Rekomendasi untuk Gubernur Aceh dan Dubes Turki
Banda Aceh.Fokus Diskusi Grup dalam rangka Memperingati 502 tahun Kesultanan Aceh Darussalam (1511-2013) dan hari pahlawan Aceh 23 April ke 140 (1873-2013) berlangsung dan sehingga melahirkan beberapa rekomendasi.
Diskusi terfokus tersebut dihadiri 39 orang yang terdiri dari pakar dan pencinta sejarah. Acara ini berlangsung pada hari Pahlawan Aceh ke 140 tahun yang jatuh pada hari Selasa 23 April 2013 di Meeting Room Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.
Acara dibuka oleh kolektor manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid, dengan mempresentasikan manuskrip hasil koleksinya. Menurutnya, manuskrip yang ada padanya sekarang merupakan kitab-kitab karangan ulama Aceh yang menjadi acuan kebijakan Kesultanan Aceh Darussalam.
“Manuskrip merupakan peninggalan para ulama besar yang harus dikaji oleh para ahli supaya generasi muda bisa memahaminya. Manuskrip merupakan warisan peradaban yang sangat mahal. Ini merupakan karya para ulama dari segala aspek keilmuan. Diskusi ini dibuat dengan orang-orang yang sangat memperhatikan manuskrip terutama yang berisi sejarah agar kita tahu bagaimana kebudayaan Aceh yang sesungguhnya,” kata Tarmizi.
Seorang peserta yang merupakan pemerhati sejarah dari Kampung Pande, Ardian Yahya, menyatakan ketidaksetujuan tentang angka tahun kesultanan. Menurut Ardian, kesultanan Aceh Darussalam hampir seribu tahun, bukan 502.
Kepala Museum Aceh Nurdin AR menganjurkan acara serupa dikasanakan sebulan sekali. menjelaskan bahwa kenapa kenapa tahun ini Kesultanan Aceh Darussalam berusia 502 tahun.
“Kalau 502 tahun pada 2013 berarti dihitung saat Malaka jatuh ke Portugis, dan Sultan Ali Mughayatsyah menyatukan beberapa kerajaan menjadi Kesultanan Aceh Darussalam. Saat itulah potensi di Malaka berpindah ke Badar Aceh Darussalam sehingga menjadi menjadi pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara. Tergantung dari mana diambil, ini harus disepakati,” kata Nurdin.
Peserta diskusi Arkeolog dari Unsyiah Dr Husaini Ibrahim, mengatakan, tahun 1981 diadakan seminar yang menghasilkan keputusan dalam satu buku yang menegaskan Aceh hampir seribu tahun.
“Kalau hampir seribu tahun, berarti diambil dari penetapan Sultan Johansyah. di sana disebutkan temuan baru bahwa ketika di Aceh ada sebuah dinasti Hindu-budha, ada sekelompok pelarian dari Arabia Selatan datang mengislamkan seorang raja di Aceh sekitar bab ke enam. Jika sekarang disebutkan Aceh Darussalam berusia 502 tahun, itu sah-sah saja, karena setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri,” kara Husaini.
Menurutnya, batu nisan menjadi sumber sejarah yang primer. Selama ini, kata dia, sejarah yang ditulis tanpa memakai metode sejarah kritis sehingga tak sesuai dengan data. Dalam penulisan sejarah, katanya, harus pakai metode sejarah kritis.
“Sumber sejarah primer seperti batu nisan, manusikrip harus dipelihara dengan baik. Harus adalah seminar yang besar agar sumua itu terungkat dengan jelas, mengingat, Aceh sebagai sebuah kerajaan punya landasan yang besar,” kata Husaini.
Guru Besar IAIN Prof. DR. Yusni Saby., MA mengatakan, kebanyakan orang Aceh berasal dari Persia, Semenanjung Hindia, dan Champa.
“Sarjana besar muslim kebanyakan dari Persia. Tradisi kuburan dan nisan di Aceh, besar pengaruh Persia,” kata Profesor mantan rektor IAIN yang merupakan peserta diskusi.
Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh Adami Umar yang hadir sebagai peserta, mengatakan, manuskrip adalah warisan intelektual yang hanya dapat dihargai oleh intelektual juga. Ia menginginkan diskusi terarah seperti yang berlangsung hari itu terus dilaksanakan.
Seorang pegiat adat Zulfadli Kawom yang menghadiri acara itu menginginkan isi sejarah, adat, dan kebudayaan supaya dipraktikkan oleh penjabat-penjabat agar bisa diperintahkan kepada rakyat. Dengan mempraktikkan kembali, kata Zulfadli, kebudayaan Aceh dapat lestari.
Pemerhati sejarah dari Pidie, Teuku Abu Bakar, dalam acara tersebut menginginkan supaya ada rekomendasi kepada gubernur dari diskusi hari itu agar ada tindak lanjutnya.
Dalam diskusi yang berlangsung dua jam lebih tersebut, seorang pemerhati penulisan Aceh, Ayah Panton, menginginkan supaya diskusi dilaksanakan dengan waktu cukup serta membahas sebuah tema sampai selesai. Walaupun, kata dia, acara tersebut butuh waktu berhari-hari.
“Para akademisi harus meneliti. Pemerintah harus membangun sebuah museum khusus untuk menyimpan manuskrip koleksi Tarmizi A Hamid,” kata Ayah Panton.
Seorang pegiat seni, Ayi Sarjev, mengharapkan agar di diskusi selanjutnya, para hadirin memberikan ide-idenya, jangan hanya duduk dan dengar saja.
“Saya lihat diskusi ini dihadiri oleh para tokoh besar dan pengambil kebijakan, kita harus sampaikan semua ide-ide. Pendidikan sejarah dan budaya harus diterapkan di sekolah-sekolah mulai dari sejak usia dini. Dan saya harap pemerintah segera bertindak mengklaim produk Aceh dengan hak paten,” kata Sarjev.
Pemerhati sejarah asal Tamiang yang menghadiri acara, Darmansyah, menginginkan supaya penulis Aceh menulis sumber sejarahnya. Aceh, kata dia, dari dulu punya sejarah.
“Saya sudah temukan bukti sejarah Aceh ada di Kedah, Serawak Malaysia serta di Musol, Iran. Malikus Saleh telah berhasil mempersatukan Sunni dan Syiah di Aceh. Sekarang, pemerintah harus membuat jembatan kebudayan, yaitu bahasa. Dan, jangan lagi para penghuni wilayah ini saling mengklaim dengan masing-masing berkata, ‘aku lebih tua.’ Jangan lagi,” kata Darmansyah.
Pegiat Syariat Islam yang hadir, Teuku Zulkhairi, menginginkan supaya dalam mengambil kebijakannya, pemerintah harus merujuk pada sejarah tentang yang terjadi zaman ini.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Banda Aceh, Yudi Kurnia, mengatakan, perlu dilaksanakan diskusi berkala, dengan tema khusus. Lalu, kata dia, dibagi kelompok kecil, masing-asing kelompok melakukan bagiannya.
“Setelahnya hasil itu dibawa kembali dalam forum untuk direkomendasikan kepada pemerintah. Harus merekomendasikan hasil diskusi kepada pemerintah,” kata Yudi yang hadir sebagai peserta.
Setelah diskusi selesai, ketua Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), Thayeb Loh Angen, mengatakan bahwa untuk menanggapi saran-saran peserta, pihaknya segera membuat rekomendasi.
“Hasil diskusi ini segera kami tulis dengan baik. Kita sesuaikan lagi dengan dengan beberapa peserta kunci, lalu kita kirim ke semua peserta yang hadir dalam Fokus Diskusi Grup, setelahnya kita serahkan kepada Gubernur Aceh dan DPR Aceh, Walikota dan DPRK Banda Aceh, serta ke Kedutaan Besar Turki di Jakarta,” kata Thayeb sebagai ketua panitia.
Dalam acara ini, penyair senior LK Ara membaca puisi tentang makam Syamsuddin As- Sumatrani, Rafly Kande menyanyikan lagu terbarunya.
Acara tersebut turut dihadiri peneliti manuskrip Hermansyah, Musisi Aceh Rafly Kande yang sempat membawakan dua lagu di sana, Salman yoga S, Zulfadli Kawom, Herman RN, Muhajir Al Fairusi, Said Fauzan Disbudpar Banda Aceh, LK Ara dan pemerihati sejarah lainnya.
No comments:
Post a Comment