Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif
Suatu Sebab Pembatalan Kehendak Rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2010
Oleh. Veri Junaidi
Democracy is complete only when backed by the rule of law. Without the rule of law it remains fundamentally flawed.
“Thomas Meyer”
A. Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah (pemilukada) . Kewenangan tersebut muncul setelah perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2008 hasil perubahan UU Pemda secara eksplisit memberikan kewenangan kepada MK dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilukada. Pasal 236 menyebutkan bahwa dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2008 maka kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada diserahkan kepada MK.
Kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MK, pada dasarnya merujuk pada kewenangan yang diberikan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Perbedaan tafsir terhadap klausula “pemilu” yang kemudian menyebabkan kewenangan tersebut tidak menjadi kompetensi MK untuk menyelesaikannya. Pilkada dikategorikan sebagai rezim pemerintahan daerah dan bukan sebagai rezim pemilihan umum sebagaimana pemilu presiden dan pemilu legislatif. Perbedaan rezim tersebut yang kemudian menyebabkan MK tidak memiliki kewenangan dalam perselisihan hasil pilkada.
Perbedaan rezim pilkada antara Pemda dan Pemilu kemudian melebur, ketika MK mengeluarkan Putusan No. 72 – 73/PUU/2004 tentang Pengujian UU No. 32 Tahun 2004. Putusan tersebut menjadi penengah antara perbedaan pendapat tentang rezim Pilkada, apakah dikategorikan sebagai rezim Pemilu atau justru Rezim Pemda. Pilkada kemudian dimasukan dalam rezim Pemilu. Perubahan rezim tersebut yang kemudian mendasari kewenangan konstitusional MK dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada. Dengan masuknya kewenangan pilkada dalam rezim pemilu, maka menjadi logis jika kewenangan perselisihan hasil pemilukada diserahkan kepada MK.
Perbedaan tafsir terhadap rezim pilkada ternyata membawa konsekuensi besar terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan pilkada. Diluar alasan konstitusional itu, banyak alasan yang mendasarinya. Konflik yang berkepanjangan dalam perselisihan pemilukada menjadi dasar, sehingga menyerahkan kewenangan itu kepada lembaga yang lebih berwibawa. Beban kerja yang dihadapi MA pun menjadi alasan logis, sehingga dapat mengurangi beban kerja yang dimiliki. Namun apapun alasannya, kewenangan itu telah dimandatkan kepada MK untuk dapat menyelesakannya.
Perkembangan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perselisihan hasil pemilu, khususnya pemilu kepala daerah (Pemilukada) begitu pesat. Setelah penyerahan kewenangan dari MA Tahun 2008, MK memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia. Melalui putusannya, MK dapat memberikan koreksi terhadap hasil pemilukada. Koreksi tersebut tidak hanya terbatas pada hasil pemilukada sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten Kota. Jauh lebih luas, MK dapat memberikan koreksi terhadap proses konversi suara rakyat melalui pemilihan umum. Dengan kata lain, MK akan memastikan bahwa hasil suara sebagaimana ditetapkan KPU adalah sesuai dengan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Pemberian mandat oleh rakyat tersebut dilakukan tanpa ada manipulasi, intimidasi dan bahkan bujuk rayu sekalipun yang dapat mencederai makna demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasi yang sesungguhnya, atau dikenal dengan demokrasi substansial menjadi perhatian penting bagi MK. Mewujudkannya, MK kemudian mencoba keluar dari patron penegakan hukum pemilu dan bahkan ketentuan hukum yang dimaknai sempit. Argumentasi tersebut secara tegas disebutkan, misal dalam Putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008 Tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur 2008 bahwa untuk mencapai demokrasi substansial maka MK tidak dapat dibelenggu oleh penafsiran sempit terhadap peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang bersifat massif, sistematis dan terstruktur dapat menjadi pertimbangan dalam memutus perselisihan hasil pemilu.
B. Kedaulatan Rakyat dan Nomokrasi
Seringkali orang bertanya,
kenapa putusan suara rakyat melalui pengambilan keputusan mayoritas dikalahkan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu/kada? Bahkan tidak sekedar bertanya, muncul penolakan untuk tidak melaksanakan putusan MK terkait perselisihan hasil pemilu kepala daerah. Argumentasinya sederhana, rakyat telah memberikan suaranya dan bahkan mayoritas.
Secara implisit pertanyaan di atas ingin mengatakan bahwa kedaulatan rakyat memiliki posisi tertinggi dalam demokrasi. Kehendak rakyat adalah segala-galanya, sehingga tidak boleh dianulir oleh segelintir orang (hakim) yang bahkan tidak memiliki hak suara atas sebuah pilihan rakyat. Pertanyaan itu merupakan gugatan atas kewenangan MK sehingga dapat menganulir suara rakyat sebagai wujud kedaulatan tertinggi.
Sebelum masuk pada pokok persoalan, menarik untuk lebih dulu mengurai tentang makna demokrasi. Pertanyaannya, kenapa demokrasi dipilih sebagai salah satu pilar penyelenggaraan negara? Ramlan Surbakti menjelaskan pada apa dan dimana letak pentingnya demokrasi. Menurutnya terdapat 10 (sepuluh) alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik. Kedua, demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga negara yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratik. Ketiga, demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negara dari pada alternatif lain yang memungkinkan. Keempat, demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka. Kelima, hanya pemerintahan yang demokratik yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga negara untuk menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu hidup di bawah hukum yang mereka pilih. Keenam, hanya pemerintahan demokratik yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung-jawab moral, termasuk akuntabilitas pemegang kekuasaan kepada rakyat yang menjadi konstituen. Ketujuh, demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total dari pada alternatif lain yang memungkinkan. Delapan, hanya pemerintah yang demokratik yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi. Sembilan, negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak pernah berperang satu sama lain. Sepuluh, negara-negara dengan pemerintahan yang demokratik cenderung lebih makmur dari pada negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratik.
David Held juga memberikan penjelasan tentang daya tarik demokrasi. Menurutnya, bagian daya tarik demokrasi terletak pada penolakannya untuk menerima secara mendasar konsepsi apapun tentang kebaikan politik dan lebih menerima apa yang dibuat oleh “masyarakat” itu sendiri. Menurutnya, demokrasi telah diunggulkan sebagai suatu mekanisme yang memperbolehkan pengesahan atas keputusan-keputusan politik jika keputusan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang semestinya yakni peranan dan mekanisme partisipasi, perwakilan dan pertanggungjawab terhadap rakyat. Pengembangan konsepsi demokrasi untuk tujuan kebaikan politik, yakni kehidupan yang lebih baik, hanya dapat ditentukan dibawah kondisi “bebas dan setara”.
John Locke sendiri memberikan pandangan bahwa manusia pada kodratnya bebas, sama-sederajat dan mandiri. Menurutnya tidak ada orang yang dapat dilepaskan dari keadaan dan ditundukkan kepada kekuasaan politik orang lain tanpa kesepakatannya sendiri. Kesepakatan itu muncul atas persetujuan dengan orang-orang lain untuk bergabung dan bersatu membentuk sebuah masyarakat agar dapat hidup nyaman, aman dan damai. Kesepakatan untuk membentuk masyarakat atau pemerintahan, maka terbentuklah badan atau badan politik dimana mayoritas mempunyai hak untuk bertindak dan mengatasnamakan seluruhnya.
Kesepakatan untuk membentuk aparat pemerintah tidak serta merta mengalihkan hak warga negara secara keseluruhan kepada dunia politik. Menurut Locke, otoritas politik diberikan oleh individu-individu pada pemerintah dengan maksud mengejar tujuan-tujuan yang diperintah. Seandainya tujuan-tujuan itu gagal diwakili dengan tepat, maka pertimbangan-pertimbangan akhir ada di tangan rakyat, warga negara yang bisa menyalurkan baik dengan menolaknya maupun jika perlu dengan penetapan bentuk pemerintah sendiri. Sebab, Locke menilai bahwa kekuasaan tertinggi merupakan hak yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Supremasi pemerintah merupakan supremasi yang didelegasikan dan berpegang teguh pada kepercayaan. Pemerintah menikmati otoritas politik secara penuh sepanjang kepercayaan itu dipertahankan.
Menegaskan pendapat sebelumnya, JJ. Rousseau menegaskan bahwa kekuasaan politik memerlukan pengakuan eksplisit dan formal berupa kedaulatan yang berasal dari rakyat. Pengakuan itu diwujudkan melalui perjanjian atau kontrak yang berlaku bersama dengan seluruh masyarakat yang tiap-tiap individu merupakan anggota yang sederajat sehingga suara, pikiran dan keputusan keseluruhan kelompok masyarakat adalah suara, pikiran dan keputusan individu dalam masyarakat tanpa kecuali. Menurutnya, konstitusi merupakan undang-undang dasar yang dianggap sebagai kontrak sosial dimaksud. Kontrak sosial juga terwujud dalam hak pilih tiap-tiap orang dewasa untuk menentukan parlemen dan kekuasaan eksekutif.
Mencermati beberapa pandangan tentang demokrasi, telah menempatkan rakyat sebagai sentral kekuasaan yang menjadi sumber atas kedaulatan yang lainnya. Terbentuknya kekuasaan negara atau pemerintahan merupakan kesepakatan bersama oleh rakyat untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Oleh karenanya, rakyat dapat menentukan pilihannya melalui kehendak bersama sebagaimana pandangan Rousseou atau sendiri-sendiri seperti pandangan Locke.
Demokrasi telah memberikan porsi kekuasaan rakyat lebih besar dalam menjalankan kekuasaan negara. Namun kekuasaan itu rawan menjadi tirani. Oleh karenanya, Aristoteles memberikan petunjuk dalam menjalankan kekuasaan yang lahir dari proses yang demokratis untuk menghindari tirani kekuasaan. Bahwa kekuasaan yang dilahirkan dari pelaksanaan demokrasi harus dijalankan secara bergantian dan kunci pokok adalah adanya mekanisme rotasi kekuasaan. Monopoli kekuasaan hingga waktu yang cukup lama, ”kharam” hukumnya. Karena gagasan keadilan demokrasi adalah kesetaraan numerik, bukan berdasarkan jasa. Gagasan ini menghendaki adanya rotasi pemegang kekuasaan secara berkala berdasarkan masa tugas tertentu. Rakyat terpilih untuk menduduki jabatan politik, akan digantikan dengan penguasa baru dalam jangka waktu yang disepakati.
Aristoteles dalam karyanya, The politics, menjelaskan bahwa memerintah dan diperintah secara bergantian adalah salah satu elemen dalam kebebasan. Gagasan keadilan numerik dalam demokrasi adalah dalam kesetaraan numerik, bukan kesetaraan berdasarkan jasa. Menurutnya, orang banyak dapat dipastikan memiliki kekuasaan dan apapun yang diputuskan mayoritas maka itu sebagai keputusan final dan menjadi keadilan. Keputusan kaum mayoritas merupakan keputusan tertinggi.
Rotasi kekuasaan itu identik dengan demokrasi prosedural. Yakni memaknai demokrasi sebagai mekanisme yang memberikan peran besar bagi rakyat untuk menentukan pilihan politiknya sendiri. Rakyat diberikan ruang untuk menentukan keterpilihan wakilnya yang akan menduduki jabatan politik tertentu. Pada posisi ini, rakyat mengekspresikan kehendak dan kekuasaannya. Demokrasi memberikan ruang persaingan partai politik dan atau para calon pemimpin politik untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislative dan eksekutif) baik pusat maupun daerah.
Rotasi kekuasaan mutlak dilakukan dan menjadi prasarat berjalannya negara demokrasi. Namun rotasi kekuasaan harus dijalankan dengan mekanisme yang demokratis dan bukan sekedar prosedur demokrasi semata. Kedaulatan rakyat harus tetap dijunjung tinggi. Kebebasan dan kesetaraan rakyat dalam menentukan pilihannya harus dimaknai terbebas dari manipulasi. Oleh karenanya, harus dipastikan bahwa suara rakyat sebagai pengakuan eksplisit dan formal melalui pemilihan umum adalah kehendak bebas dari rakyat.
Tomas Meyer menegaskan, bahwa demokrasi tidak sekedar prosedur untuk pengambilan keputusan, namun demokrasi merupakan sebuah sistem nilai. Bagaimana kehendak rakyat benar-benar terwujud sesuai dengan kehendaknya dan tidak sekedar digunakan untuk mengklaim suara rakyat. Alasan mendasar pemilihan demokrasi adalah untuk mengklaim menjadi sistem politik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua orang. Namun demokrasi akan berubah menjadi sebuah penyimpangan jika hanya digunakan sebagai legitimasi keputusan suara terbanyak, namun justru mengarah kepada hasil yang dapat melanggar martabat dan nilai-nilai individu atau bahkan banyak orang. Oleh karena itu, demokrasi perlu dilengkapi dengan sebuah system hukum (this is one reason why democracy is only complete as a system backed by the rule of law).
System hukum itu mesti bebas dari intervensi kekuatan politik dan menjamin kontrok hukum atas pelaksanaan kekuasaan dan tindakan melalui pengadilan yang independent. Kekuatan politik tidak boleh mengabaikan hukum dan pengaruh politik tidak dapat menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sebuah interpretasi dan penerapan hukum. Bahwa proses politik haruslah diletakkan dalam bingkai konstitusi. Tindakan pelanggaran terhadap hukum harus dihadapkan pada pengadilan sehingga muncul mekanisme sanksi atas pelanggaran tersebut.
Dalam demokrasi, politik tidak dapat semena-mena meletakkan hukum meskipun hukum dalam demokrasi muncul dari proses politik dalam membentuk opini publik. Saat ini, hukum dapat diakui jika menjunjung tinggi hak asasi manusia dan telah dilakukan dalam prosedur demokrasi yang didasarkan pada hukum. Artinya, demokrasi dan supremasi hukum akan saling tergantung dan melengkapi. Demokrasi akan menjadi pembenaran semata, jika tidak didasarkan pada aturan hukum dan dibatasi olehnya. Keputusan yang diperoleh secara demokratis (berdasarkan kehendak suara terbanyak) semata-mata, dapat dibatalkan oleh pengadilan jika di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap nomokrasi (prinsip-prinsip hukum) yang dapat dibuktikan secara sah di pengadilan.
Konteks demokrasi di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki fungsi dan peran untuk itu. Mengawal tegaknya kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin konstitusi beserta segala asas yang melekat padanya. Putusan-putusan kontroversial tidak semata-mata untuk menganulir kedaulatan rakyat yang terwujud dalam suara terbanyak. Namun perlu ditegaskan bahwa pembatalan itu dilakukan untuk memurnikan kehendak rakyat dari manipulasi-manipulasi kedaulatan itu sendiri. Mengembalikan kehendak bebas rakyat dalam menentukan pilihannya.
Kehadiran MK dalam konteks ini adalah menegakan kedaulatan rakyat yang menjadi salah satu asas yang paling fundamental dalam konstitusi. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Prinsip itu biasa disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), yaitu demokrasi yang berdasarkan hukum. Menurutnya, kekuasaan tertinggi merupakan hak yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Bahwa supremasi pemerintahan adalah supremasi yang didelegasikan dan berpegang pada kepercayaan. Rakyat menikmati otoritas politik yang penuh sepanjang kepercayaan ini dipertahankan dan keabsahan atau hak pemerintah untuk memerintah dapat ditarik jika rakyat menilai perlu dan patut dilakukan.
Asas kedaulatan rakyat tidak berdiri sendiri, dia akan terkait dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kedua ketentuan itu disandingkan yang mengisyaratkan bahwa demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat, tidak dapat didasarkan pada pergulatan kekuatan politik semata. Asas demokrasi akan selalu terkait dengan asas negara hukum (nomokrasi). Demokrasi harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. Jimly menyebutnya dengan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut contitutonial democracy bahwa prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dijalankan secara beriringan seperti dua mata uang.
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Awalnya penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah (Pilkada) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menunjuk MA untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu kepala daerah. Pasal 106 ayat (1) menyebutkan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Keberatan dimaksudkan terkait dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan kepada MA disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah tingkat propinsi dan pengadilan negeri untuk tingkat kabupaten/ kota. Putusan MA terhadap hasil pemilu bersifat final dan mengikat. Dalam melaksanakan kewenangannya, MA dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilu kepala daerah kabupaten dan kota yang bersifat final.
Kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah kemudian diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi setelah perubahan ketiga atas UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 sebagai perubahan ketiga UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pengalihan kewenangan itu tidak sekedar pengalihan institusional penyelesaian perselisihan belaka. Pengalihan itu berimplikasi terhadap fungsi dan tugas MK yang diberikan mandat sebagai peradilan konstitusi yakni mengawal konstitusi. Bahwa kehendak rakyat melalui prosedur demokrasi serta menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan MK dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah dilihat dari sudut pandang dan kerangka prinsip-prinsip dan spirit yang terkandung dalam UUD 1945. Bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD.
Implikasi pengalihan kewenangan itu, maka memberi sifat dan karakter berbeda dalam penyelesaian sengketa pemilukada oleh MK. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku dilihat dan diartikan dalam kerangka prinsip-prinsip dan spirit yang terkandung dalam UUD 1945. Dengan demikian memberi keleluasaan untuk menilai sebuah pelanggaran dan penyimpangan dalam keseluruhan tahapan proses Pemilukada dan kaitannya dengan perolehan hasil suara bagi pasangan calon. Catatan penting adalah, pelanggaran itu dilakukan sehingga dapat mempengaruhi pemberian suara dan khususnya keterpilihan calon kepala daerah.
Pelanggaran yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilukada dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar asas-asas pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana ditentukan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
D. Perkembangan pengertian hasil Pemilu, pelanggaran massif-sistematif-terstruktur.
Ruang lingkup kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilukada tidak secara tegas dijelaskan. Ketentuan Pasal 4 Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 menyebutkan bahwa objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon (KPU Propinsi/ KPU Kabupaten/ Kota) yang mempengaruhi:
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada, atau
b. Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kewenangan tersebut kemudian mengalami perkembangan yang dimulai sejak putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jatim 2008. Pendapat Mahkamah Point 3.25 menyebutkan bahwa kewenangan yang diberikan UU No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya, UU 12 Tahun 2008 sifatnya sangat terbatas dan kaku. Akibatnya secara tekstual terlihat ketidaktegasan dan ketidakjelasan aturan untuk menjawab apakah pelanggara yang bersifat sistematis, massif dan terstruktur termasuk dalam ruanglingkup sengketa perselisihan hasil yang menjadi kewenangan MK.
Perkembangan sosial politik tidak dibarengi dengan perubahan kultur birokrasi masyarakat dan aparatur serta pelaksana pemilu. Cara pandang yang digunakan masih menggunakan cara pandang lama, sehingga pelanggara dan kecurangan yang bersifat sistematis, massif dan terstruktur tidak dapat dihindari. Perkembangan itu juga tidak diiringi dengan ketentuan hukum tentang mekanisme penyelesaian perselisihan hasil yang berdampak pada kekosongan aturan dalam penyelesaianannya. Akibatnya, ketidakpuasan terhadap pemilukada karena pelanggaran itu mendorong peserta pemilu menyerahkannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah tidak dapat menutup mata terhadap penyimpangan dalam proses dan tahapan. Penyimpangan yang begitu sistematis, massif dan terstruktur justru berpengaruh secara mendasar pada hasil akhir. Namun memang tidak semua kecurangan itu menjadi pertimbangan bagi MK, tentunya jika bukti-bukti yang dihadapkan telah memenuhi syarat keabsahan dan bobot peristiwa yang cukup signifikan. Harus ditegaskan, bahwa langkah MK tersebut tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kewenangan memutus pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilukada, melainkan menilai dan mempertimbangkan implikasinya terhadap perolehan suara yang dihitung dalam rekapitulasi penghitungan suara KPU.
Langkah MK tersebut merupakan terobosan hukum yang dilakukan untuk memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif. Menurutnya, MK tidak hanya melakukan penghitungan kembali hasil penghitungan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan. MK pada dasarnya tidak melakukan fungsi peradilan pidana atau administrasi, namun lebih pada mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara.
Pembahasan dibawah ini akan mengulas tentang bentuk-bentuk pelanggaran yang bersifat pidana dan administrasi yang kemudian mempengaruhi hasil pemilu kepala daerah.
E. Bentuk Pelanggaran S-T-M
Mengikuti perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), menarik untuk mendokumentasikan bentuk pelanggaraan yang dikatakan Sistematis, Terstruktur dan Masif (Pelanggaran S-T-M). Pembahasan di bawah ini akan mengurai tentang bentuk-bentuk pelanggaran S-T-M. Bentuk pelanggaran itu diambil dari perkara perselisihan hasil pemilukada Tahun 2010 yang telah dikabulkan oleh MK. Putusan MK dimaksud adalah sebagai berikut: Perselisihan Hasil Pemilukada Kota Tebing Tinggi [Putusan No 12/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Konawe Selatan [Putusan No. 22/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Lamongan [Putusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Sintang [Putusan No.25/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Gresik [Putusan No.28/PHPU.D-VIII/2010], Kota Surabaya [Putusan No.31/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Mandailing Natal [Putusan No.41/PHPU.D-VIII/2010], Kabupaten Kotawaringin Barat [Putusan No. 45/PHPU.D-VIII/2010], Kota Tanjungbalai [Putusan No.166/PHPU.D-VIII/2010], dan Kabupaten Sumbawa [Putusan No.158/PHPU.D-VIII/2010].
No. Bentuk Pelanggaran S-T-M Daerah
1. Syarat Administrasi Pencalonan Kota Tebing tinggi
2. Politik uang
Politisasi Birokrasi Kabupaten Konawe Selatan
3. Kelalaian Petugas – Penyelenggara Pemilu Kabupaten Lamongan
4. Memanipulasi Suara
Kelalaian Petugas – Penyelenggara Pemilu
Politik Uang Kabupaten Sintang
5. Politik Uang
Politisasi Birokrasi Kabupaten Gresik
6. Kelalaian Petugas – Penyelenggara Pemilu Kota Surabaya
7. Politik Uang Mandailing Natal
8. Politik Uang
Intimidasi Kotawaringin Barat
9. Politisasi Birokrasi
Politik Uang Kota Tanjungbalai
10. Politisasi Birokrasi
Politik Uang Kabupaten Sumbawa
Lebih lanjut uraian tentang bentuk pelanggaran massif, sistematis dan terstuktur adalah sebagai berikut:
1. Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi oleh incumbent terjadi dibeberapa daerah, Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Gresik, Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Sumbawa. Kepala daerah yang sedang menjabat kemudian menggunakan kekuasaannya melalui berbagai program pemerintah untuk memperoleh dukungan. Sosialisasi program, mengkoordinasikan pegawai negeri sipil hingga melakukan intimidasi kepada jajaran di bawahnya dengan tujuan mendominasi perolehan suara. Politisasi terhadap birokrasi tidak hanya digunakan untuk memenangkan incumbent sendiri, namun juga digunakan untuk mensukseskan keluarga kepala daerah yang sedang mencalonkan diri.
a. Kabupaten Konawe Selatan
Incumbent dengan kekuasaannya mengkoordinir Ketua RT, Kepala Dusun, Panitia Pemilihan Lapangan (PPL), Kepala Kelurahan, Ketua KPPS, hingga Panwaslu. Dikoordinir oleh Kepala Kelurahan, Ketua KPPS, dan Panwaslu mendistribusikan SPPT gratis kepada pemilih. Incumbent juga memanfaatkan PPL, Ketua RT dan Kepala Dusun untuk membagikan raskin gratis dan KTP gratis. Tim Pemenangan Calon No. Urut 2 (incumbent) juga melakukan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melibatkan Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun, Imam Desa dan Sekretaris Kecamatan. MK menilai keterlibatan alat kelengkapan pemerintah itu dilakukan secara terstruktur yang berakibat pada pelanggaran yang meluas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Incumbent juga memanfaatkan jabatannya untuk mengangkat dan mengerahkan pegawai dilingkungan pemerintah daerah dengan tujuan memenangkan pemilukada. Incumbent melakukan pengangkatan Pegawai Harian Tidak Tetap (PHPT) dan kemudian dijadikan sebagai tim pemenangan Pasangan Calon No. Urut 2 dengan janji akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketika kandidat memenangi pemilukada. Meskipun pengangkatan itu merupakan kewenangan pemerintah daerah, namun upaya itu diindikasikan sebagai upaya untuk pemenangan pasangan calon dari incumbent. Pengangkatan itu dilakukan setelah mendekati pemilukada dan bupati bersangkutan telah resmi menjadi calon.
Upaya penjaringan tim pemenangan di lingkungan pemerintah daerah itu didasarkan pada bukti berupa petikan surat keputusan Bupati tentang pengangkatan guru tidak tetap dan Petikan Keputusan Bupati tentang Pemberian Insentif. Berdasarkan dua bukti tersebut, MK melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menggalang dukungan bagi pemenangan bupati incumbent.
Pengerahan pegawai daerah juga dilakukan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe Selatan. Bahkan telah dibentuk kelompok pemenangan yang diberinama “Barisan Penggerak Pembangunan Daerah” (Brigade) yang seluruhnya merupakan PNS. Berdasarkan keterangan saksi, Kepala Dinas Pendidikan (Drs. Syarif Sayang, M.Si) telah memanggil dan mengumpulkan seluruh Kepala Cabang Dinas Pendidikan se-Kabupaten Konawe Selatan dengan agenda rapat teknis pendidikan. Agenda itu ternyata dilanjutkan dengan arahan Kepala Dinas untuk membentuk Tim Barisan Penggerak Pembangunan Daerah yang merupakan Tim Pemenangan Pasangan Calon No. Urut 2. Berdasarkan arahan itu, saksi membentuk tim dengan Surat Keputusan Brigade Wilayah Kecamatan Tinanggea dengan susunan pengurus dan yang bersangkutan sebagai koordinator kecamatan dengan anggota seluruh pegawai Dinas Pendidikan Kecamatan Tinanggea.
Beberapa agenda pertemuan juga dilakukan di tempat terpisah, misalnya Balai Desa Lapoa. Pertemuan itu dihadiri Kepala Dinas Pendidikan yang kemudian memberikan arahan untuk menyukseskan Pemilukada dengan menyatakan, “Lanjutkan kepemimpinan di Konawe Selatan dengan memenangkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati atas nama Bapak Drs. H. Imran, M,Si dan Drs. H. Sutoarjo Pondiu, M.Si Periode 2010 – 2015”. Arahan itu juga disertai dengan ancaman sanksi bagi yang tidak mendukung Pasangan Calon No. Urut 2.
Pertemuan serupa juga terjadi dengan agenda rapat koordinasi empat kecamatan di Mowila. Rapat dihadiri Camat, Kepala Desa se-Kecamatan Ranomeeto, Renomeeto Barat, Kandono dan Kecamatan Mowila yang dihadiri langsung oleh Bupati dan Wakil Bupati serta beberapa kepala dinas dengan agenda rapat “Koordinasi Desa Pembangunan”. Agenda itu kemudian berubah menjadi presentasi mengenai pemenangan incumbent. Dalam pertemuan itu, kepala desa diwajibkan mempresentasikan target pemenangan untuk Pasangan Calon incumbent dengan target kemenangan 80%. Pertemuan itu juga dibarengi dengan pembagian uang kepada setiap kepala desa, masing-masing mendapat Rp. 500.000,-. Adapun hasil pertemuan itu, Bupati dan Wakil Bupati beserta kepala dinas mengukuhkan Tim 21 dengan anggota yang terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, lima kepala urusan (kaur) pemerintahan umum, tramtib, pamong tani, empat kepala dusun, delapan ketua RT, satu tokoh adat dan satu tokoh agama.
b. Kabupaten Gresik
Pengerahan birokrasi juga terjadi dalam Pemilukada Kabupaten Gresik. Dinas Pertanian Kabupaten Gresik hingga jajaran Penyuluhan Pertanian Lapangan yang merupakan PNS telah dianggap tidak berlaku netral. Dinas Pertanian juga melibatkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) serta Produsen Pupuk Petrobio untuk mendukung Pasangan Calon No. Urut 5 (incumbent). Modus yang digunakan adalah melakukan sosialisasi penggunaan pupuk Petrobio dengan menyelipkan agenda arahan dan ajakan untuk memilih incumbent serta pembagian kaos bergambar Pasangan Calon No. Urut 5. Kegiatan itu dilakukan dihadapan Pegawai Dinas Pertanian.
c. Kota Tanjungbalai
Penggunaan kewenangan birokrasi dan fasilitas pemerintahan Kota Tanjungbalai yang dikoordinir oleh Walikota Tanjungbalai (H Sutrisno Hadi) sebagai ayah kandung pasangan Nomor Urut 6 (Pihak Terkait). Beberapa aktifitas yang dilakukan antara lain: [1] Walikota Tanjungbalai mengadakan pertemuan dengan seluruh Kepala Lingkungan se-Kota Tanjungbalai dalam 3 tahapan di kantor walikota. Pertemuan itu digunakan Walikota untuk berpidato yang mengarahkan agar Kepala Lingkungan tidak berkampanye untuk pasangan calon selain Pasangan Eka Hadi Sucipto. [2] Walikota Tanjungbalai mengadakan pertemuan di pendopo rumah dinas Walikota dengan Pegawai Dinas Kebersihan yang turut dihadiri Eka Hadi Sucipto (calon walikota/ Pihak Terkait). Pada kesempatan itu, Eka Hadi Sucipto mengajak agar Pegawai Dinas Kebersihan Kota Tanjungbalai memilih Eka Hadi Sucipto karena anak kandung Walikota Tanjungbalai. [3] pertemuan rapat atau arisan PKK di Kantor PKK, istri Walikota Tanjungbalai meminta kepada ibu-ibu PKK untuk memilih anaknya agar terjadi keberlanjutan pembangunan Kota Tanjungbalai. [4] beberapa aparat Pemerintah Kota Tanjungbalai yaitu Kepala Kelurahan Pematang Spasir telah mengerahkan pemilih untuk memilih Eka Hadi Sucipto. Berdasarkan keterangan saksi yaitu surat pernyataan Bakhtiar Sitorus, menyatakan adanya tekanan dari aparatur pemerintahan c.q Kepala Kelurahan Pematang Pasir untuk memilih Pasangan Calon Nomor Urut 6 dan penggunaan rumah dinas Walikota Tanjung Balai (ayah Calon No. Urut 6, Eka Hadi Sucipto) sebagai tempat distribusi pembayaran dana dan penyimpanan logistik kampanye Pasangan Calon Walikota Tanjungbalai No. Urut 6. Rumah dinas walikota juga digunakan sebagai tempat pertemuan dan rapat koordinasi Tim Pemenangan Pasangan Calon No. Urut 6.
d. Kabupaten Sumbawa
Politisasi birokrasi dilakukan dengan melibatkan Camat, PNS dan Kepala Daerah/ Lurah serta melakukan intimidasi kepada PNS dan aparatur pemerintahan, yaitu:
Pelibatan Camat, PNS dan Kepala Desa/ Lurah. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
Camat Lape (Ir. Arman Jaya), Kepala SDN 4 Lape (Mustakim S, S.Pd), Kepala UPT Pengairan Lape (Abdullah) dan staf Kantor Camat Lape (M. Zain Habi) sering melakukan pertemuan dengan warga masyarakat supaya memilih Pihak Terkait;
Camat Lenangguar, Kabupaten Sumbawa (Ir.Irawan) mengajak kepada seluruh jamaah Jumat untuk memilih Pihak Terkait;
Camat Lunyuk (Anshori Rahman) dan stafnya (Murzal) menjanjikan kepada warga masyarakat Desa Sampar Bontong. Kecamatan Lunyuk akan memberikan angkutan truk murah rute Lunyuk-Bontong apabila Pihak Terkait menjadi Bupati Sumbawa periode 2010 -2015;
Staf ahli Bupati Sumbawa (Salaruddin, S.Sos), dan Kepala Bagian Aset Pemkab Sumbawa (Wirawan, S.Si, Msi) menyerahkan uang di rumah Ketua Patriot (Banyamin) sebanyak Rp.125.000.000.- kepada Ketua DPC Partai Patriot (Muhammad Irfan) agar mendukung pencalonan Pihak Terkait;
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa dalam rapat koordinasi yang bertempat di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa tanggal 4 Agustus 2010 mengarahkan kepada seluruh jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa untuk mendukung dan memenangkan Pihak Terkait;
Kepala Badan Kesbang Pol Linmas (Drs. Arief, M.Si) dalam acara arisan Rukun Keluarga Bima Dompu (RKBD) tanggal 8 Agustus 2010, bertempat di rumah A. Majid, S.Sos, Kelurahan Brang Biji Kecamatan Sumbawa, mempengaruhi Khairuddin, S.Sos supaya RKBD memenangkan Pihak Terkait;
Kabag Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa (Sadaruddin, S.Sos) memerintahkan Staf Bagian Umum (Muhammad Sagenta,S.H.) untuk menyiapkan kas kecil dalam rangka persiapan pencalonan Pihak Terkait;
KUPT Pengairan Lape Lopok Kecamatan Lape Lopok Kabupaten Sumbawa (Abdullah) dalam pertemuan pada bulan Juli 2010 dengan petani setempat mengatakan apabila tidak memilih Pihak Terkait maka petani tersebut tidak diberikan air untuk pengairan sawahnya;
Pihak Terkait sejak deklarasi pencalonan sampai dengan hari pencoblosan telah melibatkan istrinya yang berstatus sebagai PNS dan Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Sumbawa untuk mencari dukungan pencalonan suaminya;
Tim Pemenangan Pihak Terkait di Kecamatan Utan dalam acara Silaturrahim tanggal 7 Agustus 2010 bertempat di depan Mesjid Desa Pukat, Kecamatan Utan telah melibatkan Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Guru sebagai pihak yang turut mengundang dalam acara dimaksud;
Mutasi, intimidasi dan pemecatan kepada PNS dan aparat pemerintahan
Mutasi Camat Lenangguar (Drs. Adam Muhammad) ke Sekretariat DPRD Kabupaten Sumbawa, melakukan mutasi Lurah (Nasrullah, SH) ke Badan Kesbang Pol Linmas, melakukan mutasi pengawas TK/SD (ISHAK, SPd) ke Kesbanglinmas, melakukan mutasi pegawai dinas Disnakertrans (Sukentya, S.Sos) ke Kesbang Pol Linmas, melakukan mutasi UPT Keluarga Berencana Kecamatan Lenangguar (Zainuddin, S.H) dan melakukan mutasi Kepala PDAM Utan (Tajuddin) menjadi Kasi Produksi PDAM Sumbawa;
Intimidasi kepada Kepala Puskesmas Lunyuk (Agus Supeno MPH) oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa, intimidasi kepada Syaifuddin HMS oleh Kabid PMPTK (Shahril, S.Pd., M.Pd) dan Kepala Diknas Kabupaten Sumbawa, dan melakukan intimidasi kepada Guru SD Samapuin Kecamatan Sumbawa (Jumaiyah) oleh kepala sekolahnya;
Pemecatan Kepala Dusun Banda, Desa Banda, Kecamatan Tarano (Hasanuddin Husain) oleh Kepala Desa Banda bernama Syamsuddin Kari, pemecatan Kepala Dusun Gelampar (Safaruddin) dan Kepala Dusun Tamsi (Hasan Basri) oleh Kepala Desa Usar Mapin, Kecamatan Alas Barat (Ismanto), pemecatan Kepala Dusun Karang Anyar (Muhksin) oleh Kepala Desa Pukat, Kecamatan Utan (Abdul Karim), pemecatan kepada Kepala Dusun Bajo (Kamarong) dan Ketua RT 02 RW 01 Dusun Bajo (Kaharuddin) oleh Kepala Desa Bajo, Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa (Hanan), dan pemecatan Ketua Rt.03, Rw.01, Desa Empang, Kecamatan Empang (Syaharuddin AH) oleh Kepala Desa Empang (Andi Azis, S.H);
Tindakan intimidasi, mutasi dan pemecatan Camat, PNS dan aparat pemerintahan dilakukan karena yang bersangkutan tidak mendukung pihak terkait. Menurut MK, Pihak Terkait secara cermat dan matang merencanakan penggalangan ataupun dukungan dari pejabat, PNS dan aparat pemerintahan baik di tingkat desa, dusun dan RT dalam rangka kemenangannya. Tindakan tersebut telah nyata menggambarkan kondisi yang tidak adanya kesetaraan dan kebebasan berkompetisi dalam Pemilukada.
2. Syarat Administrasi Pencalonan
Missrepresentatif, istilah itu yang kemudian digunakan oleh MK untuk mendalilkan pembatalan hasil pemilu dan kandidasi calon kepala daerah. Calon Walikota Tebing Tinggi terpilih dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Jika sejak awal penyelenggara pemilu tidak meloloskan pencalonan yang bersangkutan, maka konfigurasi perolehan suara tentunya akan sangat berbeda. Begitu juga dengan pilihan rakyat, sejak awal telah dihadapkan pada pilihan yang tidak tepat.
Calon terpilih, yakni Walikota Tebing Tinggi (H. Mohammad Syafri Chap) sejak awal pencalonan dinilai tidak sah dan tidak memenuhi syarat administrasi pencalonan. Bersangkutan di hadapan sidang MK telah terbukti pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih. Syafri Chap pernah dijatuhi hukuman dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar) berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan Pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 yang dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 menentukan syarat calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yakni “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”. Memang ketentuan ini pernah diuji dan diputuskan oleh MK dengan Putusan No. 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 sebagai berikut: “Menyatakan Pasal 58 huruf f tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun, sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”;
Merujuk pada empat syarat kumulatif di atas, maka Syafri Chap seharusnya tidak dapat mencalonkan diri sebagai kandidat karena tengah menjalani hukuman masa percobaan yang dijatuhkan pengadilan hingga 11 Mei 2011. Dengan demikian, MK menilai bahwa sejak awal pencalonan Syafri Chap tidak memenuhi syarat menjadi peserta Pemilukada, namun tetap diikutsertakan. Jika Syafri Chap sejak awal tidak diikut sertakan, maka dapat dipastikan bahwa konfigurasi perolehan suara masing-masing pasangan calon akan berbeda.
Kesalahan administrasi justru dilakukan oleh KPU Kabupaten Tebing Tinggi dengan telah mengeluarkan Formulir Model BB 8-KWK sebagai Lampiran Peraturan KPU No. 68 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Formulit itu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 58 huruf f UU 32/ 2004 yang dirubah dengan UU 12/ 2008. Dalam formulir disebutkan “tidak sedang menjalani pidana penjara ….”, padahal seharusnya berisi “ …. tidak pernah dijatuhi pidana penjara…”. Artinya KPU telah nyata-nyata melakukan kesalahan dan bertindak tidak professional yang merugikan Pihak Terkait dan orang lain.
3. Politik Uang
Pelanggaran berupa politik uang (money politics) menjadi salah satu pertimbangan untuk membatalkan hasil pemilu. Apalagi jika pelanggaran itu dilakukan secara menyeluruh dan terencana. Bentuk pelanggaran berupa politik uang dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.
a. Kabupaten Kotawaringin Barat
Kasus politik uang di Kabupaten Kotawaringin Barat tergolong unik dan kreatif. Tim kampanye dibentuk dengan melibatkan anggota KPPS, PPS, PPK dan Ketua RT. Tim kampanye baik tersembunyi maupun terang-terangan membagikan uang Rp. 150.000- hingga Rp. 200.000,- Pembagian itu dilakukan dengan pendataan nama-nama warga yang berhak memilih diseluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kotawaringin Barat. Warga yang telah mendapatkan uang, diberikan sertifikat sebagai Relawan Pasangan Calon No. Urut 1.
Rincian jumlah relawan yang menjadi Anggota Tim Kampanye adalah sebagai berikut ;
NAMA KECAMATAN RELAWAN PEMILIH PROSENTASE
Arut Selatan 34.417
53.578 64,23 %
Arut Utara 4.795
5.893 81,36 %
Kotawaringin Lama 5.453
9.228 59,09 %
Kumai 15.531
24.894 62,38 %
Pangkalan Banteng 5.383
16.091 33,45 %
Pangkalan Lada 12.659
16.321 77,56 %
Jumlah :
78.238 126.005 62,09 %
Jumlah Relawan sebanyak 78.238 orang atau sekitar 62,09% dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
Selain membagikan uang, kandidat terpilih juga menjanjikan akan memberikan tanah 2 ha/ orang serta melakukan intimidasi terhadap warga masyarakat. Atas pelanggaran itu, Anggota Panwaslu Kabupaten Kotawaringin Barat telah menerima laporan adanya politik uang dan telah diteruskan ke Polres Kabupaten Kotawaringin Barat. Terhadap laporan temuan itu, Polres Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menindaklanjutinya.
Atas pelanggaran itu, MK menilainya sebagai pelanggaran yang terencana dan dilakukan secara meluas di seluruh Kabupaten Kotawaringin Barat. Tidak hanya itu, pelanggaran juga dilakukan secara terstruktur dari tingkat paling atas, mulai dari Pasangan Calon, Tim Kampanye dan seluruh Tim Relawan hingga tingkat RT.
b. Kabupaten Mandailing Natal
Politik uang dilakukan dengan membagikan voucher yang dilakukan oleh Tim Relawan Pasangan Calon Nomor Urut 6 (Pihak Terkait) diseluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Mandailing Natal. Kegiatan itu bertujuan agar masyarakat mendukung Pasangan Calon Hidayat Batubara dan Dahlan Hasan Nasution (Pihak Terkait). Modus yang digunakan adalah sosialisasi larangan Pasangan Calon untuk menjanjikan atau memberikan uang atau barang untuk mempengaruhi pemilih. Sedangkan voucher yang diberikan merupakan honor relawan. Pelanggaran itu telah dilakukan secara tersusun dari tingkat paling atas mulai dari Pasangan Calon, Tim Kampanye dan seluruh Tim hingga tingkat paling redah yaitu RW dan RT.
c. Kabupaten Konawe Selatan
Praktik politk uang di Kabupaten Konawe Selatan dikatakan sebagai pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif tidak dapat dilepaskan dari bentuk pelanggaran politisasi birokrasi. Politik uang di kabupaten tersebut dilakukan dengan cara pembagian uang di rumah jabatan Bupati Konawe Selatan yang dilakukan oleh incumbent. Hal itu dibuktikan dengan foto saksi yang diperlihatkan dalam persidangan MK.
d. Kabupaten Gresik
Pelanggaran berupa politik uang terjadi di beberapa tempat yang menggunakan modus membagi-bagikan sejumlah uang dengan imbalan memilih kandidat bersangkutan. Di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah dan Desa Krikilan Kecamatan Driyorejo, seorang warga (Abdul Qohar Hasyim) dari Dusun Mojotengah, Desa Mojotengah, Kecamatan Menganti mengundang ratusan warga di rumahnya dan mengajak warga untuk memilih Pasangan Calon No. Urut 5 (Calon Bupati terpilih). Seusai pertemuan warga diberikan amplop bergambar pasangan calon No. Urut 5 yang berisi uang Rp. 50.000 kepada undang yang datang.
Praktik bagi-bagi uang juga terjadi di Desa Sungonlegowo, Kecamatan Bungah. Tim sukses memberikan uang Rp. 10.000,- oleh dan diminta mencoblos pasangan Calon Pihak Terkait. Berdasarkan surat pernyataan saksi pihak terkait, di Desa Sungonlegowo terjadi praktik politk uang sebesar Rp. 20.000,- dengan modus pembagian uang sedekah. Berbeda dengan Desa Krikilan Kecamatan Driyorejo yang memberikan uang kepada Ta’mir Mesjid sejumlah Rp. 240.000,- dan Anggota Linmas Rp 240.000.
Modus politik uang dengan cara mengundang pemilih dan pemberian amplop juga terjadi
Dusun Mojotengah, Desa Mojotengah, Kecamatan Menganti. Setelah pertemuan, masing-masing warga diberikan amplop bergambar pasangan calon pemenang pemilukada yang berisi Rp. 50.000,-
e. Kabupaten Sintang
Praktik politik uang terjadi di Kecamatan Kayan Hilir dilakukan oleh simpatisan Pasangan Calon Nomor Urut 2. Simpatisan membagi-bagikan uang sejumlah Rp. 50.000,- /orang, sehari sebelum pelaksanaan pemungutan suara. Atas pelanggaran tersebut, saksi Pemohon kemudian melaporkan dan menyerahkan barang bukti kepada Panwaslu. Namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.
f. Kota Tanjungbalai
MK menilai telah terjadi politik uang melalui Tim Arteri Center yang dibentuk secara terstruktur dan berjenjang mulai dari tingkat kota hingga TPS dengan melibatkan banyak orang secara masif yang dijadikan sebagai koordinator, saksi dan atau relawan. Sebagian besar relawan itu memiliki pengaruh baik langsung atau tidak kepada aparatur pemerintahan serta dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Kegiatan politik uang juga tidak dapat dilepaskan dari penggunaan dan pemanfaatan aparat birokrasi Kota Tanjungbalai. Pertemuan rapat yang dilakukan di rumah dinas Walikota Tanjungbalai dengan mengundang Tim Pemenangan Pasangan Calon No. Urut 6 dan beberapa aparat Pemerintah seperti Lurah atau Kepala Lingkungan termasuk juga pemilihan lokasi RS Hadi Husada milik walikota Tanjungbalai ketika membagi-bagikan uang kepada Tim Arteri Center pasca pemungutan suara adalah memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak dengan evaluasi, penyusunan dan persiapan kampanye. Persoalan itu yang kemudian meyakinkan MK bahwa politik uang dilakukan secara sistematis, terstruktu dan masif.
g. Kabupaten Sumbawa
Praktik politik uang dilakukan dengan membagikan baju kok dan topi oleh pihak terkait. Pembagian itu dilakukan menjelang atau pada saat Pemilukada Kabupaten Sumbawa pada Putaran kedua. Memang politik uang itu dilakukan oleh orang yang tidak terdaftar secara resmi sebagai tim sukses. Meskipun demikian, MK menilai bahwa politik uang tidak semata-mata hanya dilakukan oleh tim sukses yang terdaftar atau tidak.
Modus lain yang digunakan adalah memberikan sumbangan Rp. 1.000.000,- kepada Imam Mesjid Nurul Iman Dusun Selang Baru Desa Kerekeh, Kecamatan Unter Iwes. MK Menilai tindakan itu dilakukan pada waktu yang tidak tepat karena menjelang pemilukada putaran kedua. Sehingga tindakan itu dapat dinilai untuk memepengaruhi hak pilih jamaah masjid dan masyarakat dalam pemberian suaranya.
4. Intimidasi
Bentuk pelanggaran berupa intimidasi yang terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif dalam dilihat pada pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat. Tim Sukses Pasangan Calon No. Urut 1 (Calon Bupati terpilih) telah menebarkan ancaman dan intimidasi/ teror. Bahkan warga yang terang-terangan menolak mendapatkan uang dipukul oleh tim sukses. Terhadap kondisi tersebut, 7 (tujuh) kepala desa mengirim surat kepada Bupati Kotawaringin Barat tanggal 3 Juni 2010 yang isinya meminta diberikan dua petugas keamanan dari aparat TNI/ POLRI perdesa. Atas permintaan itu, Bupati dengan surat Nomor 061/91/ORG tanggal 4 Juni 2010 mengirim surat kepada Komandan Kodim 1014 Pangkalan Bun, Kepala Kepolisian Resort Kobar dan Komandan LANUD Iskandar Pangkalan Bun. Namun surat permintaan pengamanan tersebut tidak direspons oleh pihak keamanan.
Intimidasi juga dialami oleh Panwas, berdasarkan keterangan saksi pada saat melaporkan tentang politik uang melalui SMS dibalas dengan SMS yang isinya”Sudah dipikirkan buntutnya, karena saya sudah dalam keadaan tertekan”. Ancaman dan intimidasi tidak hanya kepada warga masyarakat, namun juga kepada beberapa kepala desa. Mereka diancam akan dipecat dari jabatannya jika Pihak Terkait menang, sebab tidak mau turut mendukung.
5. Manipulasi Suara
Pemilukada Kabupaten Sintang, dibeberapa tempat tidak dilakukan pemungutan suara. Pencoblosan justru dilakukan oleh petugas KPPS. Petugas KPPS di Kecamatan Kayan Hulu misalnya, melakukan pencoblosan surat suara pada malam dan pagi hari. Berdasarkan keterangan saksi, Ketua KPPS langsung memerintahkan kepada saksi untuk melakukan penghitungan suara, padahal dalam realitasnya tidak ada masyarakat yang datang untuk memberikan suara. Kondisi serupa dialami saksi Sengkumang yang menerangkan bahwa pukul 05.30 Wib pada hari pemilihan saksi mendapatkan keterangan dari Ketua KPPS bahwa proses pemilihan sudah selesai dilakukan. Atas kondisi itu maka saksi tidak membubuhkan tanda tangan/ cap jempol di berkas yang ditunjukkan oleh Ketua KPPS, TPS 746.
Persoalan juga muncul terkait perbedaan data hasil antara C1-KWK dengan DA1-KWK. Penebalan-penebalan angka maupun tanda tangan dalam CI-KWK yang menyebabkan terjadinya perbedaan angka perolehan dalam C1-KWK yang ada pada Termohon dengan yang ada pada Pemohon. Berdasarkan fakta hukum itu, maka MK menilai telah terjadinya pelanggaran yang dilakukan Termohon selaku penyelenggara Pemilukada yang telah merusak sendi-sendi Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (asas Luber-Jurdil)
6. Kelalaian Petugas-Penyelenggara Pemilu
a. Kabupaten Lamongan
Petugas pemilihan umum tidak konsisten dalam menentukan surat suara sah dan tidak. Terhadap kertas suara yang dicoblos tembus dihitung sebagai suara sah. Kebijakan itu secara formil justru tidak sesuai dengan Surat Edaran (SE) KPU Kabupaten Lamongan No. 164/KPU-LMG.014.329744/V/2010 yang menyatakan bahwa surat coblos tembus adalah tidak sah. Dengan demikian, penghitungan perolehan hasil suara yang telah ditetapkan KPU Kabupaten Lamongan tanggal 30 Mei 2010 seharusnya tidak valid. Dalam penghitungan terdapat surat suara yang semestinya tidak sah (berdasarkan SE KPU Kabupaten Lamongan) justru dihitung sebagai surat suara sah.
Karena penghitungan tidak valid itu, maka ada alasan hukum bagi KPU Kabupaten Lamongan untuk melakukan penghitungan ulang yang bertujuan untuk memilah agar semua surat suara coblos tembus dihitung sebagai surat suara yang tidak sah. Meski demikian, KPU Kabupaten Lamongan tidak melakukan penghitungan ulang. Hal itu dilakukan karena menurutnya Surat KPU Nomor 313/KPU/V/2010 bertanggal 25 Mei 2010 tidak berlaku surut. Hal demikian juga didasarkan atas Surat Jawaban KPU Nomor 321/KPU/V/2010 bertanggal 27 Mei 2010 yang isinya menyatakan bahwa Surat KPU Nomor 313/KPU/V/2010 bertanggal 25 Mei 2010 berlaku sejak surat tersebut diterbitkan dan tidak berlaku surut. Oleh karenanya, KPU Kabupaten Lamongan tetap mendasarkan rekapitulasi yang telah dilakukan di masing-masing TPS tanggal 23 Mei 2010.
Terhadap tindakan tersebut, MK menilai bahwa KPU Kabupaten Lamongan telah melakukan inkonsistensi dalam penetapan keabsahan surat suara karena adanya dua surat dari KPU Nomor. 313/KPU/V/2010 dan Nomor 321/KPU/V/2010, dan karena interpretasi yang berbeda tentang sah atau tidak sahnya surat suara coblos tembus di berbagai TPS. Oleh karena inkonsistensi tersebut menimbulkan ketidakpastian mengenai perolehan suara masing-masing pasangan, terlebih lagi suara yang tidak sah sangat banyak, maka menurut Mahkamah perlu dilakukan penghitungan surat suara ulang;
b. Kabupaten Sintang
Terdapat rekapitulasi suara yang berbeda antara Rekapitulasi PPK yang dijadikan dasar Termohon dalam Rapat Pleno KPU Kabupaten Sintang dengan Rekapitulasi oleh KPPS ditingkat TPS. Perbedaan rekapitulasi itu terjadi di enam Kecamatan yaitu :
- Kecamatan Tepunak terdiri 21 TPS
- Kecamatan Sungai Tebelian terdiri dari 11 TPS,
- Kecamatan Dedai terdiri dari 24 TPS
- Kecamatan Ketungau Tengah terdiri dari 24 TPS,
- Kecamatan Ketungau Hulu terdiri dari 16 TPS,
- Kecamatan Ketungau Hilir terdiri dari 1 TPS,
Terhadap perbedaan rekapitulasi itu, seharusnya PPK maupun Termohon seketika itu dapat melakukan pembetulan sebagaimana ditentukan Pasal 98 ayat (4) dan Pasal 99 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 serta Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 25 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah oleh Panitia Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan, dan Pelantikan.
Faktanya, keberatan atas ketidaksesuaian itu tidak segera dilakukan tindakan pembetulan baik oleh PPK maupun Termohon seketika itu juga. Bahkan terhadap keberatan itu, Ade M. Iswadi, Ketua KPU Kabupaten Sintang (Termohon) menyatakan agar keberatan itu diajukan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Selain perbedaan suara, Pemilukada Kabupaten Sintang juga diwarnai adanya pelanggaran berupa tidak disegelnya kotak suara, hasil rekapitulasi di setiap TPS yang digabungkan dalam satu kotak suara, dan hasil rekapitulasi penghitungan digabungkan dalam satu kotak suara.
c. Kota Surabaya
Terjadi pelanggaran dalam pembukaan kotak suara, gembok kotak suara yang tersegel, dan segel berkas pemungutan dan penghitungan suara dilakukan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan serta tidak dilakukannya penghitungan ulang terhadap surat suara coblos tembus di beberapa kecamatan sebagai berikut: 1) Kecamatan Sukomanunggal, 2) Kecamatan Pakal, 3)Kecamatan Tegalsari, 4) Kecamatan Tenggilis Mejoyo, 5) Kecamatan Rungkut, 6)Kecamatan Semampir, 7) Kecamatan Wonokromo, 8) Kecamatan Wonocolo, 9)Kecamatan Sawahan, 10) Kecamatan Simokerto.
Terhadap pelanggaran itu, Panwaslu Kota Surabaya telah melakukan tindaklanjut atas temuan. Terhadap coblos tembus, Panwaslu mengeluarkan surat rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya untuk melakukan penghitungan ulang di seluruh TPS. Terhadap rekomendasi itu, sebagian besar PPK tidak melakukan penghitungan ulang dan tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu. Panwaslu juga memerintah kepada jajaran panitia Pengawas Pemilu Kecamatan untuk membuat rekomendasi kepada seluruh tingkat PPK sebelum melakukan rekapitulasi ulang. Sebagian besar PPK tidak melakukan penghitungan ulang surat suara tidak sah yang dimulai dari nol.
Tidak disahkannya coblos tembus dan diabaikannya rekomendasi untuk melakukan penghitungan suara ulang telah menyebabkan 39.307 suara tidak sah. Jumlah itu cukup banyak dan signifikan dalam Pemilukada Kota Surabaya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa dalam jumlah itu terdapat suara yang sah tetapi dinyatakan tidak sah karena coblos tembus. Akibatnya telah merugikan pemilih yang telah memberikan suara untuk pasangan calon tertentu dan akan mengurangi legitimasi Pemilukada Kota Surabaya. MK berpendapat bahwa validitas perolehan suara masing-masing pasangan calon akan meningkatkan legitimasi perolehan suara masing-masing calon dan untuk melaksankan prinsip demokrasi yang menghargai suara pemilih dan untuk menegakkan pemilu yang jujur dan adil.
Selain persoalan di atas, muncul kebijakan yang tidak konsisten oleh penyelenggara Pemilukada Kota Surabaya dari tingkat PPK, PPS dan KPPS terkait penghitungan ulang terhadap suara tidak sah. Akibatnya telah timbul ketidakpastian perolehan suara masing-masing pasangan. Terlebih jumlah suara tidak sah sangat banyak.
F. Penutup
Pembahasan terhadap bentuk pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif memang tidak dilakukan terhadap seluruh perselisihan hasil pemilukada Tahun 2010 yang telah dikabulkan oleh MK. Meskipun demikian, paling tidak dokumentasi ini telah mengklasifikasikan bentuk pelanggaran yang bersifat sistematif, massif dan terstruktur. Harapannya klasifikasi ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi peserta dan penyelenggara pemilu agar kedepan dapat menjunjung tinggi asas luber dan jurdil.
Pengabaian terhadap asas itu justru akan merugikan kerja keras selama proses penyelenggaraan pemilu dan bahkan menjadi kesia-siaan belaka karena dapat dibatalkan oleh MK. Dengan demikian, pemilu justru menimbulkan polemik dalam demokrasi. Khususnya untuk KPU akan semakin menambah beban kerja. Dokumentasi ini juga berguna bagi penataan penegakan hukum pemilu ke depan. Bentuk pelanggaran dengan celah hukum yang digunakan menjadi refleksi bagi pembentuk undang-undang dalam penyempurnaan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, jika bentuk pelanggaran itu dapat diselesaikan ditingkat penyelenggara dan penegak hukum, maka beban kerja dan penumpukan perkara dapat diminimalisir.
Daftar Pustaka
Ramlah Surbakti dkk, Perekayasaan System Pemilihan Umum untuk Pembangunan Tatanan Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan, 2008.
David Hels. Models of Democracy. Jakarta, Akbar Tanjung Institut, 2006.
David Held. Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
John Locke,. Kuasa itu Milik Rakyat: Esai mengenai asal mula sesungguhnya, ruanglingkup, dan maksud tujuan pemerintahan sipil. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
JJ. Rousseau, 2010. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum – Politik. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Tomas Meyer. Democracy: An Introduction For Democratic Practice. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia Office, 2002.
Jimly Ashiddiqie. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Jimly Ashinddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perslisihan Hasil Pemilukada Kota Tebing Tinggi
Putusan MK Nomor 22/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Konawe Selatan
Putusan MK Nomor 27/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Lamongan
Putusan MK Nomor 25/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Sintang
Putusan MK Nomor 28/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil pemilukada Kabupaten Gresik
Putusan MK Nomor 31 /PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kota Surabaya
Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Mandailing Natal
Putusan MK Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat
Putusan MK Nomor 166/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kota Tanjungbalai
Putusan MK Nomor 158/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Sumbawa
No comments:
Post a Comment