SEJARAH KERAWANG GAYO DAN PERKEMBANGANNYA
Sejarah umat manusia pernah memlalui dua jaman
paleolitikum dan neoletikum. Pada jaman paleotikum dan awal Neoletikum
manusia mulai mengenal dan membuat benda-benda atau peralatan dari tanah
liat atau tembikar. Pada masa itu kelompok-kelompok manusianya telah
menetap dan melakukan kegiatan pertanian atau hortikultura. Di luar
Indonesia tembikar tertua ditemukan berusia sekitar 6500 SM (Haryono, T
dan Priyanti Pakan, 1991 : 216-217). Di Gayo sendiri telah berkembang
kepandaian membuat tembikar yang berbentuk bermacam-macam wadah seperti
keni (Keni) labu (sejenis kendi dengan ukuran yang lebih kecil), wadah
menyerupai baskom (buke), tempat mengabil air dan menyimpan air
(buyung), periuk, belanga dan lain-lain. Tembikar pada masa bercocok
tanam di Indonesia ada yang polos yang berhias. Seperti tembikar di
Indonesia lainnya, teknik hiasan tembikar Gayo ada yang menunjukan
Teknik Gores (incided), teknik tekan (impressed) dan teknik dengan
cairan berwarna. Motif hiasannya umumnya motif geometrik, plora dan
pauna. Wadah-wadah itu masih dibuat orang Gayo semapai sekarang tahun
40-an. Pembuatan tembikar berangsur-angsur terhenti karena masuknya
wadah-wadah teknologi baru dengan fungsi yang sama. Adapun yang belum
jelas, kapan orang gayo mulai mengembangkan kepandaian membuat tembikar
itu; yang keseluruhannya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mereka
juga memakainya dalam rangka upacara perkawinan sebagai salah satu unsur
tempah, yang mirip dengan mas kawin.
Sehubungan dengan masa lalu orang gayo itu, ada orang yang mencoba menganalis hasil ragam hias kerawang. Meskipun pendekatan ini tidak dipelajari secara mendalam, raga hias kerawang digayo ini terpahat pada bagian-bahagian tertentu dari rumah; berupa dari lambang-lambang bahagian tubuh dari binatang, yang mengingatkan pada pada jaman batu muda (neolitik). Lambang-lambang itu sebagai selain hiasan, juga terkait pada sistem kepercayaan mereka, seni hias yang semakin berkembang, terlihat pada ukiran-ukiran geometris yang ada pada dinding atau tangga rumah. Selanjutnya pengaruh islam membendung mereka untuk membuat patung-patung, yang diangap bertentang dengan norma agama yang mereka anut (Harun, 1962 : 8 – 11). Sehubungan dengan ragam hias ini, sebenarnya ada ragam corak hias yang dikenal dan hidup dalam kehidupan masyarakat Gayo. Ragam hias ini terwujud pada barang anyaman seperti tikar, bermacam-macam wadah yang dianyam minsalnya apa yang disebut tape, sentong, bebalun. Semua ini merupakan benda upacara. Ada pula ragam hias pada tembikar dengan berbagai motif dan nama-nama hiasan seperti : kekukut, memayang, kekuyang, gegenit, tapak tikus, dan lain-lain. Ragam hias itu juga terdapat pada pakaian dengan motif dan nama sendiri pula. Nama-nama hiasan itu pada umumnya diambil dari nama unsur tubuh binatang, seperti telapak kaki tikus , kaki lipan disamping gejala alam minsalnya awan berarak (emun berangkat) semua itu tentu mengandung pesan budaya sehubungan dengan kehidupan mereka dimasa lalu.
Pertama sekali ukiran kerawang ditemukan pada ornamen umah pitu ruang ( rumah adat suku Gayo sehingga memperindah nilai bentuk umah pitu ruang itu sendiri. Sedangkan umah pitu ruang itu sendiri adalah mahar atau permintaan dari seorang putri dari kerajaan Johor yang dipinang oleh Adi Genali raja Linge Pertama pada abad ke 10. bangunan umah pitu ruang sangat erat kaitannya dengan ukiran kerawang sehingga mengandung nilai-nilai filsafat dalam kehidupan masyarakat. Angka pitu ruang (tujuh ruang) merupakan pondasi iman dalam kehidupan yang memhubungkan manusia dengan Allah SWT. Ruang pertama diidentik dengan Alqur’an, ruang kedua merupakan hadist, ruang ketika adalah izja, ruang keempat adalah kias, ruang kelima adalah edet, ruang ke enam adalah resam dan ruang ketujuh adalah atur. Dengan arti lain pitu ruang merupakan konsep pertikal antara manusia dengan Allah. Sedangkan kerawang merupakan Konsep horizontal antara sesama manusia edet, resam dan atur merupakan konsep horizontal antara sesama manusia. Sedangkan hasil refleksi manusia dengan alam melahirkan sebuah budaya yang terangkum dalam kehidupan kebudayaan manusia. Salah satunya adalah kerawang. Nama atau bentuk ukiran kerawang adalah ornamen alam yang menjadi simbul dan identitas dari mansyarakat yang lahir dari karsa dan cipta manusia itu sendiri.
Filosopi kehidupan orang gayo direpleksikan kepada ukiran kerawang yang menjadi adat dan budaya bagi orang gayo itu sendiri. Kerawang adalah hasil cipta karsa dari manusia yang menjadi nilai estetika dalam prilaku kehidupan yang kemudian menjadi budaya. Sedangkan budaya itu sendiri adalah hasil refleksi manusia dengan alam. Bahkan motif kerawang tercermin pada resam peraturan negeri Linge yaitu sarak opat. Filosopi kehidupan yang tercermin dalam motif kerawang yaitu:
Sarak opat ; reje museket sipet (raja yang adil ) petue musidik sasat ( cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas) imem muperlu sunet (iman memahami betul antara yang haram dan halal, yang wajib dan sunat ) rakyat genap mupakat (segala persoalan maysrakat diselesaikan dengan musyawarah)
Embun berangkat ; beluh sara loloten mewen sara tamunen (sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam persatuan dalam membangun negeri)
Pucuk rebung : Kuatas mupucuk lemi kutuyuh mujantan tegep ( peningkatan kualitas manusia ddengan pondasi iman )
Puter tali ; ratif musara nanguk nyawa musara peluk ( sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah harus bersama-sama)
Ukiran kerawang yang ada pada umah pitu ruang adalah pase pertama keberadaan kerawang selanjutnya ukiran kerawang berkebang kepada gerabah dan kendi, kemudian berkembang pada tembikar. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi menjadikan kerawang sebagai industri rumah tangga. Berbasis ekonomi rakyat. Namun perkembangan kerawang sebagai usaha kerajinan banyak mengalami kendala dari dalam dan dari luar. Untuk membangkitkan potensi ekonomi berbasiskan budaya sangat diperlukan pengkajian yang lebih mendalam salah satunya adalah menciptakan alternatif-alternatif dengan pendekatan teknologi agar kerawang sesuai dengan kehendak pasar dan kebutuhan masyarakat Gayo sendiri. Serta sangat diperlukan perhatian pemerintah dengan komitmen yang terarah dan terprogram dalam membina kerajinan kerawang sebagai potensi daerah.
Sehubungan dengan masa lalu orang gayo itu, ada orang yang mencoba menganalis hasil ragam hias kerawang. Meskipun pendekatan ini tidak dipelajari secara mendalam, raga hias kerawang digayo ini terpahat pada bagian-bahagian tertentu dari rumah; berupa dari lambang-lambang bahagian tubuh dari binatang, yang mengingatkan pada pada jaman batu muda (neolitik). Lambang-lambang itu sebagai selain hiasan, juga terkait pada sistem kepercayaan mereka, seni hias yang semakin berkembang, terlihat pada ukiran-ukiran geometris yang ada pada dinding atau tangga rumah. Selanjutnya pengaruh islam membendung mereka untuk membuat patung-patung, yang diangap bertentang dengan norma agama yang mereka anut (Harun, 1962 : 8 – 11). Sehubungan dengan ragam hias ini, sebenarnya ada ragam corak hias yang dikenal dan hidup dalam kehidupan masyarakat Gayo. Ragam hias ini terwujud pada barang anyaman seperti tikar, bermacam-macam wadah yang dianyam minsalnya apa yang disebut tape, sentong, bebalun. Semua ini merupakan benda upacara. Ada pula ragam hias pada tembikar dengan berbagai motif dan nama-nama hiasan seperti : kekukut, memayang, kekuyang, gegenit, tapak tikus, dan lain-lain. Ragam hias itu juga terdapat pada pakaian dengan motif dan nama sendiri pula. Nama-nama hiasan itu pada umumnya diambil dari nama unsur tubuh binatang, seperti telapak kaki tikus , kaki lipan disamping gejala alam minsalnya awan berarak (emun berangkat) semua itu tentu mengandung pesan budaya sehubungan dengan kehidupan mereka dimasa lalu.
Pertama sekali ukiran kerawang ditemukan pada ornamen umah pitu ruang ( rumah adat suku Gayo sehingga memperindah nilai bentuk umah pitu ruang itu sendiri. Sedangkan umah pitu ruang itu sendiri adalah mahar atau permintaan dari seorang putri dari kerajaan Johor yang dipinang oleh Adi Genali raja Linge Pertama pada abad ke 10. bangunan umah pitu ruang sangat erat kaitannya dengan ukiran kerawang sehingga mengandung nilai-nilai filsafat dalam kehidupan masyarakat. Angka pitu ruang (tujuh ruang) merupakan pondasi iman dalam kehidupan yang memhubungkan manusia dengan Allah SWT. Ruang pertama diidentik dengan Alqur’an, ruang kedua merupakan hadist, ruang ketika adalah izja, ruang keempat adalah kias, ruang kelima adalah edet, ruang ke enam adalah resam dan ruang ketujuh adalah atur. Dengan arti lain pitu ruang merupakan konsep pertikal antara manusia dengan Allah. Sedangkan kerawang merupakan Konsep horizontal antara sesama manusia edet, resam dan atur merupakan konsep horizontal antara sesama manusia. Sedangkan hasil refleksi manusia dengan alam melahirkan sebuah budaya yang terangkum dalam kehidupan kebudayaan manusia. Salah satunya adalah kerawang. Nama atau bentuk ukiran kerawang adalah ornamen alam yang menjadi simbul dan identitas dari mansyarakat yang lahir dari karsa dan cipta manusia itu sendiri.
Filosopi kehidupan orang gayo direpleksikan kepada ukiran kerawang yang menjadi adat dan budaya bagi orang gayo itu sendiri. Kerawang adalah hasil cipta karsa dari manusia yang menjadi nilai estetika dalam prilaku kehidupan yang kemudian menjadi budaya. Sedangkan budaya itu sendiri adalah hasil refleksi manusia dengan alam. Bahkan motif kerawang tercermin pada resam peraturan negeri Linge yaitu sarak opat. Filosopi kehidupan yang tercermin dalam motif kerawang yaitu:
Sarak opat ; reje museket sipet (raja yang adil ) petue musidik sasat ( cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas) imem muperlu sunet (iman memahami betul antara yang haram dan halal, yang wajib dan sunat ) rakyat genap mupakat (segala persoalan maysrakat diselesaikan dengan musyawarah)
Embun berangkat ; beluh sara loloten mewen sara tamunen (sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam persatuan dalam membangun negeri)
Pucuk rebung : Kuatas mupucuk lemi kutuyuh mujantan tegep ( peningkatan kualitas manusia ddengan pondasi iman )
Puter tali ; ratif musara nanguk nyawa musara peluk ( sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah harus bersama-sama)
Ukiran kerawang yang ada pada umah pitu ruang adalah pase pertama keberadaan kerawang selanjutnya ukiran kerawang berkebang kepada gerabah dan kendi, kemudian berkembang pada tembikar. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi menjadikan kerawang sebagai industri rumah tangga. Berbasis ekonomi rakyat. Namun perkembangan kerawang sebagai usaha kerajinan banyak mengalami kendala dari dalam dan dari luar. Untuk membangkitkan potensi ekonomi berbasiskan budaya sangat diperlukan pengkajian yang lebih mendalam salah satunya adalah menciptakan alternatif-alternatif dengan pendekatan teknologi agar kerawang sesuai dengan kehendak pasar dan kebutuhan masyarakat Gayo sendiri. Serta sangat diperlukan perhatian pemerintah dengan komitmen yang terarah dan terprogram dalam membina kerajinan kerawang sebagai potensi daerah.
No comments:
Post a Comment