Kerajaan Linge
Kerajaan ini adalah merupakan Kerajaan tertua dan kerajaan dengan
wilayah kekuasaan terluas di Aceh. Kerajaan Linge di Gayo merupakan
salah satu Kerajaan Utama pendukung berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam.
Tanpa dukungan Kerajaan Linge maka sudah dapat dipastikan Kerajaan Aceh
Darussalam tidak akan pernah ada dalam sejarah Aceh. Keberadaan
Kerajaan Linge di Gayo sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan
Aceh Darussalam. Bahkan, Raja pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah
orang Gayo asli dan putra kandung Reje Linge yang bernama Merah Johan
atau yang dikenal dengan gelar Sultan Ali Mughayatsyah.
Kerajaan Linge di Gayo adalah satu-satunya Kerajaan yang diberikan
kuasa oleh Sultan Aceh pada masa itu untuk mencetak mata uang sendiri.
Kuasa itu tidak pernah diberikan kepada Kerajaan kecil lainnya di
semenanjung Aceh. Wilayah kekuasaan Kerajaan Linge di Gayo meliputi
semua wilayah Aceh saat ini yang terbentang mulai dari Aceh Tamiang
sampai ke Sabang dan kemudian dari Aceh Jaya sampai ke Aceh Singkil
ditambah dengan semua wilayah pegunungan yang ada di semenanjung Aceh
yang sekarang meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh
Tenggara.
Di semula pesisir pantai Aceh baik pantai timur maupun pantai barat,
anak-anak dan keturunan Reje Linge di Gayo menegaskan kekuasaan mereka
dengan menjadi Raja di berbagai wilayah pesisir Aceh seperti Merah Mersa
(Pendiri dan Raja Kerajaan Islam Perlak), Merah Silu (Pendiri dan Raja
Kerajaan Pasai), Merah Dua (Raja Kerajaan Samalanga), Merah Jernang
(Pendiri dan Raja Kerajaan Daya di Aceh Jaya), Merah Bacang (Pendiri dan
Raja Kerajaan Nagan Raya), Sibayak Lingga (Pendiri dan Raja di Kerajaan
Tanah Karo dan sekitarnya). Hal itu menjadikan posisi Kerajaan Linge di
Gayo sebagai sentral kekuatan dan ekonomi bagi semua Kerajaan-Kerajaan
yang lebih kecil yang berada di pesisir pantai Aceh.
Kerajaan Linge di Gayo Aceh yang demikian kokoh dan berwibawa
menjadikan Kerajaan Linge di Gayo sumber utama pelindung dan pendukung
berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Banyak ahli sejarah, adat dan
bahkan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mengelu-elukan
sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dengan sultannya yang terkenal yaitu
Sultan Iskandar Muda tapi melupakan sejarah yang sebenarnya yaitu siapa
yang berada dibalik berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam itu?, Apakah
Kerajaan Aceh Darussalam itu berdiri dengan sendirinya atau ada
pihak-pihak yang mendirikannya?. Jika semua pertanyaan-pertanyaan itu
dijawab dengan jujur dan hati nurani yang jernih maka jawabannya akan
bermuara pada sejarah Kerajaan Linge di Gayo.
Dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam tidak pernah didengar adanya
peperangan antar kerajaan satu dengan yang lainnya karena memang semua
kerajaan kecil yang ada di pesisir pantai Aceh merupakan
kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh keturunan Reje Linge. Kalaupun
adanya peperangan antar kerajaan yang Islam dan Non-islam. Dan semua
kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pesisir pantai Aceh pada saat itu
sangat menghormati keberadaan Kerajaan Linge sebagai Kerajaan terbesar,
terkuat dan tertua di Tanah Aceh. Bahkan bendera Kerajaan Linge
merupakan satu-satunya bendera Kerajaan yang pertama kali berdiri dan
berkibar di Aceh mengalahkan semua bendera kelompok lainnya di Aceh.
Bahkan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan bendera Kerajaan Aceh
Darussalam merupakan 2 bendera yang berdiri dan berkibar kemudian di
Aceh. Jadi, setiap usaha kelompok tertentu yang berupaya untuk
“mengganti” identitas tanah Aceh dengan suatu “identitas” baru diatas
tanah yang sudah sekian ratus tahun memiliki identitasnya sendiri, maka
dapat dipastikan usaha tersebut merupakan usaha yang sia-sia belaka dan
akan berujung pada kegagalan.
Sejarah Aceh sudah membuktikan dan memberikan gambaran nyata, setiap
usaha yang dilakukan oleh orang-perorang atau kelompok tertentu yang
berusaha merubah sejarah dan identitas Aceh ke dalam suatu sejarah dan
identitas baru dengan melupakan atau menafikan sejarah keberadaan
Kerajaan Linge di Gayo maka dapat dipastikan usaha kelompok-kelompok
tertentu itu akan menemui kegagalan. Tidak kah kelompok itu yakin dan
percaya bahwa sudah 2 kali mereka mencoba untuk melakukan upaya
“perubahan” di Aceh dengan “meninggalkan”, “melupakan” dan “menafikan”
keberadaan Kerajaan Linge di Gayo dan semua keturunan-keturunannya maka
perjuangan mereka menjadi sia-sia dan selalu berujung pada kegagalan?,
tidak kan mereka mau berpikir dan belajar dari kenyataan sejarah itu?.
Keberadaan sejarah Kerajaan Linge harus diakui oleh pemerintah Aceh
sekarang ini dengan menempatkan keturunan Kerajaan Linge di Gayo sebagai
pemegang kunci “khasanah” Aceh dan sekaligus memberikan payung hukum
berupa Qanun Provinsi Aceh yang bertujuan mengakui dan melindungi
keberadaan Kerajaan Linge Gayo sebagai Kerajaan Tertua di Aceh dan
rakyat Gayo merupakan penduduk asli Aceh dan kelompok pertama yang
mendiami daerah Aceh. Dengan adanya Qanun provinsi tersebut maka sejarah
akan kembali pada tempatnya semula sehingga Pemerintah Aceh dapat
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari dengan dipandu
oleh “pemegang kunci khasanah” Aceh tersebut. Sehingga setiap persoalan
yang timbul pada masa pemerintahan yang bersangkutan dapat diselesaikan
dengan keterlibatan semua komponen masyarakat termasuk semua keturunan
Kerajaan Linge Gayo sebagai “orang yang dituakan” dan dihormati dalam
struktur sosial politik Aceh.
Kondisi perpolitikan dan kemelut yang terjadi anta relit politik di
Aceh merupakan salah satu alasan mengapa semua keturunan Kerajaan Linge
Gayo untuk “angkat bicara” dan ambil bagian dalam menenangkan situasi
tersebut. Semangat yang harus diusung adalah “Enti sawah koro jamu ngaru
itanoh te”, artinya bahwa semua keturunan Kerajaan Linge Gayo dimanapun
berada harus bersatu-padu menegakkan marwah dan kewibawaan Kerajaan
Linge Gayo sebagai Kerajaan Besar dan Tertua di Aceh.
Usaha untuk mengembalikan kewibawaan bukanlah hal yang mudah, tepi
diharapkan melalui pelaksanaan Konferensi Internasional Pertama tentang
Kerajaan Linge Gayo; Sejarah, Budaya dan Tantangan Pembangunan
Kontemporer dengan mengambil tema utama “Gayo Community Plan 2020; One
Identity, One Expectation, One Destination” diharapkan mampu sedikit
memberikan secercah harapan baru bagi kembalinya kejayaan dan kewibawaan
Kerajaan Linge Gayo. Mari hilangkan egoisme pribadi, perbedaan-perbedaa
yang ada diantara semua keturunan Kerajaan Linge Gayo demi tujuan yang
lebih besar lagi yaitu terwujudnya masyarakat yang baldatun toyyibatun
warrabun ghaffur di Tanoh Gayo.
No comments:
Post a Comment