Meraba Jejak Kerajaan Linge dan Islam di Gayo
Oleh : Irwandi MN*
SENJA itu mentari
nyaris pulang keperaduannya, suatu pertanda bahwa bumi akan segera
larut dalam gelapnya perputaran waktu. Namun bak menyibak hukum alam,
Waspada bersama tim arkeologi mulai menerobos keremangan, di bawah
curah hujan yang kala itu menguyur Aceh Tengah.
Tujuan utama Waspada bersama tim Balar
Medan, melintasi perjalanan panjang sekitar 100 kilometer menuju
lokasi Kerajaan Linge, dari Kota Takengen, Aceh Tengah untuk
meliput temuan artefak (benda atau data arkeologis) berupa fragmen
zaman sejarah.
Jalan menanjak dan menurun dengan cuaca
kurang bersahabat tak menyurutkan semangat tim saat itu. Sementara,
mendekati tujuh kilometer terakhir menuju lokasi ekskavasi di Linge,
kendaraan yang ditumpangi tim sempat terdengar meraung. Karena
sebagian jalur lintas ‘ terkoyak’ diantara lapisan tanah merah dan batu
koral. Hal ini terkadang memacu adrenalin dan degup jantung.
Singkatnya, kendati rombongan ini telah
sampai di tujuan terakhir. Namun rintangan belum berlalu. Jembatan
menuju areal bersejarah di Linge ini ternyata belum layak pakai (putus).
Terpaksa menuju ke sana, tim harus mengarungi sungai kecil
berkedalaman sekitar 60 centimeter.
Selanjutnya, setelah melewati anak
sungai dengan kondisi cuaca malam kian mengulita, regu ini kembali
harus menempuh jarak 200 meter dengan berjalan kaki, mengunakan senter
mancis sebagai pelita. Menuju rumah sang juru kunci makam Reje (raja)
Linge. Yang mana, sejumlah tim arkeolog lainnya telah menunggu
kedatangan tim susulan ini.
Setelah sejenak melepas lelah serta
beramah tamah dengan keluarga Abd Razak Aman Jalil (juru kunci makam
Reje Linge). Kemudian Waspada bersama tim gabungan arkeolog Balar Medan
ini, disuguhkan makan malam oleh tuan rumah. Dilanjutkan dengan
hidangan kopi panas sebagai tradisi menu ‘menyambut’ tamu di Gayo.
“Dalam penelitian kali ini kami
menemukan serpihan sisa benda dari zaman sejarah. Meski berbentuk
fragmen (serpihan atau pecahan), namun dari sinilah kita akan memulai
menggali keberadaan sejarah Kejayaan Linge pada masanya,” ungkap ketua
tim arkeolog, Lucas Partanda Koestoro saat mengawali perbincangannya
dengan Waspada di Buntul Linge.
Dia katakan, meski ekskavasi yang
dilakukan masih di luar benteng kerajaan Linge, namun, selain fragmen
keramik dan gerabah, juga telah ditemukan serpihan tulang (bovidae).
Khusus temuan pecahan benda, diketahui berasal dari negeri China dan
Eropa.
“Fragmen bercorak tembikar ini merupakan
barang bernilai pada masa itu. Ini memperlihatkan bahwa Linge sebagai
daerah kerajaan di Pedalaman Sumatera memiliki hubungan budaya dan
dagang dengan daerah lain yang berjauhan (pesisir).”
“Ditaksir, temuan ini juga masih
berusia muda. Penyebarannya ke Linge melalui niaga diduga dengan cara
barter pada abad 19-20 masehi. Selain itu, berdasarkan batu nisan di
makan Reje Linge dengan tulisan kalimat toibah dari abad 17-18 masehi,
diketahui bahwa masyarakatnya menganut kepercayaan dan ajaran Islam,”
lanjut Lucas.
Untuk mengetahui secara pasti
kepercayaan apa yang dianut sebelum Islam di abad 17-18 masehi di
Linge? Dia mengatakan pihaknya harus kembali melakukan penelitian lebih
mendalam. Apalagi hingga kini, bukti secara tertulis belum ditemukan. Di
mana sumber yang ada masih berdasarkan keterangan warga setempat
melalui cerita legenda secara turun temurun.
“Di Buntul Linge ini masih ditemukan
bukti fisik bekas istana kerajaan. Namun tidak ditemukan prasasti maupun
bukti tertulis pendukung lainnya. Hanya saja ditemukan bentuk umum
batu nisan yang kerap dijumpai di nusantara, dikenal dengan sebutan batu
aceh. Bahkan corak seperti ini telah pernah ditemukan di Malaysia,
Tanjung Pinang dan di Banten,” tuturnya.
Masa Kejayaan Linge, Peradaban Gayo Telah Maju
Masih menurut, Lucas Partanda Koestoro,
berdasarkan keterangan diperoleh pihaknya dari warga setempat jauh
sebelum abad 20 masehi, etnik Gayo di Linge telah memiliki peradaban
maju. Mereka mampu mengolah bahan pangan seperti; garam dan minyak
sayur tanpa ketergantungan dengan daerah pesisir.
“Image yang berkembang warga pedalaman
(Gayo-red) begitu ketergantungan dengan daerah pesisir untuk
mendapatkan bahan pangan. Tapi berdasarkan hasil penelitian kami, hal
ini bisa saja tidak benar. Karena Etnik Gayo masa lalu di Linge telah
mampu menghasilkan garam maupun minyak dari bahan kelapa,” jelasnya.
Di masa kejayaan Kerajaan Linge, tutur
Lucas, masyarakat telah mengolah garam dari pohon pepoa (poa-garam)
dengan tehnis melakukan pembakaran. Di mana abunya kemudian direbus
dengan air. Ampasnya-lah yang dijadikan garam. Meski dari segi rasa
kurang enak, namun kandungan yodium tak jauh beda dengan produksi garam
zaman modern.
“Untuk minyak sayur sendiri, warga Linge
pada masa itu telah memiliki bahan baku kelapa. Ditambah potensi alam
yang cocok untuk bertanam kelapa, berada diketinggian 600 -1000 meter
dari permukaan laut (DPL). “
“Artinya, produksi minyak sudah melimpah
kala itu, bahkan dari penuturan tetua di sini, hasilnya pernah
dipasarkan hingga ke daerah Gayo Lut, (Takengen), setidaknya berlaku
hingga dibawah tahun 1950-an,” kata lucas menutup ceritanya, sembari
mengajak timnya untuk beristrahat, karena waktu telah menunjukan jam
malam. (bersambung)
*Wartawan Harian Waspada. Tulisan ini sudah pernah di harian Waspada edisi 27 Nopember 2012
No comments:
Post a Comment