SEJARAH YANG TERTINGGAL DI GAYO
(KERAJAAN LINGE)
(KERAJAAN LINGE)
"Cap Stempel Reje Linge"
PENDAHULUAN
Fhoto
di atas adalah sebagian bukti yang tidak jelas keberadaannya, yang
merupakan "peninggalan Kerajaan Linge", ada lagi peninggalan Kerajaan
Linge konon orang desa setempat mengatakan bahwa rumah adat pitu ruang
(tujuh ruang) itu adalah tempat tinggal Kerajaan Linge dari Raja Linge
I-XIII, tapi ini semua di dapatkan berdasarkan hasil wawancara saja.
Pertanyaan yang mungkin timbul salah satu dari kita adalah, siapakah
raja yang I, II, III dan seterusnya sampai ke XIII tersebut yang pernah
menjadi raja di kerajaan linge itu sendiri? Kemudian
dalam hal ini juga ada sedikit yang belum jelas, yaitu tentang Silsilah
dari Kerajaan Linge itu sendiri, yang konon kata penjaga rumah itu ada
sampai 13 Raja yang berkuasa di Kerajaan Linge pada saat itu, tapi
apakah benar adanya ini semua? atau mungkin hanya cerita belaka saja,
atau juga mungkin referensi tentang menyangkut silsilah ini belum
ditemukan.
Siapa yang harus di salahkan? Pemerintah, Sejarawan, Tokoh Masyarakat, atau orang tua terdahulu? Semua benar, mengapa demikian? Buktinya:
- Pemerintah kurang memperhatikan sejarah, bisa dilihat dari tempat kantor kerja pemerintah Aceh Tengah, contohnya di kantor Bupati Aceh Tengah, di kantor ini hampir setiap sudut ruangan tidak ada yang bercorak bangunan Gayo, Misal Kerawang Gayo. Di daerah Pematang Siantar, setiap kantornya itu ada corak dari pada adat bangunan kantor tempat mereka kerja. Sebab itulah kota Pematang Siantar menjadi terjaga dan banyak di minati oleh wisata-wisatawan asing datang kesana, Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak bisa?.
- Sejarawan juga kurang spesifik dalam hal ini, pasalnya sejarawan kurang mengkaji lebih dalam tentang Kerajaan Linge, akibat dari pada hal tersebut, semua orang yang ingin mengkaji tentang Kerajaan Linge ini menjadi tidak berminat, ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini, semua generasi penerus tidak sedikit yang mau meneliti lebih dalam tentang hal ini, tapi referensi dari Kerajaan Linge ini minim, kalaupun ada, itu tidak dijadikan sumber utama, karena bukti-bukti dari referensi atau sumber itu hanya kebanyakan dari hasil wawancara saja.
- Tokoh masyarakat, terkadang kita harus selalu menanyakan tentang apa saja yang terjadi di masyarakat kita, yang selalu harus di korelasikan dengan tokoh masyarakat kita. Misalnya saja dalam hal adat, ada pesta pernikahan, yang selalu di hadiri oleh tokoh masyarakat dimana dia berdomisili, tetapi akankah tokoh masyarakat itu mengerti bagaimana dengan adat gayo yang sebenarnya? Akankah Tokoh masyarakat itu mengerti sejarah adat pernikahan gayo? Inilah yang seharusnya dilakukan oleh tokoh masyarakat kita, yang mampu memperkenalkan sejarah lebih banyak kepada masyarakatnya.
Pada
hakikatnya suatu negara, atau suku bangsa itu maju dengan mengerti akan
jati diri mereka. Dewasa ini kita sering mendengar dari kalangan ilmuan
sains yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki arti penting dalam
ilmu manapun, mereka membuktikan dengan tidak adanya manfaat yang
diberikan oleh ilmu sejarah di dalam berbagai bidang ilmu pada saat ini,
terlebih lagi jaman sekarang telah mengikuti
perkembangannya dengan ilmu pengetahuan yang serba canggih melalui
media dunia maya yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia
dan perkembangan jaman itu sendiri. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya
peranan dari kalangan sejarawan atau orang-orang terdahulu yang
mengimplementasikan sejarah itu sendiri. Padahal, apabila kita tinjau
dari beberapa pandangan mengenai arti pentingnya ilmu sejarah itu
sendiri adalah :
- Ilmu sejarah dapat menyadarkan kita kepada jaman terdahulu yang sangat maju dan berkembang dari berbagai bidang, contohnya saja pada jaman penjajahan kolonial Belanda, bangsa Belanda sendiri sangat sulit menguasai daerah Aceh sendiri, hal ini di sebabkan oleh orang-orang Aceh sendiri yang memegang erat agamanya sendiri, hal itulah yang menyebabkan penajajahan kolonial Belanda lama menguasai Aceh.
- di nasional sendiri kita pernah menguasai sebagian Asia, yaitu dengan kerajaan Majapahit, yang dengan semboyan palapa-nya.
Dari
kedua contoh diatas kita seharusnya mengikuti jejak-jejak dari pada
sejarah tersebut. Yang mana seyogiayanya kita mengeratkan agama kita
agar kita tidak dapat lagi di kuasai oleh penjajahan yang tidak nampak
jelas jika di pandang melalui pandangan kasat mata. Karena dengan agama
lah kita dapat menghambat datangnya penguasa-penguasa yang memandang
sebelah mata kepada kita.
Kemudian
dari kerajaan Majapahit kita selayaknya selalu membuat semboyan atau
“visi-misi” istilah sekarang yang membuat kita berpegang teguh dengan
tujuan tersebut untuk mencapai suatu tujuan dalam berbagai hal, baik
dalam hal pendidikan, maupun dalam hal politik dan lainnya.
Untuk
mencoba membuat referensi yang "detail" mengenai Kerajaan Linge itu
sangatlah sulit, karena amat sedikitnya referensi atau sumber mengenai
Kerajaan Linge itu sendiri. Kemudian timbul pertanyaan "Mengapa hal itu
bisa terjadi hal seperti itu? Sehingga membuat binggung generasi penerus
dalam memberikan penjelasan tentang jati diri dari suku Gayo itu
sendiri!".
Suatu titipan bagi generasi muda yang harus mengungkap bagaimana sejarah Kerajaan Linge itu sebenarnya, apakah benar dengan adanya Kerajaan Linge
itu? Semua kalangan harus mengupas tuntas yang menyangkut hal ini,
karena masalah ini adalah masalah jati diri suku bangsa gayo itu
sendiri. Dalam hal ini kembali kita ingat akan kata pahlawan kita
Jenderal Sudirman,"Tidak ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan, tidak
ada kekuatan kalau tidak ada persatuan dan persatuan itu harus disertai
dengan silaturrahmi. Maka dari pernyataan tersebut, bisa dikutip, untuk
membuat suatu pernyataan, kita harus menyatukan perbedaan pendapat dalam
konteks Kerajaan Linge ini, tidak boleh mengutamakan pendapat suatu individu untuk di jadikan referensi atau sumber yang utama.
Sangat
sulit untuk membuat suatu referensi tentang Kerajaan Reje Linge,
pasalya semua ini di akibatkan oleh kurangnya sumber-sumber tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Sampai saat ini orang-orang gayo sendiri sangat kurang dalam menulis tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Jika berbicara lebih luas mengenai Kerajaan Linge, maka harus banyak juga melakukan penelitian, baik penelitian secara kualitatif, maupun kuantitatif.
Sejarah
kerajaan linge ini adalah salah satu hasil penipuan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa yang secara turun temurun mengelapkan kita untuk
bangkit dalam mendalami asal kejadian dari kerajaan linge itu sendiri
yang merupakan juga asal dari pada suku gayo itu sendiri.
Adanya
Kerjaan Linge itu betul ada, tapi yang diragukan sekarang adalah
sejarah dari pada Kerjaan Linge itu simpang siur. Dengan adanya beberapa
bukti yang sampai saat ini masih ada, kita mempercayai dinasti Kerjaan
Linge itu ada, salah satu pecahanya adalah samudra pasai (pase) yang
merupakan keturunan Raja Lingga (linge).
Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/, saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?
Untuk
membicarakan suatu kenyataan sejarah, maka tidak terlepas dengan
bukti-bukti yang harus dikaitkan dalam penulisan. Dari referensi di atas
menurut dapat disimpulkan adanya Kerajaan Linge itu sekitar 60%,
mengapa demikian? Karena ilmu sejarah itu bisa di buktikan dengan 4 hal,
1) Fakta (bukti Peninggalan), 2) Waktu, 3) dimana terjadinya kejadian
tersebut? 4) Wawacara dengan orang yang berhubungan dengan kejadian
tersebut. Dengan demikian Semua kejadian sejarah, di perlukan bukti yang
kuat untuk menjadikannya suatu sejarah yang sah.
Kerajaan Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh Tengah.
Untuk mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
Kerajaan Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh Tengah.
Untuk mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
ASAL KATA LINGE
Kata linge terdiri dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang
maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas,
begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau
masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi
Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti
hanya sedikit dari yang diharapkan.
Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/, saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?
Di
situs lain dikatakan juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein
mengatakan bahwa Reje Linge itu merupakan kekeberen istilah gayo dan
berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang langsung mereka wawancarai
dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam
kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô
yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri
pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya
Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13,
sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M).Kerajaan
Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal
dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang
terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau
Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama
Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut,
dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat
nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara
merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah
Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke
Karô).
Raja
Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang
perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan
Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika
besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran
Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena
kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal
ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah
Karô.
Walau
pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati
sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu
Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka).
Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.
Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali
Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut
Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya
memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat
ia terakhir bersama rombongan.
Tinggallah
Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam
sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu
dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian
diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan
bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai
berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.
Terdapat
sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah
yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan
kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut
diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya
atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya.
Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang
belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia
amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya
menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di
Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.
Namun,
ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin
Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi
adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi
meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja
Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk
mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.
Setelah
lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang
disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu
di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum,
mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka
berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir
terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang
sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko
lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran
air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana
dilarang memakan daging Giôngén.
Sesampai
diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya
dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya
diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut
kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya
membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.
Akhirnya
mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka
sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang
hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia
maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat
tersebut telah melahirkan.
Mereka
lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak
tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak
mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan
sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.
Dalam
keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di
kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi,
maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak
tersebut.
Mereka
pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun
mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu.
Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari
informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan
bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa
sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau
keturunan Raja Lingë.
Mengetahui
hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan
tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô
Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada
saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil
keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan
(bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima
Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari
Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka
bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya
ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut
jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal
Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan
adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di
Karô.
Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë
Sepeninggal
adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau
Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku
Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama
Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.
Ketika
jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada
murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam
ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.
Ketika
rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam
peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King
atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari
Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga
banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai
akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.
Ketika
tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya
kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus
serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut
akhirnya masuk Islam Raja Langkra.
Setelah
itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima
Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah,
yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal
oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.
Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.
Setelah
itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran
sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil
dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis
pertahannya terakhir di Lingkë.
Melihat
hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan
peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri
Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan
mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.
Putri
Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya
di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi
dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa
belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan
Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.
Kemenangan
tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat
menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga
Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I
Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.
Malam
Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan
meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi
pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.
Kerajaan Malik Ishaq
Islam
pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak,
sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.
Sewaktu
terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai
20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan
perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang
akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.
Anak
Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang
Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi
tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan
tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.
Muyang
Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah,
Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang
bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua
orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga
mereka merencanakan akan membunuhnya.
Kesempatan
itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak
perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô
(berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak
ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai
hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu.
Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.
Ketika
Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari
anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang
oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan
untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke
Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.
Keanehan
atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari
Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti
anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan
kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing
tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah
Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang
Bersah.
Kemudian
Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh,
Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh,
didahului dengan nama Mérah.
Keenam Anak Muyang Mérsah
Keenam
Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena
malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari
kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar
kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar
terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut
hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka
sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada
daerah yang akan ditempatinya.
Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.
Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.
Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.
Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.
Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah Sinabung
Mérah
Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa
Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai
Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu
daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa
dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga
akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil
memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut
akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,
Keduanya
mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah
Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan
tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat
dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan
yang terjadi.
Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi
ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja
sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia
mengajar mengaji.
Lama
kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim,
tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian
ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan
Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil
dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.
"Turun
ni edet ari Pute Merhum (Reje Linge) Ukum ari Cek Serule". Ini
penggalan Isi dari Pasal 1 dalam Naskah Tua berjudul "45 Pasal Edet
Negeri Linge". Artinya kurang lebih: Reje Linge adalah yang pertama
merumuskan mengenai Edet Gayo yang
disusun bersama para ulama dan pemimpin Gayo pada saat itu (sekitar
Tahun 450 Hijriah). Tentang Edet Gayo apa saja yang disusun oleh Reje
Linge, bisa dibaca dalam naskah tua berjudul "45 Pasai Edet Negeri
Linge", namun kira2 inti dari isi pasal2 tersebut adalah mengatur
pemerintahan, Hukum dan norma2 sosial kehidupan bermasyarakat di Tanoh
Gayo.
Sedangkan " Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat,Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat " berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat. Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Nah, Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).
Lebih jauh, mungkin bisa dibaca dalam buku "SARAK OPAT" dan Naskah Tua "45 Pasal Edet Negeri Linge"
Sedangkan " Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat,Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat " berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat. Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Nah, Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).
Lebih jauh, mungkin bisa dibaca dalam buku "SARAK OPAT" dan Naskah Tua "45 Pasal Edet Negeri Linge"
No comments:
Post a Comment