5 Peristiwa di Aceh Yang Paling Bersejarah Sepanjang Masa
Written By mus de oranje on 31 Juli 2012 | 23:22
Sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek.
Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.
Sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe).
Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Memang
sejarah di aceh cukup banyak. tapi inilah sejarah aceh yang paling
mengerikan yang pernah terjadi di aceh yang saat ini telah menjadi
sejarah.
1. Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak
G.C.E van Daalen |
Pembantaian
Tanah Gayo, Alas, dan Batak dilakukan oleh KNIL di bawah pimpinan
G.C.E. van Daalen pada tahun 1904 selama Perang Aceh.
Latar belakang dari terjadinya pembantaian ini diawali Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang.
Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis.
Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.
Latar belakang dari terjadinya pembantaian ini diawali Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang.
Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis.
Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.
Overste Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues. |
Kampung
Bambel yang berada di atas Krueng Singkil dijadikan bivak; dari tempat
itu, berturut-turut kubu di Likat dan Kute Lengat Baru jatuh pada
tanggal 20 dan 24 Juni setelah perlawanan berat. Dalam pertempuran di
Likat, pasukan Belanda membantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang
mati terbunuh, di antaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang
anak-anak.
Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
Bacaselengkapnya di WIKIPEDIA
2. Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut . Sumber Wikipedia |
Kerkoff
Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh.
Kompleks kuburan ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Salah satunya
terletak di kota Banda Aceh, dan sekarang menjadi objek wisata menarik,
khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).
Sebagaimana
diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan
Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan
harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban
dikedua belah pihak.
Gerbang Kerkoff Peucut (1890-1910) ( Wikipedia ) |
Bukti
sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini
dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di
antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya
yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. yang kuburannya
masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda
sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi
kuburan tersebut.
Kuburan
Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di
luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang
Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman
mereka pada saat Perang Napoleon.
Sebaliknya
tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan
setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.
Di area ini, juga terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda, yaitu Amat Popok yang berzina dan dijatuhi hukuman rajam.
3. Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera (1831)
Serangan Belanda ke Pantai Barat Sumatera. Dalam gambar itu tampak Let. Bisschoff. Sumber : Wikipedia |
Invasi
Belanda ke Pantai Barat Sumatera dilaksanakan oleh Koninklijk
Nederlandsch-Indisch Leger di bawah pimpinan Jan Jacob Roeps dan Andreas
Victor Michiels pada tahun 1831.
Pada
tanggal 7 Februari 1831, kapal Friendship milik Amerika Serikat
dirompak di Kuala Batee oleh orang-orang Aceh. Tak lama setelahnya,
skuner Dolfijn milik Belanda juga dibajak; usaha membawa kembali kapal
itu gagal, namun ketakutan akan perselisihan dengan Britania Raya dan
pecahnya perang dengan Aceh membuat Belanda tidak mengambil tindakan
lanjutan apapun. Akibatnya, orang-orang Aceh menjadi nekat dengan
menduduki Barus dan sejumlah pos milik Belanda. Oleh karena itu,
diputuskanlah untuk memperluas kekuasaan Belanda di Pantai Barat
Sumatera hingga Singkil. Barus, Tapus, dan Singkil sendiri merdeka dari
Kesultanan Aceh, meskipun kesultanan mengklaimnya. Karena ketiga daerah
tersebut bukan bagian Kesultanan Aceh, Belanda tidak merasa perlu
terikat dengan Perjanjian Sumatera.
LetKol.
Roeps (komandan di Barus) hanya diperintahkan memimpin serbuan khusus
saja. Didorong oleh tekanan penduduk Aceh yang bermusuhan, ia
melancarkan sejumlah ekspedisi, yang dengan itulah ia melibas perlawanan
bersenjata. Di salah satu pertempuran, ia terluka parah oleh tembakan.
Andreas Victor Michiels kini maju dengan 700 prajurit dan anggota salah
satu skuadron ke Barus dan banyak orang Aceh di kubu pertahanannya. Let.
Bisschoff menaiki tembok pembatas salah satu bangunan itu dan merebut
bendera Aceh. Musuh merebutnya kembali dan mendaratkan 11 luka sabet
kepadanya. Dengan meninggalkan senjata dan amunisi, musuh berlari ke
Tapus dan Singkil, tempat kekuatan utama orang-orang Aceh yang dipimpin
oleh Mohammad Arief. Di sini, musuh juga dihalau setelah diberangus
senjatanya dan tujuan ekspedisi kecil ini tercapai. Dengan demikian,
Singkil masuk Hindia-Belanda.
4. Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004
Operasi
militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah
Indonesia) adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira
satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua
minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh
Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh
Yang bewarna Hijau Adalah Lokasi Aceh Indonesia Lokasi Operasi Meliter 2003-2004 Tepatnya pada Tanggal 19 Mei 2003 – 13 Mei 2004 |
Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
Komandan
Megawati Soekarnoputri Hasan Di Tiro
Endriartono Sutarto Muzakkir Manaf
Kekuatan
30.000 tentara 5.000
12.000 polisi
total: 42.000
Jumlah korban
2.000 tewas (kebanyakan warga sipil)
5. Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami 24 Desember 2004
Gempa
bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan
95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota
Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang
pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia
(Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia,
Maladewa dan Thailand.
Menurut
Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan
Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga
minggu 2/1) mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia
Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan
pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB
memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di
Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk
karena masih banyak daerah yang terisolir.
Sementara
itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262
orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami
diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita
Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka
sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat
Aceh dan Sumatera Utara.(***)
No comments:
Post a Comment