Disini aku dilahirkan, dibesarkan, dididik, hidup dan menghidupi, dan akan mungkin dikuburkan.
Rabu, 15 Agustus 2012
Lambang Kolonialisme yang Gelap (Kasus Benteng Kuta Reh)
Belanda selalu memandang diri sebagai negeri yang kalem dan cinta damai,
dan seringkali merasa menjadi korban kekerasan brutal negeri-negeri
yang lebih adidaya, Jerman terutama. Namun sejarah mencatat, bagi
bangsa-bangsa di kawasan Asia, Belanda adalah negeri adidaya. Di tahun
1900 Belanda adalah negeri adidaya ketiga setelah Inggris dan Perancis.
Di kawasan ini Belanda juga bertingkah sebagaimana jamaknya negeri
adidaya: penuh kekerasan dan haus kekuasaan.
Di tahun 1904, polisi militer Belanda di bawah pimpinan Letkol Van
Daalen meluncurkan ekspedisi berdarah di daerah Gayo dan Alas, kawasan
yang dianggap memberontak di Aceh, Sumatera. Lebih dari tiga ribu
penduduk setempat dihabisi, termasuk perempuan dan anak-anak. Duapuluh
persen penduduk daerah Alas dibantai. Pertempuran berjalan tak imbang:
pasukan Belanda dengan senapan otomatis, rakyat Aceh dengan pemuras atau
terakul (senjata api rakitan yang hanya meletus sekali lalu harus diisi
lagi, rh.), air cabe, pentung dan batu.
Ada sebuah foto dalam ekspedisi ini yang kemudian menjadi ikon wajah
menyeramkan kolonialisme Belanda. Foto tersebut diambil setelah serangan
di desa Koeto Reh. Komposisi dalam foto ini menunjukkan hirarki
kolonial: tentara yang menang berdiri di atas tumpukan mayat rakyat yang
berserakan. Seorang anak yang selamat dari pembantaian tersebut tampak
di sela puing-puing dan mayat yang bergelimpangan.
Foto tersebut segera terpublikasi setelah melewati perdebatan panas.
“Foto tersebut biasanya menghilang (di perdebatan media) lalu kemudian
muncul lagi. Bagai laut yang pasang surut,” kata ahli teori budaya Paul
Bijl, yang minggu depan (minggu ini, rh.) akan mengajukan disertasi
doktornya tentang peranan fotografi yang memperlihatkan kekejaman perang
dalam memori kultural bangsa Belanda.
Di tahun 60-an sebuah foto berperan sangat penting. Ahli sejarah perang
Loe de Jong mempresentasikan foto tersebut sebagai gambaran
kecenderungan kekerasan pemerintah kolonial. Para pembangkang dan
aktifis kiri membandingkan tentara-tentara kolonial tersebut dengan
Nazi. Kata Bijl: foto ini mewakili suatu debat tentang identitas bangsa
Belanda. Apa yang menjadi karakter kolonialisme Belanda? Negeri semacam
apa kita (Belanda) ini?
Di tahun 1901 pemerintah Belanda mencanangkan gerakan politik etis di
Hindia Belanda. Hinda Belanda harus diberadabkan menurut model Barat.
Kekuatan kolonial lain juga melakukan hal yang sama: Inggris dengan
gerakan White man’s burden dan Perancis dengan misi civilisatrice. Untuk
masa sekarang, Bijl juga melihat adanya kesamaan dengan perang
Afghanistan, di mana Barat mencoba membawa masuk demokrasi. Kenyataan
bahwa tentara Belanda mempelajari sejarah peperangan Belanda di Aceh
untuk persiapan misi di Uruzgan bukanlah sesuatu yang sia-sia dan
kebetulan belaka.
“Kolonialisme belumlah berakhir. Paham ini masih terus hidup dalam
bentuk pemikiran-pemikiran tertentu,” kata Bijl. “Bahkan dalam misi di
Afghanistan, Barat memandang diri mereka sebagai pihak yang memberikan
sumbangsih. Seperti kata seorang komandan Belanda, “jika tidak mesti,
kita tak akan melawan Taliban. Kita hanya membuat Taliban tak lagi
dibutuhkan.”
Sikap ini tidak seluruhnya absurd, orang-orang Afghanistan akan hidup
lebih baik dengan demokrasi daripada dengan Taliban. Para pendukung
kolonialisme menunjukkan bahwa di masa kolonial, Belanda mengakhiri
perang antar suku dan perdagangan budak. Namun misi etis ini juga
menimbulkan ketegangan, sebab bukan hanya kepentingan Barat yang coba
dipenuhi dengan bumbu etis ini, tapi juga karena penduduk setempat tak
selamanya ingin dijadikan ‘beradab’ menurut model pemikiran orang lain.
Sebelum mereka ‘diberadabkan’ mereka harus ditaklukkan lebih dulu.
Seperti yang dikatakan oleh Idenburg, menteri urusan daerah-daerah
koloni: “kadang-kadang pedang (meski kejam dan menyakitkan, rh.) adalah
sesuatu yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang kita kasihi.”
Foto-foto eskpedisi Van Daalen segera terpublikasikan. Reporter dari
Koran Deli yang menyertai misi itu menulis kisah tentang misi di Aceh
ini. Kata Bijl: “saat itu kisah seperti ini menjadi genre yang akrab
dengan pembaca: foto dan lukisan tentang pembantaian di daerah koloni.
Pemerintah saat itu ingin menunjukkan sejauh mana kemajuan yang dicapai
pemerintah kolonial di Aceh-Belanda. Namun para pengkritik kebijakan
kolonial, terutama dari kalangan sosialis, terkejut. Inikah yang
dimaksud dengan politik etis bangsa kita (Belanda)?
Pemerintah (saat itu) membela penggunaan kekuatan militer. Orang-orang
Aceh akan berpikir dua kali sebelum mereka mencoba bikin masalah,
demikian pikir Abraham Kuyper, perdana menteri Belanda saat itu.
Penembakan terhadap kaum perempuan dan anak-anak tentu saja disesalkan,
namun para pemberontak Aceh itu punya kebiasaan jelek bersembunyi di
antara penduduk. Kasus ini akhirnya mendingin begitu saja.
Namun foto Koeto Reh ini kembali muncul ke permukaaan. Di tahun 1961 Loe
de Jong ahli sejarah perang menampilkannya di televisi dalam seri
program berjudul Pendudukan. Foto ini juga dipublikasikan dalam bukunya:
Kerajaan Belanda di Perang Dunia Kedua. Kata Bijl: “Secara implisit De
Jong bertanya: bagaimana kekejaman kolonial kemudian menyebar ke
holocaust dan ke berbagai tindak kekerasan lain dalam sejarah umat
manusia?”
Jong tidak menjawab pertanyaan itu, namun para pembangkang dan aktifis
kiri tahun 60-an menjawabnya. Menurut mereka semuanya sama saja:
kolonialisme Belanda, Nazi, dan perang Vietnam. Di tahun 1965, dua
pemuda, salah satunya adalah Relus ter Beek yang kelak menjadi perdana
menteri Belanda dari PvDA, menulisi tembok monumen dan memasang teks
yang merujuk ke swastika (lambang NAZI jerman, rh.) di patung Jenderal
Van Heutsz di Coevorden. Van Heutsz adalah orang yang bertanggung jawab
untuk program pasifikasi Aceh.
Konsensus tak pernah tercapai. Banyak masyarakat Belanda yang masih
mengenang dengan indah masa-masa kolonial, contohnya adalah sebagian
masayarakat Indo-Belanda yang menjalani program repatriasi. Mereka
memandang diri mereka bukanlah sebagai penjahat tapi sebagai korban
teror Jepang dan gerakan Bersiap kaum nasionalis Indonesia di periode
pasca-perang. Suatu perkumpulan Indo-Belanda bahkan pernah menuntut De
Jong di pengadilan karena mempublikasikan foto-foto Koeto Reh, dan
mengatakan bahwa satu kampung pernah ditumpas habis oleh tentara KNIL.
Menurut mereka Koeto Reh bukanlah kampung, tapi benteng pertahanan. Dan
pembantaian itu perlu untuk penaklukan benteng. Jong akhirnya setuju
dengan pendapat mereka.
Sejak tahun 70-an, boleh dikata bukti-bukti kekejaman kolonialisme
menghilang dari pandangan publik. Bijl menyebutnya sebagai afasia
kultural (afasia: gangguan neurologis di mana kemampuan berbahasa
seseorang menghilang, rh). Para pendukung dan penentang kolonialisme tak
pernah bisa bermufakat. Hilangnya ‘bahasa’ yang mampu menjembatani dua
kalangan ini malah menimbulkan senyap. Kata Bijl: “Ini seperti rahasia
keluarga, semua orang tahu tapi tak ada yang membicarakannya. Sampai
kemudian sesuatu yang baru terjadi atau kekuasaan berpindah, seperti
kita lihat baru-baru ini di Perancis, di mana parlemen kanan berupaya
mensahkan undang-undang yang melarang orang-orang untuk membicarakan
kolonialisme. Rancangan undang-undang ini dengan segera dicabut, namun
tak pelak rancangan undang-undang tersebut menimbulkan arus deras
publikasi tentang sisi gelap masa kolonialisme.
No comments:
Post a Comment