggroe, yang mengharuskan setiap calon dapat berbahasa
Aceh dengan baik dan benar (Mendiskreditkan bahasa daerah lainnya yang
ada di Aceh).
-Penetapan
Qanun Bendera Aceh yang sangat mirip Bendera GAM semasa konflik.
(Terkesan mengabadikan permusuhan dengan Republik Indonesia).
-Dengan sengaja menentukan berbagai kebijakan yang mengesankan keinginan untuk segera berpisah dari Republik Indonesia.
Semua
kebijakan tersebut diatas sangat potensial memecah belah rasa persatuan
dan kesatuan dalam masyarakat Aceh sendiri yang sangat merindukan
kedamaian. Dalam masa konflik, penulis rela bergabung bersama pejuang
yang tangguh menyusuri hutan belantara dan rimba Aceh yang sangat
bersahabat.
Ratusan
tentara pejuang menemui ajalnya dengan penuh keyakinan akan memperoleh
Syahid dalam membela keadilan dan menegakkan syariat Islam di bumi
Serambi Mekah.
Penulis
meyakini bahwa Perjuangan Yang Mulia Teungku Daud Beureueh dan Yang
Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro bukan untuk memisahkan Aceh dari
Republik Indonesia.
Tetapi
demi untuk tegaknya Syariat Islam dan Keadilan di bumi Aceh (Yang Mulia
Teungku Muhammad Hasan Ditiro dalam bukunya “Demokrasi untuk
Indonesia”). Hasil perjuangan yang sudah dicapai berupa butir-butir
kesepakatan damai merupakan medan perjuangan politik yang harus
dituntaskan dengan bijaksana dan cerdas.
Namun
demikian memprioritaskan bendera GAM berkibar menjadi bendera pemersatu
rakyat Aceh adalah Satu keputusan yang sangat keliru, bahkan menjadi
sumber perpecahan.
Untuk
saat ini rakyat Aceh memerlukan perbaikan kesejahteraan, bukan bendera
dan lambang daerah. Kebutuhan masyarakat Aceh yang sangat mendesak saat
ini adalah berupa Qanun Ekonomi, Pertanian dan Perdagangan serta
kebebasan mengelola hasil bumi Aceh atau Tambang yang dapat mempercepat
pencapaian kesejahteraannya (MOU Helsinki Pasal 1.3.1 s/d 1.3.9).
Sudah
seharusnya Pemerintah Aceh memberikan arahan skala prioritas dalam hal
pembahasan Qanun Aceh kepada DPR Aceh yang anggotanya mayoritas bukan
sarjana dan relatif extrem.
Bukan
justru memacu ego mereka untuk berhadapan dengan penuh kebencian
terhadap pemerintah pusat. Sebagai salah seorang anggota masyarakat Aceh
yang cinta damai dan sekaligus sebagai mantan anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM, penulis hanya dapat menyampaikan himbauan kepada segenap
aparat pemerintahan Aceh.
Kiranya
dapat mendengar dan mempertimbangkan saran dan masukan dari masyarakat,
karena merekalah yang akan merasakan secara langsung akibat dari
kebijakan pemerintah yang berdampak bencana.
SOLUSI DAMAI
Pergolakan
di Aceh yang dikenal dengan “Gerakan Aceh Merdeka” (GAM) di bawah
pimpinan Yang Mulia Tengku Muhammad Hasan Ditiro, didukung oleh
mayoritas masyarakat Aceh, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar
Aceh.
Pimpinan
yang kharismatik tersebut berlaku adil dan bijaksana, mencintai dan
menghormati semua suku bangsa yang hidup di bumi Serambi Mekah ini.
Semua
keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW, bahkan sebelum bendera “Aceh Merdeka” dikibarkan di puncak Gunung Halimun, beliau masih mambuka kesempatan untuk berdiskusi.
Sikap
dan keikhlasan beliaulah yang telah menuai dukungan luas dari mayoritas
masyarakat Aceh. Sangat jauh berbeda dengan kenyataan paska Aceh damai
yang dirasakan saat ini.
Visi semula yang diimpikan oleh pencetus ide perjuangan untuk “Aceh Mulia”
telah terlupakan, maka sudah sepantasnyalah mayoritas suku bangsa yang
berdomisili di Aceh menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah
Aceh yang menjurus kepada “Berakhirnya Damai”.
Keputusan
pemerintah Aceh menetapkan bendera GAM sebagai bendera Aceh merupakan
pernyataan resmi pemerintah Aceh bahwa setiap jengkal tanah Aceh dan
masyarakatnya adalah mantan Separatis GAM.
Masyarakat
yang tidak terdaftar sebagai mantan GAM tentu sangat berkeberatan
dipaksakan berdiri dengan sikap sempurna memberi hormat kepada bendera
Aceh tersebut yang pernah menjadi trauma di hati mereka.
Mempertimbangkan
penolakan sebagian masyarakat Aceh dari hal Qanun Bahasa, Lambang dan
Bendera, yang telah di syahkan oleh DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh,
Penulis
menyarankan bahwa semua Kabupaten yang tidak sepakat dengan Qanun
tersebut agar memberikan pernyataan resmi dari DPR Kabupaten yang
bersangkutan, di Syahkan oleh Bupati/Walikota masing-masing.
Kabupaten
dan Kotamadya tersebut di himpun dalam satu atau dua kelompok untuk
segera dibentuk satu atau dua provinsi baru terpisah dari provinsi Aceh.
Hal ini lebih menjamin agar tidak terjadi Konflik horizontal antara
masyarakat di Aceh.
Mencari penyelesaian Qanun bendera melalui ”REFERENDUM”
sebagaimana yang diusulkan oleh DPR Aceh pada pertemuan di Makasar
tanggal 17 Mei yang lalu merupakan usul yang tidak selayaknya diutarakan
dalam suasana Aceh damai saat ini.
Wallahu A’lam
Wassalam
Penulis: Armada Saleh