Gerakan Aceh Merdeka
Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara
Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut
kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh
menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang
berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka,
Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung
kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.Pada 23 Agustus
1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi
Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia
sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh,
seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein
Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini,
kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen.
Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh,
M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah,
perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan
tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika
pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara
ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta
menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai
Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara terus labil dan
Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide
datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh.
Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia.
Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika.
Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia.
Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII
Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat
Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII
pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas,
terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke
hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan
masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan
lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno.
Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh
status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika.
Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh.
Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini.
Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh.
Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini.
Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer
bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda
dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar
Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris
di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah
satu peserta pelatihan.
Pemuda kader GAM juga berhasil masuk
dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama
bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus
dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi,
angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut,
prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000
personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).
Jalur
ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim
melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke
Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga,
yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur
penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi,
dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir
Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi,
pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan
khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil
Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah
personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah
korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar
enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari
jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di
Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan,
GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom
rakitan.
Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan
SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang
menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis
Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang
Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan
Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata.
Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe
dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur.
Jenis senjata yang
diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek,
pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan.
Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain.
Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata
GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini
dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal
ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki
sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini
bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro
Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM
di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang dimiliki TNI juga
dimiliki GAM.
Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab,
sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas
tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit
and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada
TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata
otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air.
Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap
anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan
uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka
mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha
Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia,
Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib
yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di
Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan
wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp
100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera
tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM
Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10
milyar ke GAM untuk biaya keamanan.
GAM kerap melakukan gangguan
bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan,
GAM mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem
komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan
GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM
juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga
memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan
aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.
Sistem
organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive.
Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang
ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak
berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan
Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak
zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat
Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh
menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa
menaklukkan mereka.
No comments:
Post a Comment