Kumpulan Liputan Korupsi di Aceh Pasca Tsunami
Bencana
tsunami 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam menimbulkan duka
mendalam sekaligus simpati komunitas internasional. Beragam bantuan dari
banyak negara dan lembaga –disamping bantuan dari dalam negeri—mengucur
ke Bumi Serambi Mekah itu. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dibentuk
Pemerintah untuk membangun kembali Aceh yang porak poranda.
Tetapi tidak semua alokasi dana dan bantuan berada di satu tangan. Ada
yang langsung membangun sendiri, ada pula yang menggelontorkan dana
lewat kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat. Apapun bentuknya,
yang jelas triliunan rupiah menyebar di Aceh pasca tsunami.
Tentu
saja, pemberi bantuan punya niat baik untuk ikut berpartisipasi
merehabilitasi kerusakan dan merekonstruksinya kembali. Sayang, tak
semua kucuran dana itu dikelola dengan baik. Duit yang berlimpah malah
dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Ironisnya, tak semua perilaku menyimpang itu terendus aparat penegak
hukum. Entah karena tak memiliki bukti atau “daya penciuman” sang aparat
yang kurang tajam.
Liputan
sejumlah jurnalis yang dimuat dalam buku ini bisa jadi mengarahkan
penciuman aparat hukum untuk lebih tajam lagi. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) menyelenggarakan sayembara peliputan investigasi kasus
korupsi di Aceh pasca tsunami. Ada
24 proposal yang masuk. Sebanyak 12 jurnalis mendapat kesempatan
melaksanakan liputan investigasi tersebut. Hasil karya sebagian jurnalis
itulah yang dikompilasi dalam buku Rembukan Gelap ini.
“Rembukan Gelap”
tak ubahnya sebagai penulisan ulang liputan para jurnalis
(cetak/online, televisi, dan radio) yang memang sudah dimuat di media
masing-masing. Misalnya, penelusuran wartawan Detik.com terhadap
proyek Taman Bustanussalatin. Temuan sang wartawan benar-benar
mencengangkan: Alamat Yayasan yang mengelola Taman itu baik di Aceh
maupun di Bandung tak jelas. Ada
pula dugaan penyelewenangan dana Asuransi Kesehatan buat warga miskin
(Askeskin) di Pidie, atau dana PETA di Bener Meriah. Di Aceh Tengah,
proyek Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang, alih-alih untung, yang
didapat malah buntung.
REMBUKAN GELAP
KUMPULAN LIPUTAN KORUPSI DI ACEH PASCA TSUNAMI
Editor: Satrio Arismunandar, Willy Pramudya
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Tahun terbit: 2009
Halaman: 93 versi Indonesia + 86 versi Inggris
|
Membaca
hasil liputan investigasi jurnalis tak ubahnya mengingat kembali
peristiwa yang sering terulang ketika bencana mendatangkan simpati dan
dana, ketika itu pula dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk
mengeruk keuntungan. Kita tentu masih ingat bencana gempa dan tsunami di
Tasikmalaya dan Cilacap telah mengantarkan beberapa oknum pejabat
setempat ke balik jeruji besi. Beruntung, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menemukan penyimpangan dana bantuan untuk korban bencana.
Penelusuran
korupsi di daerah dan hasilnya dikompilasi sebenarnya bukan pertama
kali dilakukan. Pada 2002 lalu, kompilasi 16 kajian korupsi di berbagai
daerah diterbitkan. Richard Halloway menjadi editor empat jilid buku “Stealing from the People, 16 Studies on Corruption in Indonesia”. Buku ini lebih memetakan bagaimana korupsi itu dilakukan.
Kajian lain bisa dibaca lewat buku Frenky Simanjuntak dan Anita Rahman Akbarsyah, “Membedah Fenomena Korupsi, Analisa Mendalam Fenomena Korupsi di 10 Daerah di Indonesia”. Buku ini merupakan studi fenomena korupsi di kabupaten Tanah Datar, Cilegon, Wonosobo, Yogyakarta, Denpasar, Palangkaraya, Mataram, Maumere, Parepare, dan Gorontalo.
Dua
buku terakhir lebih memetakan pola-pola korupsi dengan perspektif
non-jurnalistik. Sehingga, kita tidak akan mendapatkan sudut pandang dua
sisi (cover both sides), sebagaimana biasa dilakukan
jurnalis (hal. 57). Lepas dari perspektif itu, ketiga buku sama-sama
menyajikan potret buruk korupsi kepada kita. Juga, menggambarkan bahwa
korupsi sering terjadi karena ada kesempatan dan lemahnya pengawasan.
Pengawasan itu di satu sisi termasuk dari masyarakat. Di sisi lain,
masyarakat sangat berharap aparat hukum menindaklanjuti dugaan korupsi
itu. Seringkali masyarakat menganggap bukti yang dibutuhkan sudah cukup.
Tinggal menunggu langkah pasti aparat penegak hukum (hal. 39).
Buku lain dengan tema sejenis namun lebih spesifik adalah “Ruang Gelap Penyusunan Anggaran: Pola-Pola dan Data Indikasi Penyimpangan Anggaran Daerah” (2006),
editor Agus Sahlan Mahbub dan Mas’alina Arifin. Deretan buku kajian
sejenis mungkin bisa ditambah. Yang penting dilihat adalah tujuan dan
spirit penerbitan buku-buku sejenis.
Tujuan
buku “Rembukan Gelap” ini tentu bukan hendak memaksa aparat hukum
bertindak. Melalui kompilasi ini, pembaca diharapkan dapat menemukan
berbagai pertanda betapa gurita korupsi telah mengakar jauh ke tubuh
bangsa ini, hingga ke setiap sudutnya” (hal. 9).
Dan, kalau ingin tahu lebih detail gurita korupsi itu, tentu kita harus membaca bukunya.
No comments:
Post a Comment