Mahasiswa di Tengah Globalisasi
Arus globalisasi mengalir
deras seolah tanpa muara. Bangsa di berbagai negara saat ini ikut
tersapu arus globalisasi tersebut. Kecanggihan teknologi informasi,
transportasi, dan media semakin memudahkan masuknya berbagai pengaruh
dunia (terutama dunia yang mengusai peradaban globalisasi itu) ke dalam
setiap lini kehidupan masyarakat di setiap negara.
Sebagian besar pengaruh itu dibawa oleh
negara-negara maju dan adikuasa, dalam bentuk pengetahuan, kekuatan
ekonomi, dan produksi budaya. Globalisasi kebudayaan itu menelusup dan
sampai ke seluruh negara yang hanya berdaya sebagai konsumen, terjun
besar ke pelosok masyarakat, tak terkecuali Aceh.
Aceh tak bisa lepas dari pengaruh
globalisasi. Kekuatan budaya global menghujam dan memberi pengaruh di
tanah Serambi Mekah ini. Aceh sebagai provinsi dengan nilai-nilai
keislaman yang dilegalkan mengalami banyak perubahan dari segi
kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Terjadinya
asimilasi, akulturasi, hingga pasifikasi (ketertaklukan) akibat proses
mengglobal itu.
Kita tak bisa pungkiri globalisasi
mendatangkan kebudayaan “baru” yang di dominasi oleh kebudayaan Barat.
Setiap daerah yang ada di Nusantara tampaknya memang harus berhati-hati
dalam menerima kebudayaan baru tersebut agar keaslian kebudayaan daerah
tidak punah hanya karena pengaruh globalisasi. Lantas mengapa kita harus
begitu waspada terhadap globalisasi?
Dalam hal ini kita terlebih dahulu harus
memahami apa itu globalisasi. Globalisasi menurut Athony Giddens adalah
proses pemadatan ruang dan waktu (compressing space and time at once).
Jarak yang jauh dan waktu yang lama dalam proses produksi di masa lalu,
karena masih dikerjakan oleh buruh, kini digantikan mesin dengan
presisi dan kualitas yang bagus dan diproduksi cepat. Jarak dari
Kutaradja ke Batavia jika di abad lalu ditempuh dalam waktu dua minggu,
kini dapat ditempuh dengan tiga jam dengan pesawat.
Penulis tidak mengatakan bahwa proses
mengglobal ini salah, bahkan seperti yang kita semua sudah tahu terdapat
begitu banyak sisi positif dari globalisasi, seperti kecanggihan
internet yang mampu menjangkau hingga ke desa dan memberikan kelimpahan
informasi dan pengetahuan.
Namun yang menjadi persoalan, sudahkah
kita memproteksi budaya kita dari segala bentuk ancaman yang mengintai
integritas kita? Karena globalisasi bisa berwujud pisau bermata dua, ada
kalanya ia menguntungkan dan ada saatnya merugikan.
Apalagi Aceh, yang bisa dikatakan dalam
keadaan rekonstruksi pasca-tsunami. Masa-masa transisi seperti ini akan
sangat memudahkan masuknya pengaruh kebudayaan Barat yang bersifat
negatif yang mampu menggoyangkan pilar kebudayaan lokal dan nilai
ke-Aceh-an.
Maka untuk itu masyarakat Aceh harus
bisa membangun jati diri berbudaya untuk menangkal pengaruh-pengaruh
negatif tersebut. Pihak pertama yang menurut penulis harus membangun
sikap berbudaya tersebut adalah kalangan mahasiswa mengingat mahasiswa
merupakan agent of change, pihak yang menentukan sebuah perubahan di dalam masyarakat.
Dalam hal ini, mahasiswa Aceh sebagai
salah satu bagian dari anggota masyarakat yang berkecimpung dalam dunia
intelektual haruslah mampu melakukan gebrakan-gebrakan yang bertujuan
pada pelestarian kebudayaan. Langkah awal barangkali bisa dengan
membangun keadaban komunikasi, baik di dalam kehidupan akademik atau
sosial. Ini merupakan salah satu sosialisasi menjaga kebudayaan sendiri
agar tidak larut dalam kungkungan globalisasi pro-Barat.
Menciptakan iklim komunikasi yang
berbudaya di kampus akan menumbuhan nilai-nilai kebudayaan pada diri
mahasiwa. Walaupun terdapat kemajemukan latar belakang para mahasiswa,
yang berasal dari berbagai etnis budaya, namun keberagaman tersebut
haruslah dihargai tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan
masing-masing.
Tentunya, dalam menjalin komunikasi
tersebut harus mengesampingkan dulu yang namanya etnosentrisme,
prasangka, dan streotipe yang seringkali dialamatkan pada kebudayaan
lain. Seperti halnya mahasiswa UGM yang kuliah di Jogja, yang datang
dari berbagai suku dari Nusantara. Walaupun mereka berangkat dari
beragam etnis dan budaya, harus dapat diminimalisir dengan adanya
penghargaan tehadap budaya Nusantara yang kaya itu. Para mahsiswa ini
bisa menjalin hubungan lintas-budaya yang harmonis, sehingga kota
tersebut berkembang menjadi kota yang ramah terhadap multikulturnya
Indonseia.
Penghargaan semacam ini bisa menangkal
masuknya kebudayaan Barat yang dibawa oleh globalisasi. Menjalin
hubungan yang akrab dengan semua mahasiswa yang berbeda budaya adalah
cara menghargai keberagaman yang ada, dengan menghargai keberagaman maka
akan tercipta suatu hubungan yang harmonis antar-sesama mahasiswa.
Sehingga akan muncul kesadaran dari diri mahasiswa untuk saling
memajukan kebudayaanya masing-masing.
Ketika iklim di kampus sudah terjalin
baik, diperlukan tindakan sosial lain yang bertujuan melestarikan
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Semua mahasiswa lintas budaya yang ada
di kampus, harus sama-sama bersatu dan menguatkan barisan untuk
menghadapi kuatnya arus globalisasi yang mengancam kebudayaan Indonesia.
Jika semua mahasiswa mau menghargai
kebudayaanya sendiri apapun latar belakang etnisnya, maka kesolidan dari
masing-masing budaya akan terjaga. Jika semua budaya bisa solid lewat
sikap-sikap berbudaya yang ditunjukan oleh para mahasiswa, maka,
pengaruh negatif kebudayaan Barat bisa terhindarkan.
(Penulis adalah siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa Komunikasi, FISIP, Unimal)
GAYO Nusantara.
No comments:
Post a Comment