Sejarah Singkat Aceh Darussalam
Posted on Tuesday, 27 February 2007 by Aulia
BANGSA
Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu. Yaitu
bangsa-bangsa: Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut),
Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari Tanah
Semenanjung Melaka. Ke semua bangsa ini menurut ethnology, ada
hubungannya dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di
lembah sungai Indus dan Gangga.
Satu keterangan lain menerangkan tentang
bangsa Mante yang tersebut di atas, terutama penduduk Aceh Besar.
Menurut cerita orang-orang tua (mythe), tempat kediamannya di kampung
Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12),
letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas. Bansa Mante inilah yang berkembang
biak ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke
tempat-tempat lain.
Adapun lembah Aceh Besar itu (Aceh tiga
segi) tatkala itu lautnya (pantai lautnya) Indrapuri dan Tanoh Abee
(tanah pasir halus) tempat kediaman orang Hindu. Jadi, Blang Bintang,
Ulee Kareng, Lambaro, Lam Ateuk, Lamnyong, Tungkop, Lam Nga, Tibang dan
lain-lain masih merupakan laut besar. Dan menurut mythe tadi, kalau
orang mau naik kapal berlayar naik haji (pilgrim) pelabuhannya
di Aneuk Gle. Montasik, ialah perigi tempat pelaut-pelaut singgah
mengambil air. Jadi letaknya kampung Montasik sekarang adalah di tepi
laut, sedangkan kampung Ateuk yang berasal dari kata “Gateuek” sebangsa
ketam tanah yang hidup di air asin (paya) yang berdekatan dengan laut.
SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki
berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923
M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian
Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah
Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah
masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297.
Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai
diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.
KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA PASAI ACEH ISLAM
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M-
1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama
Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat
dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang
Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat
didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya,
ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India
selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023
lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya. Ternyata
dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India
selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India
selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan,
tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377.
Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai
di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik
ul Zahir.
POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di
Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada
tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang
diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gajah Mada
menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan
sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum
seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata
dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang
ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin
berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai
dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya
digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha
yang berpusat di Palembang ini.
GILIRAN MAJAPAHIT-HINDU DIGEMPUR DEMAK-ISLAM
Ketika raja Hayam Wuruk dari Majapahit
meninggal tahun 1389, digantikan oleh putrinya Kusumawardani dan
suaminya. Ternyata pada masa ini timbul perang saudara antara
Kusumawardani dengan Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selirnya). Dalam
perang saudara yang dikenal dengan nama Paregreg (1401-1406) Wirabhumi
bisa dikalahkan.
Akibat dari perang saudara ini Majapahit
menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika
Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525
digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang
tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden
Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.
ACEH LAWAN PORTUGIS
Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai
lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka
Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang
berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah.
Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan
Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis,
kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah
(1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah
(1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan
Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan
yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan
Aceh ini.
Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.
SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
- Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
- Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
- Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
- Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
- Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
- Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda
menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh
Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin
Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler
sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.
Perang kedua, dibawah Jenderal Van
Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di
masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan
perang fi’sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan
sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar
bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi
pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der
Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku
Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
SIASAT SNOUCK HURGRONYE
Untuk mengalahkan
pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck
Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti
kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan
dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan
rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye
kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya
golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan
pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum
ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan
pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada
rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki
jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye
diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh
(1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.
TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh
Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh
Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan
menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang
dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga
Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan
Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku
Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli
dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali,
Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap
putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa
keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan
menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak
penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan
cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen
yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni
1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan
1149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku
Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut
Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ
Van Heutz telah menciptakan surat pendek
penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri
itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari
daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan
dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M
Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Asal Nama Negeri Aceh
Sesudah ± tahun 400 Masehi, Sumatera
Utara dinamai orang Arab: Rami (Ramni=Kampung Pandee sekarang), oleh
orang Tionghoa: Lan-li, Lan-wu-li, Nan-wu-li dan Nan-poli. Yang
sebenarnya sebutan Atjeh Lam Muri, oleh sejarah Melayu: Lambri (lamiri)
dan oleh Marcopolo Lambri. Sesudah kedatangan Portugis, nama Lambri tak
tersebut lagi, melainkan Achem (Atjeh). Orang Portugis dan Italia
biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen dan orang Arab menyebutkan lagi
Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis
mengatakan: Achem, Achen, Achin, Acheh. Orang Inggris menyebut: Atcheen,
Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem, Achim,
Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan akhirnya Atjeh. Orang Aceh
sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut di
dalam tarich Melayu, undang-undang Melayu, di dalam surat-surat Atjeh
lama (sarakata) dan pada mata-mata uang Atjeh, emas (derham), uang timah
(keuëh) Atjeh dan sebagainya disebut Atjeh. Tentang asal nama ini belum
ada keterangan yang jelas.
Di dalam tarich Kedah (Marong Mahawangsa)
dari ± tahun 1220 M/ 517 H. Aceh sudah tersebut sebagai satu negeri di
pesisir Pulau Pertja (Sumatera). Orang Portugis Barbosa (1516 M/922 H)
yaitu orang Eropa yang datang menyebut: Achem dan lagi buku-buku sejarah
Tionghoa (1618 M) yang mengenai Aceh mengatakan A-tse. Bentuk yang
lebih tua lagi ialah Tadji atau Tashi, yang bagi orang Tionghoa berarti
segala negeri Islam: atau pun sebutan kepada negeri Pasai. Pa menjadi
Ta.
ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS
41 tahun kemudian semenjak selesainya
perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda
belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang
tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk
negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh
Indonesia yaitu yang terdiri dari:
- Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville
- Negara Indonesia Timur
- Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
- Negara Jawa Timur
- Negara Madura
- Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
- Negara Sumatra Selatan
- Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
- Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah
Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16
Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik
menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat
Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20
Desember 1949.
PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana
Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan
ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah
pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan
RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di
Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di
Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil
Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan
tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)KEMBALI KE NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS
dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan
Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa
negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950
yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera
Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan
Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara
Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama. Pada rapat gabungan
Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS
Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk
menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan
Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964,
Sekretariat Negara RI, 1986)
MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali
menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia
di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara
Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan
Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah
dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
- Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
- Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
- Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
- Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
- Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
- Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di
atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi
dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada
Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin.
(30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976
14 tahun kemudian setelah Daud Beureue
menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada
tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana
bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari
buku “The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di
Tiro” (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut ”
Declaration of Independence of Acheh Sumatra” (hal: 15-17) adalah “To
the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising
our right of self-determination, and protecting our historic right of
eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and
independent from all political control of the foreign regime of Jakarta
and the alien people of the island of Java….In the name of sovereign
people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman,
National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh,
Sumatra, December 4, 1976″. (“Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami,
rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan
melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini
mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik
pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa….Atas nama rakyat
Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua
National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4
Desember 1976″) (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku
Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal :
15, 17).
disarikan dari Forum Bersama Damai Aceh
No comments:
Post a Comment