Peace Agreement
Sejak kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949 Indonesia masih terus
berjuang untuk melepaskan politik dari pengaruh militer dan
kecenderungan sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Di bawah pemerintahan
dua presiden pertama Indonesia, Soekarno (1945-1967) dan Soeharto
(1967-1998), the country menjadi semakin otoriter. Periode Soeharto
secara khusus ditandai dengan pemusatan kekuasaan pada eksekutif (dan
di ibukota Jakarta), besarnya pengaruh militer dalam politik, dan
pembatasan terhadap organisasi-organisasi politik dan kebebasan
berekspresi, termasuk pemilihan umum (pemilu)
Reformasi secara luas diperkenalkan di bawah pemerintahan
Presiden Habibie (1998-1999), yang menggantikan Soeharto setelah
pengunduran dirinya pada Mei 1998 setelah menghadapi protes masyarakat
di tengah krisis keuangan Asia. Di bawah pemerintahan Habibie, berbagai
pembatasan terhadap partai politik dihapuskan, pemilihan umum
demokratis pertama sejak 1955 dilaksanakan, undang-undang otonomi
daerah diperkenalkan, dan Timor Timur diizinkan untuk menyelenggarakan
referendum mengenai kemerdekaan. Namun, di bawah pemerintahan yang
tidak terlalu efektif dari presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan
Megawati Soekarnoputri (2001-2004), transisi Indonesia ke arah politik
yang lebih demokratis masih tidak menentu dan inkonsisten. Pensiunan
jenderal TNI, Susilo Bambang Yudhoyono, memenangkan pemilihan presiden
langsung yang pertama di negeri ini pada September 2004.
Setelah kesuksesan karier militernya, termasuk penugasan
di Timor Timur pada tahun 1970an, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi
salah satu menteri cabinet pada tahun 1999 di bawah pemerintahan
Presiden Wahid. Ia kemudian mencalonkan diri menjadi presiden bersama
dengan wakilnya Jusuf Kalla pada tahun 2004, mengalahkan Megawati
Soekarnoputri di putaran kedua. Latar belakang militer Yudhoyono
menyumbangkan legitimasi bagi pernyataannya bahwa konflik di Aceh tidak
akan dapat diselesaikan melalui jalur militer semata; pengaruh dan
kontak-kontaknya di jajaran militer juga memungkinkannya untuk
mengamankan proses perdamaian dari gangguan-gangguan dari dalam tubuh
TNI.
Selama karir militernya Yudhoyono dikaitkan dengan faksi
pro-reformasi. Meskipun ua diperikan mandate yang kuat untuk memerintah
melalui pemilu 2004 partainya, Partai Demokrat, merupakan partai
minoritas, menjadikan Yudhoyono tidak hanya rentan terhadap pengaruh
wakilnya yang juga merupakan Ketua Partai Golkar, Jusuf Kalla, namun
juga terhadap sejumlah partai politik yang memiliki perwakilan besar di
parlemen dan cabinet.
Wakil Presiden Jusuf Kalla
Sebagai salah seorang menteri dalam kabinet
Presiden Megawati, Jusuf Kalla memfasilitasi perundingan damai di
konflik-konflik lokal di Maluku dan daerah asalnya Sulawesi. Setelah
terpilih sebagai wakil presiden ia juga terpilih sebagai Ketua Umum
Partai Golkar, partai terbesar dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Ini
memberikan posisi yang kuat bagi Kalla untuk membujuk partai-partai
politik nasional lainnya untuk menyetujui inisiatif Helsinki. Kalla
berupaya meletakkan dasar bagi legalisasi partai politik lokal di Aceh,
dalam rangka memberikan saluran yang sah dan damai bagi
institusionalisasi aspirasi rakyat Aceh. Namun, sinergi yang tampak
dalam hubungan Kalla-Yudhoyono selama proses Helsinki sejak awal
dibayangi oleh spekulasi tentang persaingan di antara dua sosok ini.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Menurut konstitusi, MPR adalah lembaga tertinggi negara
memiliki fungsi-fungsi termasuk menentukan kebijakan negara dan
mengubah Undang-undang Dasar, dan sampai tahun 2004, ketuka pemilihan
presiden langsung diperkenalkan, memilih presiden dan wakil presiden.
Majelis ini beranggotakan 695 orang, termasung 550 yang juga merupakan
anggota DPR dan 130 perwakilan daerah yang dipilih oleh legislatif dari
26 provinsi dan sampai tahun 2004, 65 orang anggota yang ditunjuk dari
berbagai kelompok masyarakat, termasuk militer dan kepolisian
Indonesia. Pada tahun 2004, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk;
anggota DPD dipilih melalui sistem pemilihan tunggal dan tidak dapat
dialihkan yang mengalokasikan empat orang perwakilan dari masing-masing
provinsi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan institusi
legislative utama, terdiri dari 550 anggota yang dipilih melalui sistem
perwakilan proporsional terbuka. Sampai tahun 2004 DPR juga terdiri
dari 38 orang anggota yang ditunjuk dari militer dan kepolisian
Indonesia, sebuah ketentuan yang berakhir dengan adanya pemilu parlemen
tahun 2004. Meskipun presiden masih merupakan kekuatan yang menentukan
dalam perpolitikan Indonesia, salah satu aspek dari era Reformasi
sejak tahun 1998 adalah penguatan lembaga legislative, dengan DPR saat
ini menjadi aktor yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi keputusan
eksekutif dan mengajukan perundang-undangan.
Kekuatan Keamanan Pemerintah
The Indonesian military (Tentara Nasional Indonesia(TNI)
Militer Indonesia merupakan kekuatan utama dalam
perpolitikan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, ia
sendiri adalah seorang jenderal. Sebelumnya dikenal dengan singkatan
ABRI, melalui keberadaannya TNI telah diterjunkan untuk berbagai
operasi kemanan internal dan anti-pemberontakan daripada pertahanan
terhadap ancaman eksternal. Pejabat-pejabat militer memainkan peran
penting dalam politik sejak kemerdekaan sampai pada tahun 2004 TNI
(dengan Kepolisian Republik Indonesia) diwakili tidak hanya di DPR
namun juga di legislatif daerah di seluruh Indonesia. Berbagai
pembatasan terhadap posisi-posisi di dalam pemerintahan lokal bagi
pejabat karya juga dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh militer dalam
pemerintahan daerah. Di bawah reformasi, pejabat karya tidak lagi
ditunjuk untuk mengisi posisi-posisi penting di dalam birokrasi sipil.
Reformasi di beberapa aspek, seperti pendanaan militer, tidak terlalu
berhasil, dan tidak terlalu banyak kemajuan dalam mengakhiri impunitas
bagi pejabat-pejabat militer yang disangka melakukan pelanggaran hak
asasi manusia.
Sampai pada tahun 1999 Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) merupakan bagian dari TNI; pemisahan Polri secara resmi
dilakukan pada Juli 2000. Kekuatan Polri banyak diterjunkan untuk
peran-peran paramiliter, seringkali (seperti dalam kasus Aceh) dalam
operasi-operasi gabungan TNI-Polri. Brigade Mobil (Brimob)
adalah pasukan operasi khusus milik Polri, awalnya didirikan pada tahun
1945 untuk melucuti senjata tentara Jepang dan kemudian menjalankan
fungsi-fungsi paramiliter.
Dengan pengurangan secara substansial dalam hal pendanaan
(dilaporkan mencapai 75%) TNI terlibat secara luas dalam berbagai
aktivitas bisnis dalam rangka membiayai institusi ini.
Perusahaan-perusahaan asing yang memiliki profit yang besar, seperti
ExxonMobil di Lhokseumawe, Aceh, masuk ke dalam wilayah ‘kebijakan
perlindungan’ TNI. Melimpahnya sumber daya alam di Aceh juga menarik
keterlibatan illegal TNI dalam bidang perikanan, pembalakan, lalu
lintas obat-obat terlangan, kopi, minyak kelapa sawit, dan perdagangan
hewan liar. Kepentingan finansial seperti ini dipercayai signifikan
dalam memperkuat keengganan TNI untuk menarik diri dari Aceh.
Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan
yang dilakukan oleh TNI tercatat selama periode ini, terutama selama
berbagai operasi di Timor Timur, Aceh, Papua, dan operasi menumpas
gerakan komunis di tahun 1960an. Operasi anti-pemberontakan di Aceh
dengan target rakyat sipil dan gerilyawan GAM, berakibat pada banyaknya
korban yang jatuh di pihak sipil.
Partai-partai Politik
Selama masa pemerintahan Soeharto sampai sistem
multipartai murni diperkenalkan pada tahun 1999, hanya ada tiga partai
politik yang diakui di Indonesia, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari beberapa partai-partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan gabungan dari partai-partai nasionalis dan Kristen, dan Golkar,
partai pemerintah di bawah Soeharto, yang didominasi fungsionaris
pemerintahan dan personil militer. Sejak tahun 1999 arena partai
politik telah lebih terfragmentasi, dengan adanya 17 partai yang
memiliki wakil di DPR melalui Pemilu Legislatif tahun 2004 dan tujuh di
antaranya masuk dalam kategori ‘partai besar’ yang mendapatkan suara
lebih dari 5%. Partai-partai besar lainnya adalah partai-partai yang
berorientasi Islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partainya Presiden Yudhoyono, yaitu Partai Demokrat
Para pemimpin Golkar, banyak dari mereka yang disangka
melakukan korupsi, mendominasi pemerintahan provinsi Aceh sebelum
ditandatanganinya undang-undang otonomi khusus oleh DPR pada tahun 2001.
Ketua Golkar Abdullah Puteh terpilih sebagai gubernur pada bulan
November 2000 oleh DPRD Aceh namun pada tahun 2005 dipecat dan
dipenjara dengan tuduhan melakukan korupsi. Partai Persatuan
Pembangunan juga memiliki pendukung yang signifikan di Aceh. Dengan
dimungkinkannya partai politik lokal di Aceh, Nota Kesepahaman (MoU)
Helsinki menghapuskan pelarangan terhadap partai lokal atau daerah di
Indonesia.
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Struktur pemerintah lokal Aceh sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, terdiri dari seorang gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung sejak tahun 2006. Provinsi ini terbagi menjadi 23 kabupaten dan kota. Pemerintahan lokal Aceh sempat dikenal sebagai salah satu yang paling korup di negeri ini, mendorong gerakan anti-korupsi di bawah Presiden Yudhoyono dan pemecatan Gubernur Abdullah Puteh. Pada Desember 2006 mantan anggota GAM Irwandi Yusuf memenangkan pemilihan gubernur Aceh.
Struktur pemerintah lokal Aceh sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, terdiri dari seorang gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung sejak tahun 2006. Provinsi ini terbagi menjadi 23 kabupaten dan kota. Pemerintahan lokal Aceh sempat dikenal sebagai salah satu yang paling korup di negeri ini, mendorong gerakan anti-korupsi di bawah Presiden Yudhoyono dan pemecatan Gubernur Abdullah Puteh. Pada Desember 2006 mantan anggota GAM Irwandi Yusuf memenangkan pemilihan gubernur Aceh.
Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki membuka ruang bagi
pemerintahan sendiri yang lebih luas bagi Aceh relative terhadap
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, memberikan otoritas bagi
pemerintah Aceh atas semua bidang kecuali hubungan luar negeri,
keamanan dan pertahanan nasional, kebijakan moneter dan fiskal, hukum
dan kebebasan beragama (meskipun kenyataannya ketentuan ini identik
dengan apa yang terdapat di dalam undang-undang otonomi yang berlaku di
seluruh wilayah di Indonesia). Namun, Undang-undang Pemerintahan Aceh
mengaburkan ketentuan-ketentuan ini dan melemahkan otoritas yang
diamanahkan kepada struktur pemerintahan lokal.
Milisi Pro-pemerintah
Sejumlah kelompok pembela diri dan milisi pro-pemerintah,
yang direkrut, didukung, dan dipersenjatai oleh militer Indonesia,
aktif di Aceh. Aktivitas mereka meningkat pasca-penerapan darurat
militer di Aceh pada Mei 2003. Delapan belas ‘front anti-GAM’ terbentuk
antara periode Desember 2003 hingga Maret 2004 di bawah paying Front
Perlawanan Separatis GAM (FPSG); front-front ini berfungsi untuk
membantu intelijen untuk komando lokal TNI. Milisi-milisi
pro-pemerintah juga bertanggung jawab atas tiga penyerangan terhadap
kantor Komite Keamanan Bersama yang bertugas untuk mengawasi Perjanjian
Penghentian Permusuhan (CoHA)
Gerakan Aceh Merdeka, (GAM)
GAM didirikan pada 4 Desember 1976 dan awalnya dikenal
dengan Acheh-Sumatra National Liberation Front (Front Nasional
Pembebasan Acheh-Sumatra/ASNLF). Pendiri GAM adalah Tengku Hasan
Muhammad di Tiro (secara luas dikenal sebagai Hasan di Tiro), berasal
dari keluarga ulama ternama di Kabupaten Pidie dan terlibat dalam
revolusi nasional Indonesia di daerah ini. Pada awal 1950an Hasan di
Tiro pindah ke Amerika Serikat di mana ia kemudian menjadi mahasiswa,
pembela internasional untuk pemberontakan Darul Islam dan juga seorang
pengusaha. Agenda perjuangan GAM berbeda dari tuntutan yang lebih
religius pemberontakan Darul Islam dengan secara eksplisit merangkul
ideology nasionalis yang bertujuan untuk kemerdekaan yang berdaulat.
Operasi untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh
militer segera mengakhiri usaha pertama GAM untuk memulai
pemberontakan pro-kemerdekaan. Pada tahun 1979 Hasan di Tiro terpaksa
melarikan diri dari Indonesia. Hasan di Tiro akhirnya tiba di Swedia di
mana ia membentuk pemerintahan dalam pengasingan (GAM Swedia)
menempatkan dirinya sebagai ‘kepala negara’. Dengan dukungan dari
Libya, GAM berhasil untuk kembali berkumpul pada akhir 1980an dan
memulai kembali pemberontakannya di Aceh, menimbulkan respons militer
untuk jangk waktu yang panjang dengan kekerasan dan represi pada awal
1990an.
Selama masa konflik, GAM memalui sayap militernya (dikenal
sejak tahun 2002 sebagai Tentara Nasional Aceh/TNA), menggunakan
taktik strategi gerilya kota dan hutan untuk menyerang berbagai posisi
TNI dan Brimob. GAM menerapkan struktur yang membagi Aceh ke dalam 17
wilayah, yang masing-masing memiliki komandan lokal yang memiliki kontak
langsung dengan GAM Swedia. GAM juga dikritik atas pelanggaran hak
asasi manusia, termasuk penculikan terhadap rakyat sipil, pengeboman
tanpa pandang bulu, terutama sekolah-sekolaj, dan perlakuan terhadap
migran Jawa di Aceh. GAM juga menangani dengan kejam penentangan
internal, menghancurkan tantangan internal di selatan Aceh pada tahun
2001. Namun, para pendukung GAM membantah dengan menyebutkan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh GAM jauh tidak
signifikan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh TNI, dan bahwa
perlakuan terhadap etnis Jawa didorong oleh keterlibatan kelompok ini
dalam milisi pro-pemerintah.
GAM memasuki perundingan dengan pemerintah Indonesia pada
tahun 2000 dalm perundingan yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre
for Humanitarian Dialogue (HDC). Kegagalan perundingan ini dan kemudian
Kesepakatan Penghentian Permusuhan mengarah pada munculnya kembali
permusuhan yang secara serius melemahkan kapasitas militer GAM. Ketika
tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004 GAM berada dalam posisi
bertahan. Pasca-tsunami GAM menyatakan gencatan senjata secara sepihak
dan organisasi ini kemudian menghentikan penggunaan kekerasan sebagai
bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Agustus 2005 dengan Pemerintah.
Malik Mahmud, ‘Perdana Menteri’ GAM, memimpin tim perunding GAM. GAM
selanjutnya dihadapkan dengan keharusan baru: pembentukan struktur yang
efektif untuk terlibat di dalam perpolitikan sipil dan reintegrasi
pejuang GAM ke dalam kehidupan sipil. Untuk menanggapi tantangan ini
GAM membentuk struktur-struktur baru, yang paling menonjol adalah Komite Peralihan Aceh (KPA),
yang dirancang untuk mengoordinasikan aktivitas mantan kombatan TNA.
KPA merupakan instrument untuk memobilisasi dukungan untuk mantan
anggota GAM yang bersaing dalam pemilu-pemilu lokal tahun 2006,
terutama di daerah-daerah pedesaan.
Keretakan mulai muncul di dalam tubuh GAM terkait strategi
pemilu dan isu-isu terkait lainnya menjelang pemilu. Sebagian pemimpin
senior yang berbasis di Swedia dan para pendukung mereka
mengesampingkan para pemimpin dari generasi muda di Aceh, terutama
mereka yang ada di dalam KPA. Transformasi GAM menjadi kekuatan politik
sipil dengan bersaing dalam proses politik in terlihat cukup berhasil
dengan penampilan yang menonjol dari para mantan anggota GAM atau
calon-calon dalam berbagai pemilu lokal tahun 2006. Sampai akhir 2007
hampir setengah wilayah Aceh di tingkat kabupaten dipimpin oleh
individu-individu yang berafilasi dengan GAM. Namun, meskipun gubernur
dan mantan anggota GAM, Irwandi Yusuf, masih popular dan bebas dari
keterkaitan dengan korupsi, citra pergerakan ini secara keseluruhan
mulai menurun akibat dari berbagai skandal korupsi, meningkatnya angka
kriminalitas, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi terkait proses
reintegrasi dan penyediaan lapangan kerja bagi para mantan anggota GAM.
Irwandi Yusuf
Lahir di Aceh pada tahun 1960, Irwandi Yusuf bergabung
dengan GAM pada 1990. Ketika menempuh studi di bidang ilmu kedokteran
hewan di Amerika Serikat pada 1993 ia mengaku pergi ke Amerika Latin
untuk dilatih perang gerilya. Sekembalinya ke Aceh ia menjadi ahli
strategi dan propaganda GAM. Tertangkap pada tahun 2003 dan dihukum
tujuh tahun penjara di Banda Aceh, Irwandi berhasil melarikan diri
ketika penjaranya terkena tsunami tahun 2004. Meninggalkan agendanya
terdahulu yang pro-kemerdekaan, Irwandi mencalonkan diri sebagai
gubernur dalam pemilu 2006 sebagai calon independent dan menang dengan
38 persen suara.
Aktor Masyarakat Sipil
Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin oleh
Muhammad Nazar, didirikan pada 1999. SIRA dibentuk dari koalisi
organisasi mahasiswa yang menuntut hak masyarakat Aceh untuk mengadakan
referendum untuk memilih apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia
atau merdeka. SIRA memainkan peran yang signifikan dalam mendukung
Irwandi Yusuf dan kandidat-kandidat lainnya yang berafiliasi dengan GAM
dalam pemilu 2006. Didirikan pada tahun 2989 Flower Aceh adalah
organisasi perempuan Aceh pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan
dalam konteks konflik. Organisasi ini bekerja dengan wanita-wanita
pengungsi dan terlibat dalam advokasi terkait kekerasan gender oleh
negara maupun aktor-aktor non-negara. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Aceh merupakan dua organisasi hak asasi manusia yang mendokumentasikan
berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua pihak
di dalam konflik.
Mekanisme Pemantauan
Komite Keamanan Bersama (JSC) awalnya dibentuk di
bawah paying Kesepakatan Bersama untuk Jeda Kemanusiaan di Aceh bulan
Mei 2000. Badan ini diaktifkan kembali pada 20 Desember 2002 dalam
kerangka Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) untuk memantau
pelaksanaan perjanjian ini dan menginvestigasi berbagai pelanggaran.
Badan ini memiliki 150 tim pemantau yang terdiri dari unsur-unsur TNI,
GAM dan tim internasional yang terutama berasal dari tentara Thailand
dan Filipina.
Misi pemantau internasional ditarik setelah serentetan
serangan terhadap kantor-kantor JSC oleh milisi pro-pemerintah yang
didukung oleh TNI. Misi Pemantau Aceh (AMM) dibentuk dan didanai
oleh Uni Eropa melalui Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa,
bekerja sama dengan lima negara anggota ASEAN. Tim ini diterjunkan pada
September 2005 dengan mandat selama enam bulan untuk memantau segala
aspek dalam Perjanjian Damai Helsinki, termasuk pemusnahan senjata,
relokasi militer ‘non-organik’, reintegrasi anggota GAM yang telah
didemobilisasi, perubahan-perubahan peraturan, dan situasi hak asasi
manusia. AMM juga diberi mandat untuk memediasi berbagai sengketa
terkat amnesti dan mengatur berbagai keluhan terkait pelanggaran
terhadap perjanjian Helsinki. Misi ini merupakan misi pemantau Uni
Eropa pertama di Aceh dan terdiri dari 226 tim pemantau yang berasal
dari Uni Eropa, Norwegia, Swiss, dan lima negara anggota ASEAN
(Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura), yang diterjunkan
ke 11 kantor. Tim pemantau ini dianggap secara luas mampu menegakkan
kesepakatan damai secara efektif dan menjaga reputasi netralitas,
meskipun tim ini lemah dalam hal sumber daya untuk menginvestigasi
berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Pada bulan Maret 2006 mandat
AMM diperbaharui namun dengan jumlah tim yang dikurangi, dan kemudian
berakhir setelah pemilu lokal di Aceh bulan Desember.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA)
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk pada bulan Februari
2006 dengan tujuan untuk menyalurkan dana untuk program-program yang
membuka mata pencaharian bagi mantan anggota GAM yang usulannya
disampaikan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA). Dana BRA juga disalurkan
untuk mantan anggota milisi pro-pemerintah dan anggota GAM yang telah
menyerahkan diri sebelum Nota Kesepahamaman (MoU) Helsinki. Upaya
reintegrasi memiliki kelemahan akibat dari ketiadaan mekanisme
akuntabilitas dan evaluasi, inefisiensi dan definisi BRA yang sangat
luas dari target penerima bantuan. KPA memiliki kekuasaan dan jaringan
patronase yang signifikan melalui kontrol atas proses pengajuan
nama-nama penerima bantuan ke BRA, dan pada 4 April 2007 Gubernur
Irwandi menunjuk Nur Djuli, mantan juru runding GAM, sebagai Ketua BRA
yang baru. Meskipun Nur Djuli kemudian melakukan reorganisasi BRA,
masih terdapat berbagai persoalan terkait dengan jangka waktu penyaluran
dana dari Jakarta dan distribusi di tingkat daerah.
Aktor Internasional
Crisis Management Initiative
Crisis Management Initiative (CMI) didirikan
pada tahun 2000 oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari
sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di bidang
advokasi untuk keamanan yang berkelanjutan dan berbagai dimensi lainnya
dari resolusi konflik.
CMI diminta untuk memfasilitasi perundingan antara
pemerintah Indonesia dan GAM melalui kontak personal antara Farid
Husain, Deputi Menteri Kesejahteraan Sosial dan pengusaha Finlandia,
Juha Christensen. Perundingan dimulai setelah tsunami Desember 2004 dan
menghasilkan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Agustus 2005
Martti Ahtisaari
Martti Ahtisaari mulai bekerja untuk Kementerian Luar
Negeri Finlandia pada akhir 1960an. Pertama kali ditempatkan sebagai
duta besar untuk Tanzania pada awal 1970an, ia kemudian memainkan peran
penting dalam transisi Namibia menuju kemerdekaan pada tahun 1990.
Ahtisari terpilih sebagai Presiden Finlandia pada tahun 1994.
Keterlibatannya dalam menyelesaikan sejumlah konflik, di antaranya
membujuk Slobodan Milosevic untuk menarik pasukannya dari Kosovo tahun
2000, memberikan Ahtisaari reputasi yang baik sebagai mediator
internasional dan pada akhir masa kepresidenannya ia mendirikan Crisis
Management Initiative. Ia pertama kali bertemu dengan Farid Husain pada
Februari 2004 dan mempersiapkan untuk mengundang perwakilan dari
Pemerintah Indonesia dan GAM ke Finlandia ketika tsunami melanda Aceh.
Henry Dunant Centre/Centre for Humanitarian Dialogue
The Centre for Humanitarian Dialogue (masih digunakan di
Indonesia dengan nama aslinya, the Henry Dunant Centre (HDC)) merupakan
yayasan yang berbasis di Jenewa yang didirikan pada tahun 1999 untuk
menyediakan bantuan fasilitasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik bersenjata. HDC mulai melakukan mediasi antara GAM dan
Pemerintah Indonesia pada tahun 2000, pasca-kejatuhan Soeharto dan
ketika militer Indonesia sedang dalam keadaan kacau dan kesempatan bagi
perdamaian di Aceh meningkat. Perundingan ini menghasilkan Kesepahaman
Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on a Humanitarian Pause for Aceh) pada bulan Mei 2000 dan kemudian Perjanjian Penghentian Permusuhan
(Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)) pada
Desember 2002, yang merupakan sebuah kesepakatan tentang kerangka kerja
menuju perjanjian damai yang menyeluruh. Perundingan yang difasilitasi
oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada April 2003 setelah kegagalan
dalam proses demiliterisasi yang diamanatkan oleh CoHA.
Badan-badan Pembangunan dan Rekonstruksi
Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM)
memainkan peran yang penting secara khusus di awal-awal proses
perdamaian, memastikan bahwa dukungan reintegrasi tersedia bagi para
mantan kombatan dan tahanan. IOM mendukung berbagai program reintegrasi
eks-kombatan GAM, pembebasan dan reintegrasi tahanan politik yang
mendapatkan amnesti dan program-program untuk masyarakat.
Program-program ini dikelola melalui sebuah jaringan dari sembilan
kantor Pelayanan Informasi, Konseling, dan Pengarahan di Aceh yang
disponsori oleh IOM. Kantor-kantor ini terus menyediakan dukungan mata
pencaharian bagi kelompok pemuda yang menganggur di wilayah-wilayah
sensitif konflik dan dataran tinggi tengah.
Bank Dunia (World Bank/WB) telah melakukan
program-program pembangunan di Indonesia pada tahun 1998. Setelah
tsunami Bank Dunia merangkul 15 donor bersama ke dalam wadah
Multi-Donor Fund untuk Rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara (MDF), yang
diketuai oleh Bank Dunia sendiri bersama dengan Uni Eropa dan Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR). Bank Dunia juga telah
terlibat dalam mendukung program-program yang memberikan perhatian
pada—dari sekian banyak isu—dukungan kesehatan, reintegrasi dan
pemulihan pasca-penyelesaian melalui asistensi kepada Badan Reintegrasi
Aceh dan pemberdayaan perempuan. Bank Dunia akan menginisiasi lebih
lanjut MDF kedua untuk pemulihan pasca-penyelesaian.
Pada bulan Agustus 2005 Bank Dunia juga meluncurkan proyek
Rekonstruksi Sistem Administrasi Agraria Aceh (RALAS) yang bertujuan
untuk membentuk kembali kepemilikan tanah di berbagai wilayah yang
hancur oleh tsunami sebagai pendahuluan bagi rekonstruksi properti.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan NGOs lokal mengelola proyek ini,
menimbulkan sengketa terkait cara yang paling pantas untuk secara
sistematis menentukan kepemilikan tanah di mana banyak tanah yang belum
memiliki sertifikat sebelum tsunami atau dimiliki secara bersama. Para
NGOs lebih memilih sistem partisipatif yang memungkinkan adanya
penentuan secara kolektif dalam hal perbatasan yang bersengketa dan
konsolidasi berbagai plot, sementara BPN lebih berorientasi pada
identifikasi hak atas tanah sebelum tsunami. Status tanah yang
sebelumnya dimiliki secara bersama masih menjadi sumber potensial bagi
konflik di masa yang akan datang.
Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP)
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan sejumlah 33 proyek secara
keseluruhan di Indonesia, berorientasi pada lima dasar tematik di mana
rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh adalah salah satunya. UNDP terlibat
dalam implementasi Aceh Justice Project (Proyek Keadilan Aceh), sebuah
inisiatif dalam tema Dukungan Proses Perdamaian Aceh Uni Eropa. Salah
satu komponen dari proyek ini adalah program dua tahun untuk
peningkatan kapasitas peradilan di Aceh, diluncurkan pada Februari 2008
dan diimplementasikan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Korporasi Internasional
ExxonMobil merupakan perusahaan hasil merger antara
perusahaan gas dan minyak bumi Exxon dan Mobil pada bulan November
1999. ExxonMobil Oil Indonesia adalah subsidiari dari ExxonMobil yang
dalam inkarnasi sebelumnya adalah Mobil Oil Indonesia (MOI) yang mulai
beroperasi di Indonesia pada akhir 1960an. Pada tahun 1971 MOI
menemukan salah satu cadangan gas alam terbesar di dunia di utara Aceh,
yang kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas ekstraksi
besar-besaran di area tersebut, yang dikenal sebagai Lhokseumawe. Pada
tahun 2002 fasilitas ExxonMobil di Lhokseumawe mempekerjakan kurang
lebih 2000 masyarakat setempat; operasi di Lhokseumawe ini menyumbang
jumlah yang signifikan pada pendapatan global Mobil Oil (dilaporkan
sebesar 25 persen dan sekitar 20 persen dari ekspor luar negeri
Indonesia.
Pada bulan Juni 2001, sebelas orang Indonesia, melalui
Dana Hak Buruh International (International Labor Rights Fund),
mengajukan tuntutan hukum terhadap ExxonMobil atas tuduhan pembunuhan,
penyiksaan, kekerasan seksual, penculikan, dan pelanggaran lainnya yang
diduga dilakukan oleh staf keamanan yang dipekerjakan oleh ExxonMobil
berasal dari anggota TNI.
Aktor Multilateral
Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa (EU)
dimulai sejak era 1970an. Uni Eropa telah menyediakan beberapa bentuk
dukungan terhadap proses perdamaian di Aceh melalui Mekanisme Reaksi
Segera Uni Eropa (EU RRM, digantikan oleh Instrumen Stabilitas pada
2007), juga merupakan donor penting dalam proses pemulihan dan
rekonstruksi pasca-tsunami. Dukungan Uni Eropa terhadap proses
perdamaian terdiri dari lima bentuk: mendanai upaya mediasi Crisis
Management Initiative (CMI), mendanai dan menerjunkan Misi Pemantau Aceh
(AMM), pengadaan misi pemantau pemilu untuk pemilu lokal pada 11
Desember 2006, asistensi untuk reintegrasi eks-kombatan GAM dan paket
dukungan untuk mendukung penegakan hukum dan demokrasi
di Aceh.
Sejak 2005, Komisi Uni Eropa telah berkomitmen menyalurkan
?285 juta untuk upaya pemulihan pasca-tsunami di Aceh, dukungan ini
disalurkan melalui Multi-Donor Fund (MDF) untuk rekonstruksi Aceh dan
Sumatera Utara. Sejak tsunami EU juga telah mendirikan ‘Rumah Eropa’
(Europe House) sebagai perwakilan resmi EU di Aceh.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN)
didirikan pada tahun 1967 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas regional, dan Indonesia merupakan salah satu negara pendiri.
Anggota-anggota ASEAN memegang prinsip non-inteference (tidak campur
tangan) dalam urusan dalam negeri negara lain dan hanya akan melakukan
intervensi jika diminta. Sejak dari Mei 2003 berbagai organisasi hak
asasi manusia internasional mencatat perlakuan semena-mena dan
deportasi dari Malaysia terhadap pengungsi dan pencari suaka Aceh yang
melarikan diri pada saat operasi militer di Aceh; pemerintah Malaysia
mengklaim bahwa mereka adalah imigran ilegal. Anggota-anggota ASEAN
menyediakan personil militer untuk bergabung dalam Komite Keamanan
Bersama (JSC) dengan tugas untuk memantau implementasi Kesepakatan
Penghentian Permusuhan (CoHA), dan kemudian dalam Misi Pemantau Aceh
untuk memantau penerapan MoU Helsinki. Anggota ASEAN juga menyediakan
tim pemantau untuk mengawasi pelaksanaan pemilu lokal pada Desember
2006, dan juga bantuan pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami.
No comments:
Post a Comment