Peperangan Melawan Japan
Rasa dendam rakyat Aceh yang begitu berakar
terhadap Belanda telah dinyatakan dan dianjurkan dengan sangat jelas
dalam salah satu bait Hikayat Prang Sabil atau Hikayat Perang Sabil.
Bait yang berbunyi : "bek tameugot ngon Beulana'a kaphee, musoh sabee meupusaka"
(jangan bersahabat dengan kafir Belanda, musuh kita turun temurun) itu
mendorong rakyat Aceh untuk terus memusuhi kekuasaan Belanda (Sjamsuddin, Nazarudin, Revolusi Di Serambi Mekah, UI-Press, 1998. 42).
Rasa dendam itu kemudian disalurkan ke dalam usaha untuk mendapat
bantuan Jepang, begitu pasukan tersebut mendarat di Penang, Semenanjung
Melayu, pada pertengahan Desember 1941.
Banyak sekali pihak yang terlibat dalam
upaya ini, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok.
Mungkin karena banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya, maka informasi
mengenai hal ini dalam masyarakat Aceh sendiri sangat simpang siur.
Timbulnya Perang Pasifik, antara Belanda serta sekutunya di satu pihak
dan Jepang di pihak lain, memperbesar tekad PUSA (organisasi ulama di
Aceh) mengusir Belanda dari Tanah Rencong.
Mengenai kontak dengan Jepang ini, baik
sumber Jepang maupun Aceh lebih banyak mengungkapkan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh Sayid Abubakar, seorang anggota pemuda PUSA yang
melarikan diri dari kerajaan Belanda dengan menetap di sebuah kampung
Aceh di Kedah.
Pada bulan Desember 1941, Tgk Muhammad Daud
Beureueh, Ketua Pengurus Besar PUSA, Tgk Abdul Wahab Seulimum, anggota
PUSA dan Kepala Cabang PUSA Teuku Nyak Arif, Teuku Ahmad, Teuku M. Ali
Panglima Polem mengadakan pertemuan di rumah T. Nyak Arif di Lamnyong
pada malam hari. Mereka berjanji dan bersumpah setia kepada agama Islam,
kepada bangsa dan tanah air, juga memutuskan untuk bekerjasama dengan
Dai Nippon, melawan Pemerintah Belanda. Mereka menyusun pemberontakan
atas nama PUSA. (Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992. hal 9)
Pada tanggal 12 Maret 1942, mendaratlah
bala tentara Jepang di Ujung Batee, 8 km dari Kutaraja. Tanggal 13
Maret, kaum FPUSA menyerbu rumah Asisten Residen Belanda di Pidie yang
terletak di pinggir taut dan agak jauh dari markas militer.
Fasilitas-fasilitas strategis pun sudah disiapkan, termasuk lapangan
terbang dan persediaan bahan bakar minyak, telah diamankan sehingga
tidak sempat dihancurkan oleh Belanda. Bala tentara Jepang yang mendarat
disambut dengan meriah di tepi pantai, dengan suguhan makanan dan
minuman. Pada jam 7 pagi itu juga pasukan Jepang langsung memasuki
Kutaraja dan disambut lebih meriah lagi oleh penduduk kota dengan
teriakan "Banzai". Demikianlah,dua minggu kemudian Jepang sudah berhasil
menguasai seluruh Aceh.( Sjamsuddin, Nazarudin, Revolusi Di Serambi
Mekah, UI-Press, 1998. 42)
Bila kita perhatikan situasi politik di
Aceh secara keseluruhan terutama dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan
Belanda yang ditandai oleh pertentangan yang kuat antara kaum ulama dan
uleebalang, keputusan kedua pribumi Aceh itu untuk bekerjasama guna
menghadapi Belanda tidaklah dapat dibayangkan sebelumnya.
Keterlibatan para Uleebalang yang
bermusuhan dengan PUSA dalam pemberontakan itu, dan kesediaan mereka
untuk bekerjasama dengan kaum ulama, sangat mungkin telah dipengaruhi
juga oleh rasa takut mereka akan kedatangan Jepang. Boleh jadi kerjasama
ini tercipta karena kaum uleebalang menyadari bahwa posisi serta
keamanan pribadi mereka akan terancam bilamana mereka tidak mau
bergabung dalam pemberontakan itu. Malahan jika mereka tidak ikut
mengambil bagian dalam perjuangan itu bisa-bisa menyebabkan mereka nanti
tersingkir dari singgasana tradisional mereka, yaitu apabila Jepang
berhasil menaklukkan Belanda. Dan jika hal ini menjadi kenyataan, maka
keseluruhan kegiatan politik pribumi di daerah itu akan berada di bawah
kendali PUSA. Kaum Uleebalang tentunya sudah pula memperhitungkan bahwa
keterlibatan pemimpin-pemimpin PUSA di dalam barisan tersebut
semata-mata hanya sebagai batu loncatan dalam upaya mereka untuk
memperkuat posisi politik PUSA setelah runtuhnya kolonialisme Belanda.
Oleh karena itu, tampaknya tidak ada alternatif lain bagi kaum
uleebalang selain daripada bekerjasama dengan seteru mereka.
Jepang telah melaksanakan politik bumi
hangus seluruh prasarana ekonomi, hanya dengan alasan untuk memperlemah
kekuasaan politik lawan (Belanda) yang diduga masih mengambil keuntungan
dari sisa-sisa perekonomian yang ditinggalkannya. Maka surplus beras
daerah Aceh pada tahun 1941 – satu tahun sebelum Jepang mendarat – telah
mencapai 36.000 ton punah dengan sekejab mata. Kenyataan yang semacam
ini semakin diperparah oleh tindakan-tindakan Jepang yang mewajibkan
penyetoran beras – yang pada tahun 1943 mencapai angka 17.000 ton.
Sebagai akibatnya banyak tanah rakyat yang disita Jepang karena tuntutan
yang sangat berat tidak terpenuhi. (Djohan, Azhar, Ekonomi Masyarakat Aceh Selatan Dalam Perspektif Historis, Seminar sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Aceh Selatan. 1989 hal 7)
Keadaan yang menyedihkan inilah yang
membangkitkan kesadaran akan keterjajahan di kalangan masyarakat Aceh
Selatan - seperti juga menggejala di seluruh masyarakat Aceh. Bukan saja
terhadap kondisi perekonomian mereka yang semakin memburuk, tetapi juga
terhadap kondisi politik. Dengan kata lain, baik kondisi ekonomi maupun
politik yang memburuk pada masa itu, telah membentuk kembali kesadaran
kebangsaan; bahwa baik Belanda maupun Jepang adalah sama tak punya hak
memerintah di tanah air dan bahwa keduanya haruslah diusir dari
tempat-tempat di mana mereka pernah berkuasa.
No comments:
Post a Comment