Penyebab “Dewe Peroloken” dalam Masyarakat Gayo
Salman Yoga S.“Dewe” dalam tata bahasa Gayo mempunyai makna sebagai suatu bentuk komunikasi antar satu orang atau lebih tentang suatu permasalahan yang tidak sepaham baik menyangkut pendapat, atau tentang benda yang bergerak dan tidak bergerak yang bersifat tendensius. Atau bahkan tidak jarang terkadang juga bermuatan emosi yang selanjutnya berakibat pada pertentangan secara verbal dan fisik. Dalam pengertian sederhana kata “dewe” berarti juga debat atau pertentangan antar satu orang atau lebih.
Makna dan pengertian tersebut sebagai satu suku kata. Makna dan pengertiannya akan dan dapat berubah menjadi kata kerja, kata sifat atau bahkan menjadi kata benda apabila diimbuhi atau ditambah dengan awalan atau akhiran, seperti kata bedewe, kin pedewen, pedewen, idewei dan pedewenen.
Sedang kata “peroloken” dalam tata bahasa Gayo mempunyai makna tunggal dengan arti batas. Yang dimaksudkan dengan “dewe peroloken” dalam konteks ini adalah gambaran sederhana tentang terjadinya perdebatan atau sengketa menyangkut batas hak kepemilikan tanah atau wilayah yang terjadi di tengah masyarakat. Faktor penyebab terjadinya dan proses penyelesaiannya dalam adat Gayo.
Proloken atau batas tanah/wilayah seseorang baik berupa perkebunan, sawah, perkarangan rumah dan lain sebagainya dalam budaya Gayo disimbolkan dan dan disesuaikan dengan keadaan topografi alam, tetumbuhan atau benda mati lainnya seperti batu dan lain sebagainya. Untuk lahan pertanian berupa perkebunan dan persawahan simbol atau tanda yang dijadikan batas berdasarkan letak geografi alam seperti buntul (gunungan tanah), arul (tanah landai), pematang/tangkir (ketinggian tanah miring), geldok (lembah), rak kucak (parit kecil), rak kul (parit besar), patal (batas antar petak sawah).
Simbol berdasarkan tetumbuhan berupa pepohonan seperti batang nangka, alpukat, kerto, atang, bambu, kulit manis, pohon pisang, ongkal, gelowah, jedem dan lain sebagainya. Sedangkan simbol yang digunakan untuk batas rumah adalah pepir (dinding antar rumah dengan rumah lainnya menjadi satu), rering (dinding rumah), teroto (tempat jatuhnya air hujan dari atap), elem-elemen (halaman), peger (pagar). Dalam pepatah kesemua hal tersebut dinyatakan dengan kalimat adat belang mupancang uten mutene.
Penggunaan simbol tersebut menjadi batas tanah atau wilayah, dalam masyarakat Gayo adalah merupakan sesuatu yang telah umum dan telah menjadi kesepakatan bersama yang tidak tertulis. Batas-batas tersebut dalam konteks adat pula dianggap sah, dan apabila terjadi perubahan tempat dan kedudukan simbol tersebut dapat mengakibatkan terjadinya dewe peroloken dan persengketaan dalam masyarakat. Perubahan dan pergeseran simbul batas juga dapat mengakibatkan seseorang merasa terusik kehormatan dan harga dirinya. Perasaan itu timbul sebagai implementasi dari pengamalan prinsip adat denie terpancang yang dipegang teguh secara turun temurun, yaitu satu perinsip menyangkut harga diri atas wilayah kepemilikan.
Berdasarkan konsepsi batas kepemilikan harta yang didasarkan atas simbol-simbol tofografi alam dan benda, maka potensi terjadinya dewe peroloken atau sengketa tanah dalam masyarakat sesungguhnya amatlah potensial. Faktor tersebut lebih diakibatkan karena batas yang digunakan tidak bersifat permanen. Dari banyak kasus tentang dewe peroloken, terjadi disebabkan oleh simbol alam dan simbol tetumbuhan yang digunakan mengalami pergeseran dan perubahan sebagai akibat dari gejala alam yang insidental, seperti gempa, longsor, erosi, penebangan, pembusukan atau karena penyebab lainnya yang mengakibatkan kabur dan samarnya batas kepemilikan dari yang semula.
Namun dalam hal-hal tertentu bukan faktor simbol batas saja yang dominan dalam melahirkan sengketa. Penyebab lain dalam beberapa kasus di beberapa kampung juga kerap menjadi pemicu. Di antaranya adalah pengalihan kepemilikan akibat pembagian warisan/jual beli yang tidak didasarkan atas bukti/surat yang sah.
Sumber pokok kekuatan dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat biasanya mengandalkan lisan dari sang pewaris kepada penerima waris, tanpa menetapkan batas secara jelas ditambah dengan keberadaan saksi. Terjadinya kesalah fahaman dalam menginterpestasi amanat (wasiat warisan) dari pewaris mengakibatkan kurang tepatnya dalam menentukan besar kecil, sedikit banyak atau sempit luasnya.
Faktor lain yang tidak kalah menarik adalah jual beli. Proses jual beli warisan yang dilakukan secara sepihak, dibawah tangan, tanpa menggunakan alat ukur yang standar, atau ukuran tanah yang dijual berbeda ukurannya dengan akad yang telah disepakati sebelumnya. Jual beli dilakukan secara berulang, pemilik pertama menjual tanahnya kepada si polan, polan kemudian menjualnya lagi kepada si polin demikian seterusnya sehingga mengakibatkan batas tanah berdasarkan letak geografi dan topogarfi alam dan tetumbuhan berubah dan semakin kabur.
Adanya penuntutan dari ahli waris yang dalam konteks adat Gayo disebut juga dengan hak langis tentang satuan luas-sempit, besar- kecil dan sedikit- banyaknya warisan, sebagai implikasi dari pewaris yang telah meninggal dunia. Banyak lagi faktor penyebab lainnya seperti keserakan yang berlebihan dengan cara mengorek, mencongkel, mengikis atau mengeser batas yang sudah ada.
Lemahnya struktur dan konsep batas kepemilikan harta dalam adat Gayo yang mengakibatkan terjadinya dewe peroloken, bukan berarti tanpa dibarengi dengan konsep penyelesaian. Adat Gayo telah mengatur dan telah mengantisifasi hal tersebut dengan ketentuan-ketentuan adat yang nyaris sempurna. Konsep utama yang dipakai adalah berdasar kemusyawaratan dalam sistem keperintahan sara opat, dengan berpijak pada pepatah dewe ayat uleken ku firman, dewe hadits ulekan ku sunnah.
*Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Teganing Edisi Khusus Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-4, 2004.
No comments:
Post a Comment