Titik Nadir Perlawanan Kerajaan Aceh
Daerah
dataran tinggi Gayo yang merupakan benteng alam yang sangat strategis
bagi pertahanan pasukan kerajaan Aceh. Dataran ini juga sempat digunakan
oleh Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah (1874-1903) beserta
pengawalnya maupun tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sangat
besar, sebagai benteng pertahanan terakhir saat terdesak di
daerah-daerah pesisir Aceh oleh kepungan dan penerapan lini konsentrasi
yang dilakukan sejak pembentukan pasukan marsose oleh kolonial Belanda
pada 2 April 1890.
Di
antara tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sempat mengundurkan
diri ke daerah dataran tinggi Gayo di sekitar Lut Tawar dan Linge adalah
Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah sebagai kepala pemerintahan
tertinggi kerajaan Islam Aceh. Beliau mengundurkan diri ke daerah Gayo
Lut dan Linge pada tahun 1901, setelah benteng pertahanan Aceh di Batee
Iliek di Samalanga dapat dikuasai Belanda. Selain Sultan, Panglima Polem
seorang panglima yang masyhur juga mengundurkan diri ke daerah Ketol
Gayo Lut sejauh 30 Km dari Takengon. Beliau mundur setelah pasukannya
semakin terdesak oleh pasukan marsose Belanda di daerah kabupaten
Bireuen sekarang.
Tokoh
lain yang mengundurkan diri ke dataran tinggi Gayo adalah pahlawan
perempuan terkenal Cut Nyak Din. Beliau mundur ke daerah Celala sejauh
kurang lebih 15 Km dari Takengon di sebelah hulu Wihni Takengon (hulu
Krueng Peusangan) pada tahun 1900-1901, ketika melanjutkan perlawanan
terhadap Belanda dengan bergerilya setelah suaminya Teuku Umar tertembak
pada 11 Februari 1889 di Suak Ribee Meulaboh.
Beliau
selama hampir setahun bertahan di sana. Cut Nyak Din akhirnya
meninggalkan Celala pada pertengahan tahun 1901 dan menyingkir ke daerah
Beutong hingga akhirnya ditangkap Belanda pada 4 November 1905 di Babah
Krueng Manggi Aceh Barat. Beliau akhirnya diasingkan ke Sumedang Jawa
Barat hingga meninggal dunia di sana pada 6 November 1908.
Kedatangan
Sultan, Panglima Polim dan Cut Nyak Din ke dataran tinggi Gayo disambut
dengan baik oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan rakyat Gayo. Mereka
dikawal oleh para Pang yang terkenal dari Gayo untuk menjaga dan
mengawal mereka dari kepungan Belanda. Kedatangan Sultan ke Tanoh Gayo,
dikarenakan kepercayaan Sultan akan kesetiaan raja-raja dan rakyat Gayo
sehingga tidak mungkin beliau mengundurkan diri ke sana, apabila tidak
yakin terhadap kesetiaan mereka yang tinggi dalam peperangan yang sangat
hebat pada saat itu.
Menurut
Snouck, ketika Sultan sedang terkepung pada tahun 1900 di daerah
Samalanga pemimpin dan panglima-panglima dari Gayo ikut mengawal
keselamatan Sultan. Selain itu juga pengawal dari daerah Serbejadi,
seperti Nyak Ara dan Panglima Sekoulun. Ketika pasukan marsose pimpinan
van Heutz menyerang Benteng Batee Iliek Samalanga, Sultan dapat
diselamatkan ke daerah Peudada, kemudian dipindahkan ke daerah
Peusangan. Pasukan Belanda terus mengejar di manapun posisi Sultan,
tetapi mereka tidak berhasil menyergapnya. Setelah posisi pejuang Aceh
semakin terjepit, akhimya Sultan dan pengawal-pengawalnya mengundurkan
diri ke dataran tinggi Gayo di daerah Berusah, sekitar 50 km dari
Takengon.
Saat
tiba di Lut Tawar, Sultan dan rombongannya disambut dengan meriah oleh
Kejurun Buket, Linge, Siah Utama, Cik Bebesan, para Pengulu, Pang-Pang
dan seluruh masyarakat Gayo. Para Kejurun mempersiapkan penyambutan
Sultan dan memberikan pengawalan yang ekstra ketat untuk menghindari
sergapan kolonial Belanda. Pada awalnya Sultan menetap di Takengon,
tepatnya di pinggiran danau Lut Tawar di hulu Wihni Takengon (Krueng
Peusangan).
Pada
tahun 1901, Mayor van Daalen yang baru kembali ke Bireuen dari
ekspedisi ke dataran tinggi Gayo, namun sebaliknya para pasukan Sultan
baru tiba di Lut Tawar. Pada ekspedisi itu, disebutkan van Daalen
membakar kampung Kebayakan tempat domisili Raja Bukit pada tanggal 5
Oktober 1901. Kampung Kebayakan dibumihanguskan pasukan marsose yang
hanya menyisakan Mesjid dan Mersah (Mushalla) serta beberapa rumah.
Namun pihak Belanda tidak mengakui telah melakukan pembumihangsusan,
tetapi rakyat Gayo di sana yang menjadi saksi bahwa pasukan van Daalen
yang membakar kampung itu untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Gayo.
Setelah
beberapa hari berada di sekitar Lut Tawar, Sultan beranjak ke Kampung
Rawe sekitar 8 Km dari Takengon. Pada saat di Kampung Rawe, datang
menghadap raja-raja Gayo kepada Sultan. Di antaranya Raja Porang, Raja
Gele, Raja Bukit, Kute Lintang, Rema, Tampeng, Kemala Derna, (Rempelam),
Seneran (Gegarang). Mereka mengikrarkan “sumpah setia” kepada Sultan
dan mendukung sepenuhnya serta siap sedia menghadapi serangan Belanda.
Selain
itu dari Gayo Lues, raja-raja juga mengharapkan kedatangan Sultan ke
sana. Peristiwa kedatangan raja-raja Gayo Lues ini terjadi pada Desember
1901. Di pihak Kejurun yang hadir antara lain Aman Ratus dan Aman
Bidin. Di Rawe, Sultan dikawal oleh Ulubalang Ranta, Teungku M.Sabil,
Raja Kader, Aman Kerkom, dan lain-lain.
Setelah
beberapa lama tinggal di Rawe, Sultan pindah ke Kampung Lenang di Isak
Linge. Pasukan Belanda akhirnya mengetahui persembunyian Sultan di
Kampung Lenang. Pasukan Belanda di bawah Kapten Colinj menyerang posisi
Sultan di Kampung Lenang. Pertempuran terjadi, pasukan pengawal Sultan
pimpinan Ulubalang Ranta dan Teungku M.Sabil mempertahankan diri.
Pasukan pengawal semakin terjepit dan menyebabkan syahidnya Teungku
M.Sabil dengan beberapa personil pasukan lainnya.
Sultan
mengundurkan diri lagi ke daerah Isak Linge, dan meneruskan pelariannya
ke Kampung Lumut, tidak jauh dari Burni Intim-Intim di perbatasan Gayo
Lut, Linge dan Gayo Lues. Rencana Sultan mengunjungi Gayo Lues dengan
menerobos Burni Intim-Intim tidak terlaksana dan meneruskan
perjalanannya ke daerah Pamar dan selanjutnya ke Pidie.
Selama
dalam perjalanan Sultan ini, Uleebalang Ranta dan Raja Kader tetap
mengikuti rombongan sampai di Keumala, tetapi di daerah Peudue,
pedalaman Pidie rombongan Sultan diserang Belanda sehingga Raja Kader
syahid. Ulubalang Ranta dapat meloloskan diri dan dapat kembali ke
Takengon. Akhirnya Sultan Aceh yang terakhir Tuanku Muhammad Daudsyah
ditangkap Belanda di daerah Pidie pada tahun 1903 dan dianggap sebagai
titik nadir perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Belanda yang dimulai sejak
tahun 1873.Sekian Bers-
No comments:
Post a Comment