Peperangan melawan Belanda
Untuk melicinkan niatnya menguasai Aceh, Kerajaan Belanda mengajak
Kerajaan Inggris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggris
(Traktat Sumatera) yang isinya: Bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold
Coast -sekarang Ghana) diserahkan kepada Inggris dan jajahan Inggris di
Sumatera (yaitu Bengkulu) diserahkan kepada Belanda. Untuk menguasai
seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan memerangi Aceh. Perjanjian ini
ditanda tangani tahun 1871.
Ketika itu seorang anggota Parlemen
Inggris Lord Standley Aderley, seorang bangsawan Inggris telah membantah
dan menolak isi perjanjian itu. Ia berkata:
Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Aceh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Kerajaan Aceh, dan digagalkan. Kejatuhan Aceh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara, kekecewaan besar akan dirasakan oleh warga Inggris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan negara Inggris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan, Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji” sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Bagian Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Aceh, sebab Kerajaan Aceh berhak mengharap kita tidak melupakan kedaulatannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Aceh sudah menjadi suatu kerajaan yang berdaulat ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol.
Dalam Perang 80 Tahun Belanda Melawan Spanyol, di mana Aceh yang
pertama kali mengakui kedaulatan negeri Belanda pada awal-awal
kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Dinasti pertama setelah Belanda
merdeka dari Spanyol adalah dinasti Orange, dengan Price Murist sebagai
Kepala Negara.
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa
anggota Parlemen Inggris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang
antara Aceh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah
menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Berbunyi:
Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Aceh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu”(THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah
mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Aceh-Inggris
yang sudah dikhianati itu:
Dikatakan bahwa Inggris adalah netral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Aceh. Jadi Inggris bukan saja tidak membantu Aceh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Aceh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Aceh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.”
Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Aceh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.
Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah disebutkan diatas, maka pada
tanggal 26 Maret 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa,
menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh / Sultan Mahmud Shah yang
dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:
- Aceh menyerah kalah dengan tanpa syarat;
- Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda;
- Hentikan perbuatan berpatroli di Selat Melaka;
- Serahkan kepada Belanda sebagian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Aceh;
- Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.
“Ultimatum” ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Aceh, maka
terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873. Pada tanggal 26
Maret 1873, Kerajaan Belanda mengeluarkan Pernyataan perang dengan resmi
atas kerajaan Aceh. Maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral J.H.R
Kohler pada tanggal 5 April 1873 mulai menyerang Aceh.
Pasukan Belanda memusatkan serangannya pada Masjid Raya Baiturrahman.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman
terbakar dan dapat dikuasai Belanda. Dalam pertempuran tersebut Jendral
Kohler tewas. Meskipun Masjid Raya Baiturrahman dapat dikuasai Belanda,
namun hal itu tidak berlangsung lama. Belanda semakin terdesak dan
pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Namun kemudian Belanda datang lagi. Kedatangan kembali Belanda ke
Aceh dipimpin oleh Jendral J.Van Swieten. Belanda berhasil menguasai
istana dan dijadikan daerah pertahanan. Walaupun istana dapat dikuasai
Belanda, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung. Di bawah
pemimpin-pemimpin Aceh seperti Panglima Polim, Teungku Chik Di Tiro,
Teuku Ibrahim, Cut Nya Dien, Teuku Umar dll, rakyat Aceh terus berperang
melawan kedzaliman dan penjajahan Kristen Belanda.
Bagaimana peperangan itu terjadi, dituliskan oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut:
Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Kerajaan Aceh. Rakyat Aceh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”.
Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis:
Suatu pertempuran bertumpah darah sudah terjadi di Aceh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Aceh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”.
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa:
Now the Achehnese education of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun”.
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah
yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam
rangka menyambut kemenangan tentara Aceh melawan serdadu Belanda dalam
perang Aceh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu orang Aceh memang
sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16
sampai 17.
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali
menyerang Aceh dengan mengerahkan serdadu upahannya dari Jawa, Madura,
Manado dan Maluku. Mereka juga menyewa ribuan penjahat dari Penjara
Swiss, Prancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerahkan
mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh. Setelah terjadinya perang periode
ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian
Belanda melarikan diri dari Aceh tahun 1942.
Belanda keok di Aceh! Pada tahun 1879 Belanda menyerbu Aceh dari
segala penjuru dan akhirnya berhasil menguasainya. Namun demikian,
daerah-daerah hutan dan pegunungan masih dikuasai rakyat Aceh. Teuku
Ibrahim memimpin perang gerilya. Dalam suatu serbuan terhadap pos
Belanda, Teuku Ibrahim gugur. Teuku Ibrahim meninggalkan seorang istri
yang bernama Cut Nya Dien.
Perjuangan diteruskan oleh Teuku Umar. Ia masih kerabat Teuku
Ibrahim. Kemudian Teuku Umar mengawini Cut Nya Dien dan bersama-sama
berjuang melawan kafir-kafir kolonialis Belanda. Ingat kalau kita
menonton film “Tjoet Njak’ Dhien” arahan sutradara Eros Djarot yang
dibintangi oleh Christine Hakim, Cut Nya Dien selalu menyebut
“kaphe-kaphe” untuk menyebut tentara-tentara Belanda. “Kaphe-Kaphe”
maksudnya adalah kafir-kafir.
Kini kami sibuk memuat hewan-hewan denda penduduk. Sungguh-sungguh hal yang memalukan kita. Gubernur memerintahkan supaya rumah-rumah besar di kampung-kampung dibakar jika penduduk tidak membayar denda. Tadinya ia menginginkan supaya penduduknya ditembak mati saja, tetapi perintah itu telah kami protes…,”
Itulah bagian dari kutipan surat seorang opsir muda Belanda yang
cemerlang, ditujukan kepada istrinya yang berada jauh di Belanda.
Ditulis di sebuah bivak di kawasan Hutan Tamun tanggal 25 April 1897.
Sebagai Kepala Staf Divisi XII Marsose, opsir yang bernama Van Daalen
itu sedang memimpin pasukannya mengejar Teuku Umar di Aceh Barat.
Sebagai bagian dari pasukan elite Belanda (pasukan Marsose, Van
Daalen terpaksa melaksanakan perintah yang mirip perampokan itu. Di
kantung-kantung gerilya, mereka membakar rumah-rumah penduduk,
memusnahkan tanaman di kebun, agar penduduk tidak punya tenaga lagi
untuk melakukan perlawanan. Penduduk kampung atau pemukim yang terbukti
memberi tempat berlindung bagi pejuang Aceh, dikenakan denda mencekik
leher.
Kenegerian Lhong, masih di Aceh Barat, misalnya, didenda 30.000
gulden karena Teuku Umar sempat bersembunyi di sana. Suatu angka yang
mustahil bisa dipenuhi penduduk miskin di kenegerian itu. Ini artinya,
rumah mereka akan dimusnahkan berikut tanaman di ladang. Sedang ternak
disita.
Namun, Van Daalen yang kelak menjadi gubernur, malah mendapat julukan
si jagal yang kejam. Ia adalah pejabat yang terbengis selama penjajahan
kolonial di Aceh. Van Daalen menggerakkan segala mesin perang, karena
Kerajaan Belanda memerintahkannya untuk memenangkan perang ini secepat
mungkin. Belanda baru kemudian sadar mereka terperangkap dalam perang
berkepanjangan, yang nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda.
Kekerasan dihadapi dengan kekerasan, itulah motto Van Daalen.
Perlawanan Aceh hanya akan berakhir jika dihadapi dengan superioritas
militer. Mayat-mayat kemudian bergelimpangan di sana-sini. Benar bahwa
tahun 1913, atau setelah 40 tahun perang, Aceh berhasil ditaklukkan,
tetapi bukan berarti perang sudah usai.
Kurang lebih 10.000 prajurit Belanda tewas dalam Perang Aceh. Belanda
mengerahkan kekuatan maksimum. Invasi pertama saja tiba dengan 5.000
personel, suatu jumlah yang amat besar untuk masa itu. Bagi Belanda,
Perang Aceh merupakan pengalaman pahit. Itu sebabnya hanya Aceh
satu-satunya daerah yang tidak dijamah Belanda ketika kembali ke
Indonesia (bekas Hindia Belanda) dengan menumpang Sekutu-NICA seusai PD
II.
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan
ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana
perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan
semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa
gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan
paling lama dalam sejarah mereka.
Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan:
Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda”.
Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Aceh itu lebih daripada hanya
pertikaian militer: “Selama satu abad inilah persoalan pokok politik
internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda”. Paul
Van’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p.10.
Rakyat Aceh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan
militeristik, sebab bangsa Aceh memandang perang melawan Belanda sebagai
perang suci-jihad fisabilillah- yang bermakna; orang Aceh akan
berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang dirangsang dengan
aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah
sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak
terkecuali kaum wanitanya.
Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku
Thjik di Tiro Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuti
oleh bangsa Aceh serta keluarga di Tiro yang lain sampai kepada Tengku
Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhot,
Pidie, tahun 1911.
Perang terus merebak ke seluruh Aceh. Tengku Mata Ie bersama
pasukannya berjuang di sektor Aceh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya
berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakong bersama pasukannya
berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya
berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masem
berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang
di sektor Tenggara. Akhirnya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari
bumi Aceh dalam keadaan hina.
Setelah itu Belanda kapok dan tidak pernah berani lagi menginjak
Aceh. Ketika tahun 1946-1948 Belanda kembali dan telah menduduki seluruh
wilayah Indonesia, mereka tidak mau terperangkap kembali di Aceh.
Keadaan di Aceh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda.
Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.” (Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal.254).
No comments:
Post a Comment