Ulama-Ulama dan kitab-kitab Aceh
Berkembangnya ilmu
pengetahuan di Aceh pada masa terdahulu tidak terlepas dari peran ulama.
Mereka berperan penting dalam mensosialisasikan pentingnya ilmu
pengetahuan kepada masyarakat. Menurut mereka menuntut ilmu merupakan
yang harus menjadi perhatian serius semua pihak. Untuk memotivasi
masyarakat untuk itu mereka menyertai pesannya dengan hadits Nabi SAW,
sehingga menuntut ilmu dalam masyarakat Aceh dilandasi oleh semangat
mencari pahala dan beribadah, di samping itu partisipasi masyarakat luas
dalam pengembangan pendidikan agama juga sangat besar.
Partisipasi itu bisa sebatas memberi dukungan baik moril maupun materi kepada orang yang menuntut ilmu, malah dengan menghadiri majelis ilmu saja sudah mendapat apresiasi dengan adanya janji pahala yang sangat besar dari Allah SWT.
Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Aceh, salah satunya kitab Syifaul Qulub yang ditulis oleh Arif Billah Syeikh Abdullah, yang merupakan salah satu kitab yang terhimpun dalam kitab Jam’u al-jawamik. Kitab yang berisi 400 hadits itu menempatkan bab keutamaan ilmu dan ulama pada bagian pertama.
Ini menunjukkan seriusnya Syekh Abdullah dalam memandang pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh.
Kitab yang umumnya dibaca oleh murid pemula itu telah berdampak luas dalam masyarakat Aceh sehingga terbangunnya struktur masyarakat adat yang mengharuskan anak-anak untuk belajar agama dengan meunasah sebagai sentralnya.
Sementara bagi yang ingin meningkatkan ilmunya akan pergi ke dayah-dayah dengan sistem meudagang (mondok) hingga bertahun-tahun lamanya.
Dalam kurun waktu yang sangat lama Aceh menjadi pusat kajian Islam di nusantara berkat semangat keagamaan tersebut, sehingga ada adagium yang berkembang seolah-olah kalau tidak bisa mengaji bukan orang Aceh namanya.
Walaupun ada masyarakat Aceh yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia yang buta aksara latin, tapi mereka umumnya sangat lancar membaca huruf Arab dan Arab Jawi, ini menandakan budaya keilmuan telah berkembang di zaman dahulu sesuai dengan konteks yang ada pada masanya. Karena sebelum Belanda Menjajah Aceh, kitab yang berkembang pada masa itu adalah Arab jawi.
Dalam kitab Syifaul Qulub, Syeikh Abdullah menuliskan:
“Barangsiapa menolong ia akan orang yang alim yakni orang yang mengajar, atau menolong ia akan orang yang mutaallim, yakni orang yang belajar, jikalau adanya dengan qalam yang patah sekalipun, maka serasa-rasa ia berbuat ka’bah tujuh puluh kali (hadits)”.
Kutipan-kutipan hadits seperti di atas telah menumbuhkan semangat infaq di kalangan masyarakat, sehingga banyak yang memberi sumbangan kepada lembaga pengajian agama, baik dalam bentuk uang maupun wakaf tanah. Sehingga dimana-mana dalam masyarakat sangat banyak didapatkan tanah wakaf yang dikelola oleh imum gampong selama masih menjabat dan mengajar Al-Quran untuk anak-anak.
Hal yang sama juga kita dapatkan pada lembaga yang lebih tinggi seperti dayah yang sering dibangun di atas tanah wakaf, dan pembangunan juga dilakukan dengan sumbangan masyarakat sekitar, malah dalam waktu yang sangat lama dayah Aceh tidak mendapat dana dari pemerintah.
Di samping pentingnya ilmu pengetahuan, Syekh Abdullah juga menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada para ulama.
“Siapa yang mempermuliakan ulama maka bahwasanya mereka itu pada Allah Ta’ala itu mulia ia (hadits)”.
Pesan-pesan tersebut membentuk karakter masyarakat Aceh yang cinta ulama serta menghormati mereka.
Apalagi dalam lembaga pendidikan seperti dayah rasa hormat kepada guru telah menjadi tatanan yang melekat erat bagi setiap santrinya. Bagi santri jika tidak hormat kepada guru akan dihantui oleh perasaan bersalah (ceumeureuka) dengan gurunya, dan itu akan sangat tabu bagi masyarakat Aceh.
Penghormatan kepada ulama juga disebabkan karena keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi dalam pengembangan pendidikan agama di Aceh, sehingga lulusan dari lembaga pendidikan tersebut juga mendapat tempat yang terhormat. Bagi masyarakat awam, lulusan dari lembaga pendidikan merupakan kader yang telah dibesarkan oleh mereka sendiri secara bersama-sama.
Penghormatan kepada ulama yang telah mengakar tersebut menjadikan mereka sebagai pusat fatwa (peuneutoh) dalam berbagai persoalan sosial masyarakat.
Adab dan Perilaku
Adab lebih tinggi dari ilmu, demikian pemahaman masyarakat Aceh mengenai pentingnya adab dan sopan santun dalam kehidupan, adab itu sendiri berlaku bagi semua kalangan, baik masyarakat umum hingga ulama sekalipun.
Adab di Aceh sudah menjadi tata krama yang mentradisi dari generasi ke generasi, sehingga melahirkan kondisi sosial masyarakat yang santun, lembut dan menghormati orang lain.
Dalam dunia pendidikan juga sama, adab itu sangat dijunjung tinggi, seorang murid harus menghormati guru, demikian juga guru harus menghargai muridnya, sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan harmonis dan bebas dari beban psikologis.
Suasana penuh keakraban dapat kita lihat dalam lembaga pendidikan agama di Aceh, tidak pernah terjadi murid memprotes guru dengan cara yang tidak wajar apalagi demonstrasi tanpa kendali.
Hal itu dapat kita baca dalam kitab karya Syeikh Muhammad anak dari Syeikh Khatib dalam kitabnya Dawaul Qulub yang juga merupakan salah satu kitab yang terkumpul dalam kitab Jam’u Jawami’ Al-Musannafat, karya Syeikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi.
Syeikh Muhammad juga menekankan pentingnya penampilan seorang yang berilmu dalam masyarakat seperti style pakaian, dan tingkah laku. Berikut kutipannya:
“Inilah khatimah pada menyatakan segala perbuatan yang tak dapat tiada bagi murid”.
Disini syeikh Muhammad mengingatkan para murid agar tetap menjaga jati dirinya dimana pun berada, seperti menjaga pakaian agar sesuai sunnah Nabi saw., selalu mendahului dalam memberi salam kepada siapa pun, menyayangi semua orang tanpa pilih kasih, tidak berburuk sangka pada manusia walaupun ia bersifat fasiq sekalipun, tidak boleh menghina orang lanjut usia, serta selalu menuntut ilmu dimana pun berada.
Perbedaan Mazhab
Persoalan khilafiah sebenarnya sudah selesai bagi masyarakat Aceh, seperti perbedaan mazhab yang akhir-akhir ini sering dipertentangkan. Menurut ulama Aceh tempo dulu, mazhab yang dianut di Aceh adalah empat mazhab sekaligus, yaitu, mazhab Syafii, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Keempat mazhab tersebut diakui kebenarannya dan dijadikan standar kompetensi para imam, mufti dan ulama di Aceh.
Hal itu pula yang menyebabkan Aceh menjadi sentral peradaban Islam di Asia Tenggara kala itu, karena semua persengketaan dari lintas mazhab pun mampu diselesaikan disini.
Malah pengakuan terhadap empat mazhab tersebut tertuang dalam konstitusi Aceh kala itu, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Sebagaimana yang tercantum dalam kitab tazkirah Tabaqat, karya Tgk. Di Mulek:
“Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati Qanun Meukuta Alam al-Asyi dari karena mengikuti… Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i (dan) Imam Hanbali. Dan empat mazhab itu semuanya tunduk kepada Syari’at Rasullullah saw. … Yakni berhimpun empat, yaitu Islam dan Iman dan Tauhid dan Makrifat, maka barulah bernama agama.
Disni juga mencerminkan pemikiran mazhab ulama Aceh masa lalu yang multi mazhab dan toleran dengan dinamika persoalan umat. Bahkan mereka berani pindah mazhab jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan oleh salah satu mazhab.
“Yaitu jika tiada boleh hukumnya dalam mazhab Imam Syafi’i, maka dicari hukumnya dalam mazhab Ahmad Imam Hanbali. Dan jika tiada hukumnya dalam mazhab Imam Hanbali, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Malik. Dan jika tiada dalam mazhab Imam Malik, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Abu Hanifah. Karena adalah Imam yang empat itu pangkat Mujtahid Mutlak yang sah dalam Ahlussunnah waljama’ah.
Keragaman mazhab disini hanya terbatas pada empat mazhab saja karena masih dalam koridor ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang ditegaskan oleh Tgk. Di Mulek. Malah pada masa Iskandar Muda di Aceh dibentuk mufti empat mazhab yang disebut dengan Syaikh Al-Islam supaya dapat mengakomodir semua pemasalahan umat.
“Maka sebab itulah paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan Mufti empat mazhab, yakni Syaikh al-Islam; Mufti Empat dalam negeri Aceh Darussalam. Karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah saw. dari kaum yang Tujuh Puluh Dua yang khianat kepada agama Islam.
Dan maka jika alim ulama yang Ahlus-Sunnah Waljama’ah masuk ke dalam negeri Aceh dari luar negeri, maka dipermuliakannya oleh Sultan Iskandar Muda serta diberikan surat ber-Cap Sembilan dan diberikan tadah. Jika alim ulama itu bermukim dalam negeri Aceh. Dan jika ia musafir maka diberikan belanja sekedar mencukupi yaitu makanan dan pakaian. Dan jika pulang ia ke negeri di mana pun negerinya maka diberikan hadiahnya dan ongkos kapal dibayar oleh kerajaan Aceh.
Disini disebutkan bahwa Iskandar Muda sangat hormat pada ulama berbagai mazhab ahlus sunnah wal jamaah, juga disediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Sehingga banyak terdapat ulama dari berbagai bangsa yang menetap dan ikut mengajar masyarakat Aceh.
Partisipasi itu bisa sebatas memberi dukungan baik moril maupun materi kepada orang yang menuntut ilmu, malah dengan menghadiri majelis ilmu saja sudah mendapat apresiasi dengan adanya janji pahala yang sangat besar dari Allah SWT.
Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Aceh, salah satunya kitab Syifaul Qulub yang ditulis oleh Arif Billah Syeikh Abdullah, yang merupakan salah satu kitab yang terhimpun dalam kitab Jam’u al-jawamik. Kitab yang berisi 400 hadits itu menempatkan bab keutamaan ilmu dan ulama pada bagian pertama.
Ini menunjukkan seriusnya Syekh Abdullah dalam memandang pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh.
Kitab yang umumnya dibaca oleh murid pemula itu telah berdampak luas dalam masyarakat Aceh sehingga terbangunnya struktur masyarakat adat yang mengharuskan anak-anak untuk belajar agama dengan meunasah sebagai sentralnya.
Sementara bagi yang ingin meningkatkan ilmunya akan pergi ke dayah-dayah dengan sistem meudagang (mondok) hingga bertahun-tahun lamanya.
Dalam kurun waktu yang sangat lama Aceh menjadi pusat kajian Islam di nusantara berkat semangat keagamaan tersebut, sehingga ada adagium yang berkembang seolah-olah kalau tidak bisa mengaji bukan orang Aceh namanya.
Walaupun ada masyarakat Aceh yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia yang buta aksara latin, tapi mereka umumnya sangat lancar membaca huruf Arab dan Arab Jawi, ini menandakan budaya keilmuan telah berkembang di zaman dahulu sesuai dengan konteks yang ada pada masanya. Karena sebelum Belanda Menjajah Aceh, kitab yang berkembang pada masa itu adalah Arab jawi.
Dalam kitab Syifaul Qulub, Syeikh Abdullah menuliskan:
“Barangsiapa menolong ia akan orang yang alim yakni orang yang mengajar, atau menolong ia akan orang yang mutaallim, yakni orang yang belajar, jikalau adanya dengan qalam yang patah sekalipun, maka serasa-rasa ia berbuat ka’bah tujuh puluh kali (hadits)”.
Kutipan-kutipan hadits seperti di atas telah menumbuhkan semangat infaq di kalangan masyarakat, sehingga banyak yang memberi sumbangan kepada lembaga pengajian agama, baik dalam bentuk uang maupun wakaf tanah. Sehingga dimana-mana dalam masyarakat sangat banyak didapatkan tanah wakaf yang dikelola oleh imum gampong selama masih menjabat dan mengajar Al-Quran untuk anak-anak.
Hal yang sama juga kita dapatkan pada lembaga yang lebih tinggi seperti dayah yang sering dibangun di atas tanah wakaf, dan pembangunan juga dilakukan dengan sumbangan masyarakat sekitar, malah dalam waktu yang sangat lama dayah Aceh tidak mendapat dana dari pemerintah.
Di samping pentingnya ilmu pengetahuan, Syekh Abdullah juga menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada para ulama.
“Siapa yang mempermuliakan ulama maka bahwasanya mereka itu pada Allah Ta’ala itu mulia ia (hadits)”.
Pesan-pesan tersebut membentuk karakter masyarakat Aceh yang cinta ulama serta menghormati mereka.
Apalagi dalam lembaga pendidikan seperti dayah rasa hormat kepada guru telah menjadi tatanan yang melekat erat bagi setiap santrinya. Bagi santri jika tidak hormat kepada guru akan dihantui oleh perasaan bersalah (ceumeureuka) dengan gurunya, dan itu akan sangat tabu bagi masyarakat Aceh.
Penghormatan kepada ulama juga disebabkan karena keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi dalam pengembangan pendidikan agama di Aceh, sehingga lulusan dari lembaga pendidikan tersebut juga mendapat tempat yang terhormat. Bagi masyarakat awam, lulusan dari lembaga pendidikan merupakan kader yang telah dibesarkan oleh mereka sendiri secara bersama-sama.
Penghormatan kepada ulama yang telah mengakar tersebut menjadikan mereka sebagai pusat fatwa (peuneutoh) dalam berbagai persoalan sosial masyarakat.
Adab dan Perilaku
Adab lebih tinggi dari ilmu, demikian pemahaman masyarakat Aceh mengenai pentingnya adab dan sopan santun dalam kehidupan, adab itu sendiri berlaku bagi semua kalangan, baik masyarakat umum hingga ulama sekalipun.
Adab di Aceh sudah menjadi tata krama yang mentradisi dari generasi ke generasi, sehingga melahirkan kondisi sosial masyarakat yang santun, lembut dan menghormati orang lain.
Dalam dunia pendidikan juga sama, adab itu sangat dijunjung tinggi, seorang murid harus menghormati guru, demikian juga guru harus menghargai muridnya, sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan harmonis dan bebas dari beban psikologis.
Suasana penuh keakraban dapat kita lihat dalam lembaga pendidikan agama di Aceh, tidak pernah terjadi murid memprotes guru dengan cara yang tidak wajar apalagi demonstrasi tanpa kendali.
Hal itu dapat kita baca dalam kitab karya Syeikh Muhammad anak dari Syeikh Khatib dalam kitabnya Dawaul Qulub yang juga merupakan salah satu kitab yang terkumpul dalam kitab Jam’u Jawami’ Al-Musannafat, karya Syeikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi.
Syeikh Muhammad juga menekankan pentingnya penampilan seorang yang berilmu dalam masyarakat seperti style pakaian, dan tingkah laku. Berikut kutipannya:
“Inilah khatimah pada menyatakan segala perbuatan yang tak dapat tiada bagi murid”.
Disini syeikh Muhammad mengingatkan para murid agar tetap menjaga jati dirinya dimana pun berada, seperti menjaga pakaian agar sesuai sunnah Nabi saw., selalu mendahului dalam memberi salam kepada siapa pun, menyayangi semua orang tanpa pilih kasih, tidak berburuk sangka pada manusia walaupun ia bersifat fasiq sekalipun, tidak boleh menghina orang lanjut usia, serta selalu menuntut ilmu dimana pun berada.
Perbedaan Mazhab
Persoalan khilafiah sebenarnya sudah selesai bagi masyarakat Aceh, seperti perbedaan mazhab yang akhir-akhir ini sering dipertentangkan. Menurut ulama Aceh tempo dulu, mazhab yang dianut di Aceh adalah empat mazhab sekaligus, yaitu, mazhab Syafii, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Keempat mazhab tersebut diakui kebenarannya dan dijadikan standar kompetensi para imam, mufti dan ulama di Aceh.
Hal itu pula yang menyebabkan Aceh menjadi sentral peradaban Islam di Asia Tenggara kala itu, karena semua persengketaan dari lintas mazhab pun mampu diselesaikan disini.
Malah pengakuan terhadap empat mazhab tersebut tertuang dalam konstitusi Aceh kala itu, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Sebagaimana yang tercantum dalam kitab tazkirah Tabaqat, karya Tgk. Di Mulek:
“Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati Qanun Meukuta Alam al-Asyi dari karena mengikuti… Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i (dan) Imam Hanbali. Dan empat mazhab itu semuanya tunduk kepada Syari’at Rasullullah saw. … Yakni berhimpun empat, yaitu Islam dan Iman dan Tauhid dan Makrifat, maka barulah bernama agama.
Disni juga mencerminkan pemikiran mazhab ulama Aceh masa lalu yang multi mazhab dan toleran dengan dinamika persoalan umat. Bahkan mereka berani pindah mazhab jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan oleh salah satu mazhab.
“Yaitu jika tiada boleh hukumnya dalam mazhab Imam Syafi’i, maka dicari hukumnya dalam mazhab Ahmad Imam Hanbali. Dan jika tiada hukumnya dalam mazhab Imam Hanbali, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Malik. Dan jika tiada dalam mazhab Imam Malik, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Abu Hanifah. Karena adalah Imam yang empat itu pangkat Mujtahid Mutlak yang sah dalam Ahlussunnah waljama’ah.
Keragaman mazhab disini hanya terbatas pada empat mazhab saja karena masih dalam koridor ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang ditegaskan oleh Tgk. Di Mulek. Malah pada masa Iskandar Muda di Aceh dibentuk mufti empat mazhab yang disebut dengan Syaikh Al-Islam supaya dapat mengakomodir semua pemasalahan umat.
“Maka sebab itulah paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan Mufti empat mazhab, yakni Syaikh al-Islam; Mufti Empat dalam negeri Aceh Darussalam. Karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah saw. dari kaum yang Tujuh Puluh Dua yang khianat kepada agama Islam.
Dan maka jika alim ulama yang Ahlus-Sunnah Waljama’ah masuk ke dalam negeri Aceh dari luar negeri, maka dipermuliakannya oleh Sultan Iskandar Muda serta diberikan surat ber-Cap Sembilan dan diberikan tadah. Jika alim ulama itu bermukim dalam negeri Aceh. Dan jika ia musafir maka diberikan belanja sekedar mencukupi yaitu makanan dan pakaian. Dan jika pulang ia ke negeri di mana pun negerinya maka diberikan hadiahnya dan ongkos kapal dibayar oleh kerajaan Aceh.
Disini disebutkan bahwa Iskandar Muda sangat hormat pada ulama berbagai mazhab ahlus sunnah wal jamaah, juga disediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Sehingga banyak terdapat ulama dari berbagai bangsa yang menetap dan ikut mengajar masyarakat Aceh.
- Teungku Di Lueng Keueng
- Abunek Krueng Kale
- Teungku Gle Payong
- Teungku Keuneu’eun
- Teungku Di Anjong
- Teungku Di Li -eue
- Teungku Lam Bhuek
- Teungku Di Jurong
- Teungku Lam Gut
- Teungku Di Bitai
- Teungku Gle Weueng
- Teungku Di Reuloh
- Teungku Di Blang
- Teungku Di Meugong
- Teungku Di Jabo
- Tuwan Di Pulo
- Teungku Lhok Pawoh
- Teungku Lhok Nibong
- Teungku Di Pu-uek
- Teungku Di Meuse
- Teungku Syekh Saman
- Syiah ‘Abdurrauf ( halaman 19 – 20 )
- Teungku Di Ulee Gle
- Teungku Awe Geutah
- Teungku Batee Badan
- Teungku Ulee Jurong ( sama dgn no. 8 di atas?)
- Teungku Di Bathoh
- Teungku Di Peulumat
- Teungku Pante Peulumat
- Teungku Tanoh Mirah
- Teungku Tanoh Abee
- Teungku Gunong Ijo
- Teungku Di Baet
- Teungku Bak Keureuma
- Teungku Di Cot Bak Goeh
- Tuwan Di Cantek
- Teungku Salah Nama
- Teungku Anoe Manyang
- Tuwan Pulo Angkasa
- Teungku Paya Duwa
- Teungku Di Gandrien
- Teungku Lam Guha ( gelar atau sekedar sebutan?)
- Teungku Lam Duson ( ada orangnya atau hanya sebutan?)
- Teungku Syik Krueng Kale ( sama dgn no. 2 di atas?)
- Teungku Batu Bara
- Teungku Di Aron ( halaman 142, 152 – 174 )
2). Dalam deretan lebih 40 Ulama Aceh itu, hanya Teungku Syik Krueng Kale satu-satunya yang bergelar Teungku Syik.
3. Pertanyaan yang timbul, bagaimana kiprah dan sejarah dari para Ulama Aceh ini dan dimana kuburan beliau berada sekarang !!!?????.
Bale Tambeh, 9 Desember 2011, T.A. S akti
Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Hikayat Akhbarul Karim
48. Teungku Muhammad Amin Dayah Cut
49. Teungku Zainul Abidin
50. Teungku Di Cot Plieng
51. Teungku Pante Kulu
52. Teungku Pante Ceureumen/Teungku Nyak Kob
53. Tuwanku Raja Keumala
( Sumber: Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Kitab Akhbarul Karim. Kisah lebih lanjut tentang karya-karya para Ulama Aceh ini dapat dibaca dalam blog tambeh/Bek Tuwo Budaya. Sejauh catatan yang saya baca, Tuwanku Raja Keumala hidup antara tahun 1880 – 1930 M. Kitab Akhbarul Karim selesai disalin beliau di kampung Kedah, Kuta Raja, Aceh Besar pada 18 Ramadhan 1337 H. Bale Tambeh, Sabtu, 10 Desember 2011 pkl 10.33 malam, T.A. Sakti ).
Posted By, E L.jr
No comments:
Post a Comment