Menguak Sejarah Kerajaan Islam Perlak
Image via Wikipedia
Judul Asli: Menguak Sejarah Kerajaan Islam Perlak, Misteri Kitap Tua Idharul Haq
Oleh Nab Bahany As
PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab
Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan
meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam seminar
itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan hanya
lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang
belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang mengatakan kita
Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat
bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan
Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak
peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat pertama
berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum adanya
ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah.
Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam
pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai yang
terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk
teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang dirham
pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan
kerajaan Islam Samudra Pasai.
Keraguan
para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang
hanya mengambil dari sumber kita Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak,
perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan kegiatan
sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi, Kecamatan
Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang warga
bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit.
Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang
terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk
tanah gayo.
Selama
berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia lanjut.
Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik rumah
memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya
sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul
Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil
beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa
kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama
tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten
Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh
Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur
Mitra saat itu.
Tgk.
Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut ruangan,
hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada saya. Kami
mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga masalah
sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam Perlak di
Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian Kerajaan Islam
Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah. Ternyata ia juga ikut dalam
seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara
tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun
mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq,
kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan
dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil
memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke
dalam huruf latin.
Saya
kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab berukuran
30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya periksa.
Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu adalah
hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis sama
dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun mengaku
kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya karena ia
sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah dibawa kemana
pun.
Lepas
asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan
keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan
Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya
tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab
Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke
dalam huruf latin.
Menginat
kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah Islam di
Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu Drs
Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada di
tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus menjadi
koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak
direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak
punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.
Menggali ulang
Kita patut bangga atas upaya Yayasan Monisa yang dipimpin Drs. Badlisyah yang didukung Pemkab Aceh Timur yang akan menggali kembali keabsahan sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an. Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu
Kita patut bangga atas upaya Yayasan Monisa yang dipimpin Drs. Badlisyah yang didukung Pemkab Aceh Timur yang akan menggali kembali keabsahan sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an. Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu
nisan
pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat
di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama
kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria,
alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana didugna, bahwa
batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada
tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya.
Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan
bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab. Menurut Deddy Satria bentuk batu
nisan pada makam Sultan Maulana Abdul Aziz Syah yang kami gali itu ada
kemiripannya dengan nisan-nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja
Samudera Pasai, dimana bentuk nisan seperti itu diperkirakan hasil
produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi. Artinya, bahwa batu nisan pada
makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar
Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu nisan tertua di Aceh, karena
menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu nisan seperti itu juga
ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera Pasai Aceh Utara.
Temuan
Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah menjadi
kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara
tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam tertua di
Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul
Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan Maulana Abdul Aziz
Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera
Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam tertua diragukan.
Nah,
sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan
sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak
yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28
kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad
(Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20
tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30
menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.
Kami
langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami untuk
menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami yang
memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang pernah
memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di Desa
Suka Jadi Aceh Tengah. Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren,
mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal
dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan
harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah
diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya
20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Membongkar dokumen keluarga
Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak. Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah. Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak. Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah. Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Alhamdulillah,
alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan cucu Kek Adu.
Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab Idharul Haq,
ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil sahabatnya
di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan pada keluarga.
“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus
kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah
disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan
kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.
Dimana kitab Idharul Haq berada?
*
Penulis adalah alumnus Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, anggota masyarakat
sejarawan Indonesia (MSI) Aceh, dan ketua (LSKPM) Banda Aceh.
sumber : http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/03/11/menguak-sejarah-kerajaan-islam-perlak/
sumber : http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/03/11/menguak-sejarah-kerajaan-islam-perlak/
No comments:
Post a Comment