Ranub Lampuan
Ranub (daun sirih) bagi orang Aceh tidak hanya difungsikan sebagai salah satu jenis tumbuhan yang sangat besar mengandung kasiatnya bagi kesehatan. Akan tetapi sirih ini sekaligus dijadikan lambang kehormatan dan kemuliaan dalam menjamu setiap orang yang datang ke Aceh. Kasiat bagi kesehatan orang Aceh sampai sekarang masih meyakini bahwa sirih sangat baik dikonsumsikan untuk kesehatan gigi dan kesehatan tubuh lainnya. Hal itu terbukti, banyak orang tua di Aceh giginya, mesikipun sudah berusia 70-80 tahun giginya masih terlihat kuat karena terus mengkonsumsi sirih.Sedangkan fungsi sirih sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan bagi Aceh. Sirih ini selalu dijadikan menu awal bagi setiap tamu yang datang ke tempatnya. Sebelum disuguhkan minuman atau makanan lainnya bagi tamu, orang Aceh lebih dulu meyuguhkan sirih dalam memuliakan tamunya. Bahkan dalam tradisi orang Aceh dulu bila hendak mengundang orang untuk menghadiri suatu upacara perkawinan, mereka hanya membawa sirih (bukan surat undangan seperti sekarang). Setalah sirih itu diberikan pada orang yang hendak diundang baru disampaikan secara lisan bahwa orang tersebut diundang untuk hadir pada pesta perkawinan yang akan diselenggarakan.
Bagi saudara-saudaranya atau rekan dan kaum kerabat lainnya tinggal berjauhan untuk menyampaikan undangan itu juga dikirimkan sirih melalui seseorang. Pada orang yang menyampaikan sirih itulah diamanahkan agar suadara-saudaranya serta kaum kerabat yang menerima sirih itu berkenan menghadiri undangam perkewinan tersebut.
Demikian pula untuk menyajikan sirih kepada tamu besar (tamu negara) yang datang ke Aceh. Karena untuk tamu ini tidak mungkin disungguhkan sirih satu persatu, maka penyajian sirih dikemas dalam sebuah tarian yang diberi nama “Tari Lanub Lampuan”. Tarian ini secara filosofis selain menggambarkan proses merangkai sirih yang siap untuk dimakan, gerakan tarian “Ranub Lampuan” ini juga menggambarkan rasa penghormatan dan rasa mulia orang Aceh dalam menyambut kedatangan tetamunya.
Tari Ranub Lampuan biasanya ditarikan oleh 9 orang penari wanita dengan kustum pakaian adat wanita Aceh yang diiringi dengan musik Seurune Kale. Pada akhir tariannya, para penari yang terdiri dari dara-dara jelita, itu mereka langsung turun dari pentas menyungguhkan sirih (ranub) yang ada di dalam puan kepada para tamu yang duduk di depan pentas. Sungguhan ini adalah sebagai rasa kemuliaan dan kehormatan orang Aceh kepada para tamunya.
Kononnya, “Tari Ranub Lampuan” ini ada dalam masyarakat Aceh sejak dari zaman kesultanan Aceh yang ditarikan oleh penari-penari istana dalam menyambut tamu-tamu besar kerajaan. Tapi tidak diketahui secara pasti bagaimana gerakan “Tari Ranub Lampuan” yang dimainkan oleh penari-penari istana Aceh dahulu. Karena tentang kesenian ini tidak meninggalkan literatur yang dapat dijadikan bahan kajian sekarang ini.
Akan tetapi, “Tari Ranup Lampuan” ini mulai terkenal dalam masyarakat Aceh setelah seorang Komponis Aceh bernama Yusrizal (pencipta tarian ranub lampuan) meperkenalkan tarian ini pada pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pertama tahun 1972, yang kemudian tari yang diberinama “Tari Ranub Lampuan” ini terus dipopularkan oleh seorang murinya bernama ikhsan.
Malah menurut pengakuan seorang koreografer tari di Banda Aceh Anton Setia Budi menerangkan, bahwa sebenarnya “Tari Ranub Lampuan” sudah diciptakan Yusrizal sejak tahun 1964, tapi tarian ini pertama sekali ditampilkan pada tahun 1972 dalam Pekan Kebudayaan Aceh pertama. Sejak itulah “Tari Ranub Lampuan” mulai popular di Aceh.
Pada saat ini Tari Ranup Lampuan juga sering dimainkan pada acara “walimah” (pesta pernikahan). Ranup dalam puan yang dipegang oleh setiap penari, disuguhkan kepada setiap tamu yang hadir. Tarian ini biasanya diiringi dengan musik instrument Aceh, dan sering juga diiringi dengan musik yang menggunakan alat tradisional Aceh seperti Serune Kalee, Rapa’I, dan Geunderang.
No comments:
Post a Comment