KRITENISASI KAFIIIIRRR,....!!!
Namanya Prof. Dr. Hubertus Mynarek. Tahun 1972 dia keluar
dari agama Katolik. Suatu sensasi, karena dia bukan sembarang profesor: dia
adalah profesor teologi.
Bukan cuma itu, dia bahkan dekan Fakultas Teologi di
Universitas Wina, Austria.
Dia lahir tahun 1928. Dalam usia 25 dia dinobatkan menjadi
pastor. Dia terbukti menjadi teolog yang piawai, dalam usia 38 dia sudah
menyandang gelar profesor di bidang filosofi agama di Universitas Bamberg,
Jerman. Dalam usia 41 dia sudah dipercayai untuk menjadi dekan Fakultas Teologi
di Universitas Wina.
Setahun kemudian, di bulan November 1972, setelah lebih dari
20 tahun menggeluti dunia teologi Kristen, dia berkesimpulan bahwa agamanya tak
bisa diterima lagi: dia menyatakan keluar dari gereja.
Gereja Katolik bereaksi keras: Mynarek dipecat dari
jabatannya, bahkan dia dipaksa pensiun dalam usia 43 tahun. 22 tahun lebih awal.
Berikut potongan wawancara dia dengan majalah Jerman
"Materialien und Informationen zur Zeit" (MIZ) nomer 2/2000 (sumber:
www.kirchenkritik.de/archiv/kk_mynarek.html)
==========
MIZ: Mari kita bicara tentang Gereja Katolik dan reaksinya
atas kritik. Ketika anda di tahun 1972 sebagai dekan Fakultas Teologi
Universitas Wina memutuskan untuk keluar dari gereja, apakah anda sudah
meramalkan reaksi keras dari gereja?
HM: Berdasarkan sejarah gereja selama 2000 tahun tentu saja
saya tahu: gereja akan mengejar-ngejar semua yang menghalangi kepentingan
kekuasaannya, dan gereja tidak akan menerima kritik meski kritik ini beralasan.
Meski demikian saya terkejut juga dengan reaksi gereja yang keras dan brutal
atas keluarnya saya dari gereja, atas surat terbuka saya untuk Paus, dan atas
buku saya tentang situasi intern gereja "Herren und Knechte der Kirche" [Tuan
dan Hamba Gereja]. Reaksi yang di luar batas ini muncul karena saya adalah
profesor teologi Katolik pertama di abad 20 di wilayah berbahasa Jerman [Jerman,
Austria, sebagian Swiss dan Luxemburg] yang meninggalkan gereja. Gereja kan
masih juga berkeyakinan dan menggodamkan keyakinan pada para pengikutnya bahwa
tidak ada keselamatan di luar gereja. Pengritik gereja yang tajam seperti Uta
Ranke-Heinemann, Drewermann, Küng, dsb. masih juga percaya dengan doktrin ini
dan karenanya tetap tinggal di dalam gereja, dan tidak melakukan konsekwensi
logis keluar dari gereja. Dibandingkan mereka, saya sudah tahu jelas sekali
sebelum saya keluar dari gereja bahwa: gereja tidak akan lupa, tidak akan
memaafkan, tanpa ampun dalam mengejar-ngejar pengritiknya, dan tidak mengenal
rasa keadilan ataupun ampunan.
MIZ: Kritik anda pada gereja membuat kehidupan ekonomi anda
sulit. Beberapa saat bahkan anda sempat tinggal di kolong jembatan. Bagaimana
ini terjadi? Apa pengalaman terburuk anda di saat itu?
HM: Yang pertama kali terjadi setelah surat terbuka saya
--yang harus saya akui sangat kritis-- unttuk Paus dipublikasikan di
majalah-majalah dan koran-koran adalah ditusuknya ban-ban mobil saya yang
diparkir dekat Universitas Wina. Ini berulang kali terjadi. Yang kedua adalah
ambrolnya mobil saya di jalan tol Wina-Salzburg. Rem tidak berfungsi, hampir
semua sekrup di bagian motor dikendorkan. Saya menyesal tidak meminta keterangan
tertulis dari bengkel yang menderek mobil saya bahwa orang bengkel benar-benar
terheran-heran dan terus berkata: "Ini benar-benar mukjizat bahwa anda masih
hidup. Anjing-babi mana yang melakukan ini?" Kejadian yang mirip terjadi sekali
lagi dalam perjalanan saya dari München ke Würzburg. Ancaman pembunuhan lewat
telepon, saya terima tiap hari. Juga untuk isteri saya [setelah keluar dari
gereja Mynarek kemudian menikah] bila saya tidak di rumah, padahal isteri saya
tak bersalah sama sekali, karena saya keluar dari gereja bukan karena wanita,
tapi karena sruktur kekuasaan gereja yang tidak manusiawi. Tentu saja para
petinggi gereja tidak akan percaya. Mereka tidak akan percaya bahwa orang keluar
dari gereja dengan motif-motif idealisme. Pernah saya didatangi wakil-wakil
tinggi dari gereja yang berkata: "Hey, masa hanya karena wanita kamu keluar dari
gereja? Tunangan saja, kamu kan sebagai pastor bisa melakukan apa saja yang kamu
inginkan dengan wanita. Tapi jangan nikahi dia. Ini kan tidak susah, karena kamu
bisa memiliki kebebasan yang kamu inginkan." Kemudian muncul
konsekwensi-konsekwensi negatif. Saya kehilangan jabatan profesor saya di
Universitas Wina, akibat konkordat [perjanjian] antara Vatikan dan Republik
Austria, meski seorang pakar hukum ternama Austria di majalah "Profil" berkata:
"Kalau negara Austria memaksa seorang ilmuwan sekaliber Mynarek untuk pensiun,
hanya karena dia keluar dari gereja, maka konkordat dalam hal ini bertentangan
dengan undan-undang dasar."
MIZ: Tahun 1973 terbit buku anda " Herren und Knechte der
Kirche" [Tuan dan Hamba Gereja] yang diterbitkan oleh Kiepenheuer und Witsch ...
HM: Ya, setelah Penerbit Bertelsmann, yang telah menerima
penuh naskah saya dan menandatangani perjanjian dengan saya, mundur setelah
ditekan gereja. Sementara itu --Bertelsmann telah membatalkan perjanjian, tapi
gereja belum tahu apakah saya sudah menemukan penerbit lain untuk buku saya--
datang seorang utusan dari Kardinal Döpfner yang berkata: "Anda akan langsung
menerima kembali jabatan profesor kalau anda tidak menerbitkan buku ini dan
kembali ke pangkuan gereja. Kalau anda tidak melakukan ini, anda akan dihujani
dengan lebih dari 30 proses pengadilan, dan anda akan terhempas ke pinggir
jalan, kemudian menangis meminta-minta untuk diterima kembali oleh gereja. Hukum
bakar tidak ada lagi, tapi kami bisa mematikan orang lewat jalur ekonomi."
MIZ: Dan ancaman ini bukan omong kosong ...
HM: Tidak, setelah buku ini terbit dan sempat ditahan
penerbitannya oleh gereja, memang bukan 30 tapi ada 14 proses pengadilan yang
harus saya hadapi. Para petinggi gereja meminta uang ganti rugi sebesar 360 ribu
DM karena merasa tersinggung oleh buku saya. Dan pengadilan memenangkan mereka.
Ketika Penerbit Bertelsmann melihat bagaimana proses di pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi München tidak memihak saya, mereka pun turut campur dan
tiba-tiba meminta kembali uang panjar yang pernah mereka bayar bersama bunga
13,9%. ... Secara keseluruhan proses-proses ini berlangsung selama 6 tahun dan
ini adalah masa terberat hidup saya. Para pengacara yang tadinya senang mendapat
kasus yang sensasional, kemudian memperlihatkan kebuasannya setelah mereka
tahu saya tak memiliki sesen pun, dan menggadaikan saya habis-habisan. Ketika
mesin tik saya terakhir diangkut orang, dan saya mengadu pada Pengadilan
Kitzingen --rumah saya terletak di sana-- dan berkata bahwa saya sebagai penulis
tergantung sekali pada mesin tik, pengadilan bekata: "Anda masih bisa mengritik
gereja dengan tangan." Karena kerugian-kerugian material ini saya harus
melepaskan rumah saya di Kitzingen. Direktur sebuah bank di Bayern menjanjikan
saya hipotek yang mengizinkan saya untuk tetap menempati rumah itu. Tetapi
setelah dia ditekan gereja, dia kemudian berkata bahwa dia tidak tahu kalau saya
hidup seberbahaya itu dan bahwa saya sedang berkonfontasi dengan gereja.
Akhirnya dia menarik kembali hipotek itu. Saya bersama isteri saya, dan bayi
kami yang baru lahir, benar-benar harus hidup di kolong jembatan.
MIZ: Adakah orang di dalam atau luar gereja yang menolong
anda di situasi sulit ini?
HM: Dari dalam gereja hanya sedikit yang masih menolong saya.
Di antaranya teolog pastoral Prof. Klostermann dari Wina, yang menganggap
tindakan gereja sebagai sadis dan tidak pada tempatnya. Di luar gereja banyak
sekali. Misalnya 2 profesor Yahudi Werner Peiser dan Ossip K. Flechtheim. Prof.
Flechtheim dalam kasus saya malah sempat menghubungi Menteri Ekonomi Austria,
Firnberg, dan pemilik Bertelsmann, Mohn. Sayang tanpa hasil. Ketua "Bund der
Konfessionslosen" [organisasi orang-orang tanpa konfesi/aliran] ketika itu
mengangkut saya dan keluarga dari kolong jembatan. Dia menyediakan sebuah flat
dengan 2 kamar di Berlin, dengan sewa yang murah. Dia juga mengadakan inisiatif
untuk menolong saya dengan nama "aksi solidaritas untuk korban inquisisi modern"
yang diikuti oleh banyak tokoh terkenal dari kalangan penulis, seniman, pemikir
liberal, Bund der Konfessionslosen, juga dari para pemuda sosialis, yang
memprotes ketidakadilan gereja atas saya.
No comments:
Post a Comment