PENGAKUAN HAK PENGAKUAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DI DUNIA INTERNASIONALMASYARAKAT HUKUM ADAT DI DUNIA INTERNASIONAL
PENGAKUAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
DI DUNIA INTERNASIONAL
Oleh:Sutanto[1]
- I. Pendahuluan
Diera globalisasi ini, minimnya pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat. Terkhusus di Indonesia, pengakuan hanya sebatas pengakuan dalam Intrumen hukum negaranya. Tetapi ditingkat pelaksanaan hal tersebut, pengakuan itu tidak telaksana. Selain itu, masyarakat hukum adat selalu dikesampingkan dalam kebijakan-kebijakan politik negara[2]. Bahkan keberadaanya juga di usik, dengan penggusuran, pembunuhan, dan penghilangan.
Perlukiranya, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia. Karenanegara Indonesia, mempunyai keberagaman adat-istiadat. Keberadaan untuk pengakuan, merupakan wujud perlindungan HAM. Karena dengan pengakuan itu, dapat semaksima lmungkin menujuk pada keadilan hukum. Hukum bukan yang dipaksakan, tetapi hukum yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat itu sendiri yaitu hukum yang hidup didalam masyarakat (Living law).
- II. Permasalahan
- 1. Bagaimana Hukum HAM Internasional mengatur keberadaan masyarakat hukum adat?
- 2. Bagaimana juga dengan Instrumen hokum nasional Indonesia?
- III. Pembahasan
- A. Hukum HAM Internasional
- International Convention on the Elimination Universal Declaration of Human Rights
- International Covenant on Civil and Political Rights (Human Rights Committee)
- International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights (The Committee on Economic, Social and Cultural Rights)
- n of all Forms of Racial Discrimination (Committee CERD)
- International Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (Committee CEDAW)
- Convention on the Rights of the Child (Committee of the Rights of the Child)
- Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Committee against Torture)
- (+ Konvensi anti Genosida dan Deklarasi Hak Masyarakat Atas Perdamaian)
Di samping itu ada juga sejumlah norma dan panduan yang digunakan oleh sejumlah lembaga-lembaga transnasional seperti World Bank, badan-badan PBB seperti ILO dengan Konvensi ILO 169 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Laporan-laporan UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights juga menegaskan perlunya menjamin partisipasi masyarakat hukum adat dalam pengambilan keputusan yang membawa dampak bagi kehidupan mereka. Dan menegaskan kepada Negara anggotanya (State party) untuk to consult and seek the consent of the indigenous peoples concerned.
Convention on Biological Diversity (CBD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyebutkan secara tegas pula tentang hak masyarakat hukum adat untuk menyatakan setuju atau menolak sebuah rencana atau penerapan pembangunan dalam wilayah mereka. Pasal 8 j dan 10 c Konvensi ini telah menjadi bahan perdebatan dalam berbagai pertemuan CBD yang dikenal sebagai Confference of the Parties (COP) yang berlangsung yang ke-8 kalinya, 2006, di Curitiba, Brasil masih dengan salah satu agenda utamanya membahas kedua pasal tersebut.
Di samping itu juga terdapat badan-badan multilateral yang memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di dunia. International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional, adalah salah satu lembaga yang paling banyak menjadi rujukan dalam perjuangan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples di seluruh dunia karena mengedepankan hak-hak dan keberadaan masyarakat hukum adat. Meskipun demikian ada hal yang harus dicermati dalam hal Konvensi ILO 169. Standard-standard hak yang ditetapkan dalam konvensi ini berupa patokan-patokan atau pedoman-pedoman umum. Dengan demikian, bilamana sistem perundangan-undangan sebuah negara telah secara lebih detail mengatur tentang hak-hak masyarakat adat daripada yang diatur dalam Konvensi ILO 169[4], menjadi sebuah pertanyaan apa relevansi meratifikasi Konvensi ini.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun semua instrumen ini membicarakan tentang hak-hak masyarakat hukum adat atau indigenous peoples namun prinsip dasar yang dianut banyak negara masih tetap HAM berbasis individu. Pemerintah Inggris misalnya, menyatakan bahwa, Pemerintah Inggris menolak konsep rights of indigenous peoples[5]. Ini dapat dilihat misalnya dalam undangan yang dikeluarkan oleh Foreign and Commonwealth Office (FCO) kepada NGO dan Organisasi Indigenous Peoples di Inggris untuk sebuah pertemuan pada 2002 untuk mendiskusikan posisi United Kingdom (UK) terhadap Draft Deklarasi Indigenous Peoples. Dalam undangan tersebut tertulis[6]:
The UK has a clear position on the idea of collective human rights: with the exception of the right of self-determination (ICCPR Article 1.1) we do not accept the concept of collective human rights. In a legal framework, human rights are calls upon states to treat individuals in accordance with international standards. As a result, the UK is unwilling to accept use of the term rights of indigenous peoples in a human rights context. (Pemerintah Inggris mempunyai posisi yang jelas terhadap gagasan hak asasi manusia yang bersifat koletif: dengan pengecualian terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri (ICCPR Pasal 1.1 dan ICESCR, cetak miring tambahan dari penulis), kami tidak menerima konsep hak asasi manusia yang bersifat kolektif. Dalam kerangka hukum, hak asasi manusia adalah himbauan kepada negara-negara untuk memperlakukan individu-individu selaras dengan standard-standard internasional. Oleh karena itu UK tidak akan menerima penggunaan istilah hak-hak indigenous peoples dalam kerangka hak asasi manusia[7].
Di Amerika Serikat dan Kanada, perdebatan tentang right of self-determination difokuskan pada external dan internal right of self-determination. Bagaimana hak ini dijelaskan dapat dilihat dari kutiban di bawah ini[8]:
The internal Rights of self-determination basically provide for a “People” to be able to have a full voice within the legal system of the overall nation state, control over natural resources, the appropriate ways of preserving and protecting their culture and way of life and to be able to be a visible partner or participant with strong powers within the overall national polity. (Hak menentukan nasib sendiri yang bersifat ke dalam/internal pada prinsipnya menyajikan bagi sebuah “masyarakat” untuk dapat memiliki suara yang utuh dalam sistem hukum semua negara-bangsa, kontrol atas sumberdaya alam, cara yang layak untuk memelihara dan melindungi budaya dan pandangan hidup mereka dan untuk dapat menjadi mitra atau peserta yang nyata ada dengan kekuasaan yang kuat dalam keseluruhan pemerintahan nasional[9].
External self-determination arises when a People finds that this internal concept is not being accepted and the Right to full sovereignty, including the Right to international recognition of that People, comes into play. (hak menentukan nasib sendiri yang bersifat ke luar/eksternal muncul manakala sebuah masyarakat menemukan bahwa konsep internal hak mereka belum diterima sementara Hak untuk berdaulat penuh, termasuk Hak atas pengakuan internasional terhadap masyarakat tersebut, telah berlaku.
Cukup jelas dari kedua konsep tersebut bahwa hak menentukan nasib sendiri di Amerika Utara berlaku di dalam negara, dan bukan untuk membuat sebuah negara baru di dalam negara yang sudah ada. Namun ada sebuah kata kunci yang sangat menentukan dalam kedua kutiban di atas, yang membuat persoalan hak menjadi sebuah ajang perjuangan politik. Kata kunci tersebut adalah pengakuan internasional. Pengakuan internasional menentukan apakah sebuah kelompok masyarakat/bangsa diterima sebagai sebuah masyarakat/bangsa yang berdaulat penuh atau tidak. Di sinilah letak aspek perjuangan politiknya. Lobbi internasional, kekuatan negosiasi dan bahkan perjuangan bersenjata adalah sejumlah cara yang ditempuh untuk mendapatkan bentuk maksimal dari hak menentukan nasib sendiri. Contoh dari perjuangan politik di Indonesia tersebut adalah Timor Leste.
Berbeda dengan situasi di Amerika Utara, negara-negara Norwegia, Finlandia, Swedia, misalnya sangat maju dalam mendorong hak menentukan nasib sendiri bagi orang-orang Saami. Orang-orang Saami adalah indigenous peoples yang tersebar di negara-negara Finlandia, Swedia, Norwegia dan Rusia. Di tiga negara yang disebut pertama terjadi gerakan yang cukup kuat untuk menentukan nasib sendiri dari Orang Saami. Wujud dari perjuangan politik ini, salah satunya dapat dilihat dari terbentuknya Saami Parliament. Organisasi ini dibentuk pada 31 Desember 1993 sebagai sebuah otoritas pemerintahan dengan 31 anggota, yang dipilih oleh orang-orang Saami. Pada 24 Februari 2005, untuk pertama kalinya diselenggarakan Konferensi Parlemen Saami yang dihadiri oleh orang-orang Saami dari ke empat negara tersebut di atas. Dalam sistem pemerintahan di Norwegia, Swedia dan Finlandia, suara orang-orang Saami diwakili oleh Parlemen Saami yang sekaligus juga berfungsi sebagai otoritas pengurusan ke dalam bagi orang-orang Saami. Parlemen Saami adalah salah satu bentuk kelembagaan indigenous peoples yang secara luas diakui sebagai salah satu capaian tertinggi, selain dari capaian indigenous peoples di Canada yang membentuk wilayah otonom di belahan utara[10].
Perdebatan lain yang menggambarkan kuatnya perjuangan politik indigenous peoples adalah dalam hal terminologi peoples alih-alih penggunaan istilah people. Hal ini dapat dilihat dalam proses persidangan di World Summit on Sustainable Development yang berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan, 2002 lampau. Salah satu hasil penting adalah diakuinya peran sangat penting masyarakat adat yang dirumuskan Pasal 22 yang berbunyi We reaffirm the vital role of indigenous peoplesin sustainable development.[11]Perdebatan ini menunjukkan pertarungan politik antara paham individualisme dalam gerakan hak asasi manusia dengan paham kolektivisme. Pertanyaan dari kelompok yang menolak kata peoples adalah bahwa kata itu menyatakan adanya hak kolektif dari sekelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai hak asasi manusia. Namun, dari pihak indigenous peoples ada argumen yang kuat atas adanya pengaturan tentang hak kolektif dalam instrumen hukum internasional.
Dalam analisisnya tentang hak-hak kolektif dalam instrumen hukum internasional, Fergus Mackay dari Forest Peoples Programme menunjukkan bahwa terdapat sejumlah instrumen yang mencantumkan hak kolektif sebagai hak asasi manusia. Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; International Labour Organization Convention No. 107 (1957) and 169 (1989); dan UNESCO Declaration on Race and Race Prejudice (1978)[12].
- B. HukumNasional
- Dalam UU No. 41/1999 ada penjelasan tentang apa itu masyarakat hukum adat, tetapi tidak ada penjelasan tentang masyarakat adat, meskipun kedua istilah ini digunakan.
- Hal yang sama dapat ditemui dalam beberapa UU dan Perda lainnya. Beberapa UU seperti UU No. 24/2003 Jo. Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak ada penjelasan
- Yang menjelaskannya secara lengkap hanya UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua
Menurut UU No. 21/2001, tentang Otsus Papua:
- Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
- Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya
Sementara menurut Qanun No. 14/2002: Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang tinggal dalam kawasan tertentu secara turun temurun berdasarkan kesamaan wilayah dan atau hubungan darah yang memiliki wilayah adat dan pranata-pranata adat tersendiri.
Otsus Papua membedakan masyarakat hukum adat dan masyarakat adat hanya berdasarkan aspek kelahiran dalam komunitas atau tidak. Keduanya menekankan hubungan ‘hidup dalam wilayah tertentu dan tunduk pada hukum adat tertentu’. Jelaslah bahwa dalam Otsus, kedua kategori ini sama memiliki hukum adat, wilayah dan solidaritas.
Jika kita memeriksa sejumlah undang-undang seperti UU Kehutanan, Undang-undang Pokok Agraria, UUD 1945, maka pengakuan atas eksistensi masyarakat (hukum) adat adalah pengakuan bersyarat[13]. Kesulitan dalam pengakuan seperti ini adalah bahwa sejumlah kriteria tak dapat dijadikan patokan yang tegas untuk menentukan ada atau tidaknya masyarakat tersebut. Implikasinya tentu saja pada hak yang diklaim. Kesesuaian dengan perkembangan jaman dan ketaatan pada hukum adat dalam UU No. 41 tentang Kehutanan misalnya sulit sekali dijadikan sebagai kriteria untuk menetapkan ada atau tidaknya sebuah komunitas masyarakat hukum adat[14].
Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kategori masyarakat hukum adat diciptakan dan didorong dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memetakan secara sosial politik keberadaan sekaligus membedakan perlakuan hukum kepada kelompok rechtsgemeenschapdengan masyarakat Eropa dan Timur Asing.
- IV. Penutup
- A. Kesimpulan
- Pengakuan terhadap masyaraka tHukum adat/ masyarakat ada dan atau indigenous peoples, pada prinsipnya diakui dinegara manapun. Karen PBB telah mengakomodir kedalam aturan-aturan yang telah dibahas. Selain itu, ILO juga mengatur secara tegas. Ditambah lagi Norma-norma di dunia Internasional. Karena memang dalam kontek HAM keberadaan masyarakat adat diakui didalam Universal Declaration of human right (UDHR) dan konvenan hak Ekosob. Tetapi dalam kasus tertentu, berdampak kepada tidak masuk kedalam konvenan hak sipol.
- A. Kesimpulan
- Penguatan pengaturannya, lebih mengarah kepada perda-perda. Yang terlebih khusus kepada pemerintahan daerah yang mempunyai keistimewaan. Tidak menutup kemungkinan, pemerintahan yang tidak istimewa tidak mengaturnya. Karena diberikan hak untuk mengatur hal itu. Masalahnya, hal itu, harus mengacu kepada UU diatasnya.
- B. Saran
Daftar Pustaka
Bona Sihombing, Drs. Frans, Ilmu Politik Internasional (Teori Konsep Dan Sistem), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2009.
Edt. Asbjorn Eide, catarina Krause dan Allan Rosas, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, European Commission, brussels, 2001.
Harper, Erica, International Law And standart Applicable In Natural Disaster Situation, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009.
MacKay, Fergus dalam“The UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the Position of the United Kingdom”; dokumen Forest Peoples Programme, Mei 2003.
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009.
www.pum.umontreal.ca
www. wikipedia.com
http://rumahiklim.org/hak-masyarakat-adat/internasional/undrip/
Lihat Piagam PBB
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekosob
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipol
UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2011 tentangMK
UU No. 41/1999 tentangkehutanan
[1]Disampaikan
dalam Mata Sosiologi Hukum, sebagai tugas.Ujian dari Prof. Jawahir
Tantowi, (ilmuan sosioligi Hukum) di UII Yogyakarta.
[2] Erica Harper, International Law And standart Applicable In Natural Disaster Situation, Kompas
Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 354.
Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 354.
[3] Drs. Frans Bona Sihombing, Ilmu Politik Internasional (Teori Konsep Dan Sistem), Ghalia Indonesia, Jakarta,
1994, hlm. 240
1994, hlm. 240
[4][4]Ibid, hlm.59
[5]Lihat Fergus MacKay dalam“The UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the Position of the United Kingdom”; dokumen Forest Peoples Programme, Mei 2003.
[6]Lihat Fergus MacKay dalam“The UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the Position of the United Kingdom”; dokumen Forest Peoples Programme, Mei 2003.
[7]
Edt. Asbjorn Eide, catarina Krause dan Allan Rosas, Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya, European Commission, brussels, 2001, Hlm. 398.
[8]Lihat Matthew Coon-Come dalam Conference Proccedings “Rethinking Culture”; The Right to Self-
determination of Native and Indigenous Peoples di www.pum.umontreal.ca
determination of Native and Indigenous Peoples di www.pum.umontreal.ca
[9]Op.Cit. 168
[10]www. Wikipedia.com
[11]
Lihat Deklarasi Politik WSSD. Mengenai proses lobby politik terhadap
negara-negara pihak untuk mengadopsi kata peoples dan bukan people dapat
dilihat dalam tulisan refleksi tentang masyarakat adat dan WSSD oleh
Vicky Tauli Corpus:An Account And Analysis Of How The Sentence On
Indigenous Peoples Got Into The Johannesburg Political Declaration
[13]YLBHI, PanduanBantuanHukum Di Indonesia, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, hlm.432.
[14]WinahyuErwiningsih, HakMenguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 205
No comments:
Post a Comment