Berdagang Seperti Penjual Susu
Oleh: Ismail Gayo*KOTA Madinah terlihat sepi dari lalu lalang orang. Hawa musim dingin yang menyayat pori-pori kulit membuat setiap orang enggan untuk keluar rumah. Apalagi sudah lewat tengah malam. Tapi tidak begitu halnya dengan khalifah yang pertama kali diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ ini. Amanah ummat yang dibebankan diatas pundaknya justru membuat kedua matanya enggan untuk sekedar terpejam di malam hari. Rakyatku… Rakyatku! Iapun bangkit dan beranjak keluar menyusuri setiap lorong-lorong Madinah, untuk melihat kondisi rakyatnya. Begitulah kebiasaan unik Khalifah Umar bin Khattab dalam menghabiskan sebagian waktu malamnya.
Lama ia berjalan ditemani seorang pembantunya. Rasa lelah mulai menggelayuti tubuhnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk istirahat sejenak. Ia bersandar melepas lelah di sebuah dind-ing rumah sederhana di sebuah perkampungan di Madinah. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan percaka-pan antara seorang ibu dengan puterinya, pemilik rumah tersebut.
“Campurkan air pada susu yang mau kita jual, nak!” kata ibu kepada puterinya. “Bagaimana mungkin aku mencampurnya dengan air, bu! Bukankah Amirul Mukminin telah melarang para penjual susu untuk melakukan itu???”
“Penjual-penjual susu yang lain juga mencampur susu mereka dengan air. Sudahlah, nak, campur saja! Amirul Mukminin pasti tidak tahu apa yang kita lakukan!
“Bu, jika Amirul Mukminin tidak mengetahuinya, maka Tuhan Amirul Mukminin tentu menge-tahuinya…”
Umar bin Khattab tak kuasa menahan air matanya ketika mendengar ungkapan sang anak kepada ibunya. Ungkapan yang sederhana, tapi keluar dari jiwa yang bertakwa, sehingga mengun-dang air mata orang yang mendengarnya. Air mata takwa, dari jiwa yang takwa, ketika mendengar ungkapan ketakwaan.
Umar bin Khattab gembira mendengar kata-kata itu. Ia bergegas menuju masjid untuk mela-kukan shalat subuh, kemudian pulang ke rumah dan memanggil salah satu puteranya, ‘Ashim, lalu memintanya untuk menimba informasi tentang keluarga penjual susu tersebut.
‘Ashim datang menemui Umar bin Khattab, menyampaikan semua informasi tentang perempuan penjual susu dan putrinya. Kemudian Umar menceritakan percakapan antara mereka yang didengarnya tadi pagi menjelang fajar. Ia menyuruh ‘Ashim untuk menikah dengan puteri penjual susu itu.
“Pergilah kepadanya dan nikahilah ia, nak! Aku melihat ia adalah wanita yang diberkahi. Mudah-mudahan suatu saat nanti ia akan melahirkan orang hebat yang akan memimpin Arab !”
Keduanya pun akhirnya menikah dan dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Laila, atau biasa dipanggil dengan Ummu ‘Ashim. Mereka mendidik Laila dengan baik, dalam suasana keluarga yang kental dengan nilai-nilai Islam, sampai ia tumbuh menjadi seorang gadis yang memahami dan mengamalkan Islam dalam hidupnya.
Laila menikah dengan putera khalifah Daulah Umawiyah yang keempat, namanya Abdul Aziz. Dari perkawinannya itulah lahir seorang anak yang nantinya akan memenuhi dunia dengan keadilan. Dialah Umar bin Abdul Aziz.Subhanallah…
Dimana kita wahai pedagang,…
Yang mengurangi timbangan dan takaran, menyampur minyak tanah dengan solar, minyak serai wangi atau nilam dengan air, kopi dengan beras atau jagung, madu dengan air gula,. Inilah terjadi di pasar pasar kita, yang mengaku diri sebagai Islam padahal curang dalam berdagang. Bahkan sebahagian berani bersumpah dengan nama Allah I. Beli.. beli.. ini asli, murah meriah sambil teriak teriak, masak dibatang padahal diperam. Na’uzubillah.
Bukankah Allah telah melarang dan mengancam dengan firmannya: kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. ( Q.S Al Muthafifin 1-3).
Bukankah hasil dagangan kita gunakan untuk diri dan keluarga. Yang seharusnya seorang muslim harus memperhatikan ke halalannya, agar riski yang kita dapatkan menjadi berkah baik didunia apalah lagi di akhirat.
Bagaimana kita bisa mendapatkan keturunnan yang baik dan ber akhlak mulia sedangkan kita tidak memperhatikan darimana harta yang kita dapat. Dan ini berpengaruh besar, bagaimana tidak, seorang yang terpelihara harta dari yang haram akan membuat keberkahan bagi dirinya dan keturunnya. Nabi bersabda:
Hakim bin Hizam radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah r : “Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah”, Atau sabda Beliau: “hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya”. (H.R Bukhari No : 1937)
Bukankan kesolehan seorang anak berpengaruh dari harta yang didapat, lihatlah kisah di atas berawal dari kejujuran dan membuahkan keturunan yang bertaqwa yaitu Umar bin Abdul Azis.
Mudah mudahan cerita tersebut dapat membuat kita agar berhati hati dan selalu berlaku jujur dalam berdagang. Karena sesungguhnya dunia hanya sementara yang tidak ada apa apanya, dan semua kita akan binasa. Sedangkan harta yang kita dapatkan akan dipertanggung jawabkan.(ismailgayo.louser[at]gmail.com)
Refrensi:
- Sumber: “90 Kisah Malam Pertama”, Abdul Muththalib Hamd Utsman,Pustaka Darul Haq
- Hadits Kutubussittah
* Warga Gayo asal Kuta Ujung