Garam Lane di Mata C.Snouck Hurgronje
Seniman legendaris asal Tanoh Gayo, AR Moese, dalam
sebuah lagunya menggambarkan jalan ke Gayo… “ari Lane renye ku Ise-ise
(dari Lane terus ke Ise-ise).” Lane, seperti nama seorang artis
Hollywood, Diane Lane, padahal hanya sebuah nama kampung kecil di
Kecamatan Linge yang terletak di pinggir jalan negara Takengon-Blang
Kejeren. Kawasan ini menjadi salah satu peruweren (ladang pengembalaan
tradisional) untuk ternak kerbau. Letaknya kurang lebih sekitar 70 Km
arah Tenggara Kota Takengon.
Meskipun Lane
sebagai salah satu kampung tertua di Tanoh Gayo, Aceh Tengah, namun
perkembangnya masih statis seperti keadaannya pada tahun 1901. C.Snouck
Hurgronje menggambarkan Lane sebagai sebuah kampung yang hanya
tinggal bekasnya, kecuali tanaman kelapa dan pinang saja yang
membuktikan bahwa dahulunya pernah ada kampung di tempat itu.
Saat
ini, di kampung itu juga masih terdapat beberapa rumah peternak.
Pertumbuhan penduduknya sangat rendah, malah di masa konflik Aceh tahun
1999-2005, kampung ini kosong karena penghuninya mengungsi ke
Takengon dan kampung sekitarnya.
Lane, kawasan
kering yang terletak di ketinggian 600 meter dari permukaan laut hanya
dijadikan sebagai areal pengembalaan ternak kerbau. Tidak terdapat
tanaman penting yang tumbuh di sana, hanya beberapa pohon kelapa, pinus
mercusii, semak belukar dan hamparan padang rumput.
Istimewanya,
ternak kerbau yang berasal dari daerah ini gemuk-gemuk dan sehat.
Konon, sejumlah uning (sumber air kaya mineral) yang terdapat di daerah
ini mengandung unsur garam yang menjadi extra fooding sebagai penambah
selera makan dan mineral bagi hewan itu.
Benarkah
uning yang terdapat di kawasan Lane mengandung garam? C. Snouck
Hurgronje dalam buku nya yang berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners
(1903) yang telah diterjemahkan Hatta Hasan (1996) menjelaskan tentang
Lane. Menurut dia, kondisi Lane saat itu (sekitar tahun 1901) selain
pondok-pondok peruweren, terdapat pondok pemasak garam sebagai tempat
bermalam selama bekerja. Di daerah itu terdapat dua buah sumur garam
yang bernama lancang, sumur yang berisi air keruh dan mengelegak,
Sumur
pertama bernama lancang rawan yang diperuntukkan bagi kaum pria, dan
sumur kedua bernama lancang banan yang diperuntukkan bagi kaum wanita.
Air dari sumur itu ditimba, dimasukkan ke dalam kuali besi, lalu
dimasak diatas tungku dengan bahan bakar dari kayu. Seorang pengusaha
garam saat itu mampu menghasilkan garam sebanyak 10 are (20 liter)
sekali masak.
Snouck menambahkan, garam lane
rasanya agak tawar, tetapi kalau terlalu banyak menjadi pahit. Di
tempat pembuatannya, harga garam Lane untuk 8 are (16 liter) senilai 1
ringgit. Pada tahun 1901, Jansen seorang insinyur tambang telah membeli
sedikit sampel garam Lane.
Dia kemudian meminta
Professor Dr. P. van Romburgh menganalisis garam Lane. Hasilnya terdiri
dari air (22,39%); pasir dan lain-lain (7,50%); CO2 (15,40%); SIO2
(0,40%); Cloor atau CL (18,20%); Alumunium atau Al2O2 dan Fe2O2
(2,90%); Kapur (15,75%); Magnesia atau MgO (5,18%); Natron atau Na2O
(17,10%); dan Kali atau K2O (0,20%).
Bukti yang
ditulis Snouck, barangkali cukup mencengangkan bagi generasi muda saat
ini. Deskripsi detil tentang setiap wilayah di Dataran Tinggi Gayo
menjadi salah satu literatur untuk memahami kehidupan masyarakat Gayo
di masa lalu. Tak terkecuali deskripsi tentang sumur (lancang) garam
yang terdapat di Lane sangat lengkap. Kenapa tidak, sumur garam itu
untuk selanjutnya dijadikan situs sejarah bagi Dataran Tinggi Gayo Aceh
Tengah.
Beruntunglah masyarakat Gayo yang
memiliki sebuah buku khusus yang sengaja ditulis C.Snouck Hurgronje
dengan judul Het Gajoland ez Zijne Bewoners ini. Banyak hal yang
diceritakan Snouck dibuku itu dapat diubah menjadi catatan untuk situs
sejarah kebudayaan masyarakat di masa lalu. Keterangan-keterangan yang
ditulisnya selanjutnya dituliskan kembali sebagai sebuah deskripsi atas
dinamika kehidupan dan budaya Gayo di masa lalu. Semoga dan berharap?
No comments:
Post a Comment