‘Basinya Demokrasi di Aceh’
(Oleh: Khairil Miswar)
Meskipun
pelaksanan Pemilu Legislatif masih lumayan lama dan baru akan digelar
pada tahun 2014 mendatang, namun dalam beberapa hari terakhir fenomena
kekerasan sudah mulai muncul di Aceh.
Sebagaimana dilansir oleh AtjehLINK,
beberapa hari lalu seorang caleg perempuan dari Partai Nasional Aceh
(PNA) di Aceh Besar dipaksa untuk mundur dari caleg dan mendapat ancaman
tembak. Kasus pertama ini belum terungkap, keesokan harinya AtjehLINK
kembali memberitakan bahwa Cekgu yang juga kader PNA ditemukan tewas
dengan luka tembak. Belum lagi kasus ini tuntas, lagi-lagi diberitakan
bahwa rumah seorang perempuan yang juga kader dari PNA diteror dengan
peluru ketapel.
Dua dari tiga kasus di atas; ancaman
tembak dan teror peluru ketapel sudah hampir bisa dipastikan bahwa kasus
tersebut berhubungan erat dengan prosesi pemilu yang akan digelar pada
2014 mendatang. Sedangkan kasus terbunuhnya Cekgu, menurut penulis masih
syubhat (kabur) dan belum bisa dipastikan apakah kasus tersebut
berhubungan dengan pemilu ataupun tidak. Dugaan sementara sebagaimana
dilansir oleh Serambi Indonesia, pihak kepolisian menyatakan bahwa kasus
kematian Cek Gu terkait dengan urusan sabu-sabu. Namun hal ini secara
tegas dibantah oleh pihak PNA. Wallahu A’lam.
Berbicara masalah kekerasan menjelang
Pemilu di Aceh, sebenarnya bukanlah hal baru. Sepanjang pengamatan
penulis, kekerasan Pemilu ini marak terjadi di Aceh, khususnya pasca
perdamaian. Sebelum tahun 2005 bisa dikatakan aroma kekerasan ini belum
begitu populer di Aceh. Politik kekerasan ini baru tumbuh dan berkembang
pasca tahun 2005.
Kekerasan dalam Pemilu pasca damai
pertama sekali terjadi pada tahun 2006 pada saat prosesi pemilihan
Gubernur Aceh yang ketika itu dimenangkan oleh Irwandi-Nazar. Kekerasan
terus berlanjut pada saat Pemilu legislatif tahun 2009. Tidak berhenti
di situ, pada Pemilukada tahun 2012 kekerasan juga ikut menghiasi
prosesi Pemilu di Aceh.
Setelah melihat beberapa riwayat
kekerasan yang terjadi di Aceh, maka menurut penulis kekerasan yang
terjadi dalam beberapa hari ini pada prinsipnya hanyalah bentuk
pengulangan dari kekerasan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin para pelaku
kekerasan beranggapan bahwa praktek kekerasan merupakan jurus ampuh
dalam memenangkan Pemilu, sehingga patut dipertahankan.
Tentang siapa pelaku teror dan kekerasan
ini, menurut penulis bukanlah hal yang penting untuk didiskusikan.
Mendiskusikan pelaku kekerasan menurut penulis hanya akan membuang-buang
waktu saja dan justru bisa memperluas konflik, tapi yang penting adalah
bagaimana kekerasan ini bisa dihapuskan di bumi Aceh.
Berbagai bentuk teror dan intimidasi
yang dilakukan oleh “mereka-mereka itu” terhadap sesama anak bangsa
menurut penulis merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi
yang setiap hari terucap dari bibir-bibir mereka. Hanya demi
kepentingan kekuasaan mereka tidak segan-segan melakukan berbagai tindak
kekerasan terhadap orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan politik.
Demokrasi yang selama ini terucap dari
bibir mereka hanya menjadi selimut untuk menutup diri. Demokrasi hanya
ucapan, demokrasi hanya teori yang mereka gunakan untuk mengebiri
rakyat, demokrasi hanyalah tulisan untuk menghias spanduk dan poster di
jalanan.
Menyikapi buruknya praktek demokrasi di
Aceh, menurut penulis para pemangku kekuasaan di Aceh harus serius dalam
bersikap guna membasmi praktek-praktek kekerasan khususnya di musim
Pemilu. Para pemimpin partai politik menurut penulis harus mampu memberi
pemahaman yang komprehensif tentang makna demokrasi kepada para
kadernya sehingga tidak salah kaprah dalam melakukan aktivitas politik.
Setiap partai politik berhak untuk menang dalam Pemilu, tetapi tentunya
dengan cara-cara yang beradab dan mengindahkan nilai-nilai demokrasi.
Sebagai daerah yang mayoritas
penduduknya mengaku muslim, seharusnya setiap pemimpin partai politik di
Aceh juga mampu menggiring dan mengarahkan kadernya untuk tidak
menginjak nilai-nilai Islam dalam kegiatan politiknya. Para pemimpin
politik di Aceh harus mampu membangun politik yang berperadaban, bukan
sebaliknya malah mempraktekkan jurus-jurus biadab dalam politik.
Aksi teror dan kekerasan dalam politik
merupakan cerminan dari politik biadab yang tidak semestinya
dipertahankan dan harus segera dihapuskan di bumi Aceh. Akhirnya kita
hanya bisa berharap agar demokrasi di Aceh benar-benar berjalan,
khususnya menjelang pemilu 2014 mendatang. Semoga saja demokrasi di Aceh
bukan teori basi. Wallahu A’lam.
(Penulis adalah Alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh)
No comments:
Post a Comment