Kerajaan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya
ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera
Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar
abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama
di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.
Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan
Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh
beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan
Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain
Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan
Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri.
Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan
Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan
Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad
ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka
pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam
perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi & Agus Budi
Wibowo a, 2006:72-73).
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam
pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti
yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman
Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam
hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih
besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda.
Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi
awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak
diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun
bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang
pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard, 2007:62).
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard, 2007:62).
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul
“Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh
ialah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih
sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang
sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut
Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama "Aceh Lhee
Sagoe" (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh
Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada
mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak
ibukotanya," untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang
lain, yaitu yang terangkum dalam buku dengan judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004),
disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan nama tempat, Aceh juga merupakan
nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Bumi
Aceh. Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis
Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil.
Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu
telah eksis semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan (Rusdi Sufi
& Agus Budi Wibowo b, 2004:1-2).
Sementara itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen
yang termaktub dalam karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa
Kesultanan” (1986), dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk
asli Aceh disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar
dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang mendiami daerah
antara Selangor dan Gunung Ophir di Semenanjung Tanah Melayu, menurut van
Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dipecahkan lagi dalam studi
perbandingan bahasa Melayu-Polinesia. Tetapi sejauh masalah itu belum dapat
dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap bahwa Mante adalah penduduk asal daerah
Aceh, terutama karena nama itu tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku
bangsa lain (K.F.H. van Langen, 1986:3).
a. Masuknya Kolonialisme Barat
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis
selaku bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor
utama runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan
Majapahit. Pada 1508, atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah
memproklamirkan berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama
yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat Malaka. Armada de
Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan perlengkapan perang. Namun,
kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis yang pertama ini tidak
membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur akibat perlawanan dari laskar
tentara Kesultanan Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun
belum menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa
Kesultanan Aceh Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin
perlawanan dan berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de
Britto yang tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi
Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis
membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena
pasukan Aceh Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang
milik Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a,
1981:187). Sultan Ali Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang
pemberani dan penakluk yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta
menundukkan Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di
bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, juga meraih kegemilangan dalam
menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di Sumatra, seperti Kerajaan Haru,
Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang
ditulis oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang
Kesultanan Aceh Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap
dan mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda,
menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan
meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu,
menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling
berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali
Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra Dunia”.
Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja
Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke
Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh
Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu
nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal
dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7
Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif
singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan
Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan
Aceh Darussalam, antara lain :
- Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara.
- Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
- Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar
kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai
penerus tahta Kesultanan Aceh Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum
Sultan Mughayat Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam
yang baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh
Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539,
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat
Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga
dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan
mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan melakukan beberapa
gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang sama Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman.
Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara
Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar,
terdiri atas laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay, dan
Malabar (Lombard, 2007:65-66).
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid. Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk membantu laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir (Said a, 1981:199).
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid. Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk membantu laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir (Said a, 1981:199).
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari
Barat, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan
terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang membantu Portugis. Pasukan Aceh
Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568),
menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil mengalahkan
Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam atas Kerajaan Haru, maka diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan
Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan
Haru yang sudah takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh Darussalam
melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua belah pihak yang berseteru.
Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan Abdullah yang
memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5 Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan nama Sultan Iskandar Muda.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5 Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan nama Sultan Iskandar Muda.
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada
Belanda tiba di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda
berlangsung dengan kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan
dan diplomatik (Isa Sulaiman, eds. 2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de
Houtman bersaudara atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam,
agar diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya,
de Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh
Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah
selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian
besar dengan Kesultanan Johor. Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal dan de Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang
berada di Aceh mulai bersikap tidak sopan. Frederick de Houtman beberapa kali
mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick
de Houtman adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
menanyakan di mana letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de
Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri
Belanda itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow
(Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat
Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de
Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana
sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang
sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda
adalah negeri yang tidak punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan
negara republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu
saja murka karena telah diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya.
Maka kemudian Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan
tentaranya untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de
Houtman. Konon, lima orang anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan
karena bersedia masuk Islam. Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram
terhadap awak-awak kapal Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati
batas. Ketika salah satu kapal Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak
di Lautan Hindia antara Sumatra dan Srilangka, Cornelis de Houtman, saudara
laki-laki Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan, Cornelis telah
memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya berjalan di
hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah itu,
Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di tubuh perempuan
malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak
lama setelah peristiwa memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang
dilakukan oleh para awak kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu
milik nelayan Aceh. Laksamana van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak
segan-segan menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya.
Kelakuan orang-orang Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan pihak
Kesultanan Aceh Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda.
Jika bermusuhan terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan
pelayaran laut, juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut
Belanda dari Portugis.
Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja, telah gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu, Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain :
- Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
- Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
- Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
- Memukul Portugis dan merampas Malaka.
- Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur
sampai ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah
di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman,
Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang
cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan pendapatan
lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih
penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan
Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi
terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi
negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan untuk
itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus
dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana
angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236
buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
C. Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
C. Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh
seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai
penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri
dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu
yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah
Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang
Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya
pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa
kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini,
Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh
wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin
kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara
untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh,
termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda,
Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat
serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat
memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang
agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di
Indonesia dan perihal yang khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan
raga penduduk (H. Mohammad Said b, 1985:91). Snouck Hugronje menyarankan kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini
selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama.
Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum
ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan
harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck
Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh,
antara lain :
- Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
- Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
- Rebut lagi Aceh Besar.
- Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
- Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
- Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid
dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil:
Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada
Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil
dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk
sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat
dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok
pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro,
Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir
kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih
dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa
Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat
berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
2. Silsilah
2. Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga
keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga
tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah
berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
1.
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3.
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah
(1568-1575)
5.
Sulthan Muda (1575)
6.
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7.
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra
(1589-1596)
10. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu
(1596-1604)
11. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1607-1636)
13. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam /
Puteri Sri Alam (1641-1675)
15. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din
(1688-1699)
18. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din
(1699-1702)
19. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan
31 adalah orang yang sama )
3. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah
timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku,
Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang
dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai
seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu,
Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta
Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan
Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira
setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan
gelar Panglima Sagoe, yaitu:
·
Sagoe XXII Mukim,
·
Sagoe XXV Mukim
·
Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan
daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang
kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa
Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari
beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar
Keutjhi.
2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang
kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur
sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga
daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun
Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh
uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
4. Sistem Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang
yang terangkum dalam kitab Qanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam.
Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan Hadits yang mengikat seluruh
rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai
kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan.
Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki
undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan
konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam
memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah
oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti),
bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki
Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana
setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu,
Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar
yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya
barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang (Said a, 1981:218-219).
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan
kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang
penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban
perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap
pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan
Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan
Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan
setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda
memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki,
Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri
tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan
diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai
sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta Alam yang
dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang
bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni
hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem
Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A.
Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa
Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi
pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:
- Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
- Membuat mata uang.
- Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yang Berdaulat”.
- Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.
Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung
kesultanan, yaitu antara lain:
- 1. Majelis Musyawarah
Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan
wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat
dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
- 2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan
tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan
anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
- 3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir
A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya
adalah dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai
Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang
yang bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai
Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku
wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada
langsung di bawah pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku
Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua
orang Sekretaris Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku
Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri
Sekretaris Negara), dan (2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam
Ajun Sekretaris Negara) (Hasjmy, 1961:2).
5. Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat
dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain
itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di
antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang
meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan
juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang
digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata
uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu,
dan tahil (Said a, 1981:219).
No comments:
Post a Comment