HASRAT untuk berlibur sambil memburu fakta sejarah ke Belanda
sudah lama terpendam. Jika dari Swedia sangatlah murah dan mudah tanpa
perlu menggunakan visa karena sesama negara anggota Uni Eropa. Ibarat
kata pepatah, "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui".
Setelah mengikuti acara International Human Rights Training SpeakOut2012
dari UNPO di Belanda, penulis beserta dua orang warga Aceh di Swedia
dengan dipandu seorang warga Aceh di Belanda, mengunjungi sebuah museum
yang menyimpan harta peninggalan Aceh masa berperang dengan Belanda.
Museum Bronbeek namanya, terletak di kota Arnhem, dan hanya 80 menit
perjalanan kereta api dari ibukota Belanda, Amsterdam.
Membaca literatur sejarah dengan melihat langsung fakta sejarah adalah
berbeda. Perbedaan sangat kentara jika menyentuh langsung barang-barang
warisan peninggalan perang Aceh ketika melawan arogansi kolonialisme
Belanda sejak 1873 dan hampir kesemua tersimpan rapi di museum Bronbeek
itu!
Di depan museum terpampang dua patung KNIL (Koninklijk Nederlands
Indisch Leger) atau tentara Belanda di Indonesia. Begitu masuk pintu
utama terlihat sebuah meriam besar memanjang yang diketahui berasal dari
Aceh. Sontak saja, penulis beserta warga Aceh lainnya bergegas
mengeluarkan smartphone untuk memotret, namun seorang petugas penjaga
museum mencegahnya dengan meminta untuk membeli tiket masuk terlebih
dahulu.
"Anda semua berasal dari Aceh?" tebak seorang perempuan satpam yang
berpakaian Diens Kieren (pakaian dinas biru) di loket pintu masuk.
Haris Abdullah, putra Aceh yang lama bermukim di Belanda menjelaskan
dalam bahasa Belanda kepada petugas museum.
Di depan kantor museum Bronbeek, Arnhem, Belanda |
Kini, foto bahkan kamera video pun sudah boleh digunakan, terutama mengabadikan meriam besar milik Aceh yang bertuliskan "The Pepper Piece"
(Lada Secupak) dan aksara besar "Geschenk Van Z.M Koning Willem III"
yang diberikan hadiah oleh Sultan Sulaiman Tukri untuk Aceh. Namun,
pada tahun 1873 dirampas oleh Belanda dan kemudian disimpan di museum
Bronbeek.
Diketahui pula, semenjak Belanda kembali ke negerinya meninggalkan tanah Netherland East Indies (Hindia Belanda), setiap pegunjung yang datang ke Bronbeek sudah tentu pasti melihat meriam milik Aceh itu karena terletak persis dipintu utama masuk museum.
Diketahui pula, semenjak Belanda kembali ke negerinya meninggalkan tanah Netherland East Indies (Hindia Belanda), setiap pegunjung yang datang ke Bronbeek sudah tentu pasti melihat meriam milik Aceh itu karena terletak persis dipintu utama masuk museum.
Bangunan museum bertingkat dua. Sebelah kanan dan kiri tingkat pertama
terlihat puluhan pakaian seragam KNIL beserta bedil bekas yang dibungkus
dengan kaca. Sedangkan di dinding, terpajang ratusan galeri foto yang
dibingkai, gambar wajah campuran tentara bule dan asia, poster
perjuangan masa perang.
Masuk kelebih dalam sebelah kiri, lorong kecil memanjang yang disebelah
kanan berbaris beberapa meriam besar milik Aceh, disamping meriam
tertulis keterangan dalam bahasa Belanda. 15 menit berlalu, tiba-tiba
saja datang seorang bule Belanda berkaca mata dengan berpakaian kantor
seragam biru langit sambil memperenalkan diri sebagai musuem gids
(pemandu museum).
Diduga, penjaga loket telah memberikan keterangan sebelumnya jika ada empat warga Aceh tiba di museum itu dan pemandu museum menawarkan jasanya secara gratis. Kesempatan ini tidak di sia-siakan. Sebagai warga Aceh di Belanda, Harris Abdullah bertanya banyak kepada pemandu tentang isi museum, terutamanya yang berkaitan dengan hubungan Aceh dan Belanda di masa lampau, sambil memberikan contoh kompleks perkuburan militer Belanda Kerkhof ada di Banda Aceh.
Diduga, penjaga loket telah memberikan keterangan sebelumnya jika ada empat warga Aceh tiba di museum itu dan pemandu museum menawarkan jasanya secara gratis. Kesempatan ini tidak di sia-siakan. Sebagai warga Aceh di Belanda, Harris Abdullah bertanya banyak kepada pemandu tentang isi museum, terutamanya yang berkaitan dengan hubungan Aceh dan Belanda di masa lampau, sambil memberikan contoh kompleks perkuburan militer Belanda Kerkhof ada di Banda Aceh.
Meriam Aceh
Meriam The "Pepper Piece" Didepan Pintu masuk Museum Bronbeek |
Harris memancing percakapan dengan berumpama misalnya adakah cara untuk mengambil kembali pulang semua meriam.
"Bagaimana jika seandainya orang Aceh di Aceh meminta untuk
memulangkan semua meriam ini, tambah Harris, minimal hanya enam bulan
saja untuk memperlihatkan bukti sejarah kepada generasi baru".
Pria berseragam museum itu terlihat terdiam sejenak. Agar tampak makin
serius, Harris malah menambahkan sambil memberikan tamsil.
Pria bule yang berpakain dinas itu malah terkejut. Seperti ingin
mengalihkan jawaban, menurutnya sangat sulit karena perlu ada perjanjian
terlebih dahulu antara dua pemerintah.
"Jika memungkinkan, maka kami akan membongkar semua jendela kaca besar dibelakang museum karena dulu saat dimasukan belum ada jendela memanjang," terang pemandu museum.
"Jika memungkinkan, maka kami akan membongkar semua jendela kaca besar dibelakang museum karena dulu saat dimasukan belum ada jendela memanjang," terang pemandu museum.
Benar juga, lorong kecil tidak memungkinkan untuk mengangkat meriam.
Meriam tersebut sangat berat, lebih praktis jika menggunakan kapal laut
untuk dibawa pulang, sama seperti ketika dibawa dahulu. Dari penuturan
pemandu museum tersebut, total semua meriam ada sepuluh buah, yang kecil
2.600 Kg dan yang besar 7.000 kg.
Walaupun demikian, banyak orang Aceh luar negeri yang pesimis
realisasinya, apalagi sangat sulit memegang janji Belanda. Contohnya,
perjanjian maklumat perang dengan Aceh saja dulu Belanda ingkar karena
mengembalikan kedaulatan bangsa Aceh kepada bangsa lain.
Museum Tingkat Dua
Naik ke tingkat dua museum, dari anak tangga sudah terdengar rekaman
suara pidato Soekarno dari sebuah tape recorder yang diulang-ulang. Ada
foto yang hitam putih bergambar tulisan spanduk masa zaman Soekarno
berpidato ”Amerika Kita Setrika – Inggris Kita Linggis”.
Disebelahnya, layar tancap mini memperlihatkan kapal laut tentara Belanda berlabuh, dentuman meriam mengiringinya seakan mengajak pengunjung larut dalam masa lampau, layaknya fragmen sandiwara, persis seperti sebuah film dokumenter.
Disebelahnya, layar tancap mini memperlihatkan kapal laut tentara Belanda berlabuh, dentuman meriam mengiringinya seakan mengajak pengunjung larut dalam masa lampau, layaknya fragmen sandiwara, persis seperti sebuah film dokumenter.
Kembali tanpa di undang, seorang pria bule berbahasa Melayu menghampiri
kami sambil bersalaman hangat sambil menawarkan sebagai pemandu.
"Apa kabar, saya tahu kalian dari Aceh, pasti ingin melihat dokumen
peninggalan sejarah Aceh kan?" ujar bule rambut putih tersebut yang
bercampur dengan logat Belanda.
Dari percakapan basa basinya, dia mengetahui kami dari penjaga museum di
lantai bawah. Orang tuanya sebagai tentara KNIL yang ditugaskan di
Sumatera sehingga dia sendiri kelahiran Minang. Meskipun pertama sekali
berjumpa orangnya sangat ramah.
"Mari ikut saya sekarang, tapi terlebih dahulu jangan marah ya.....jangan marah ya" ujarnya berkali-kali mengingatkan.
Ternyata, ada sebuah kamar yang khusus memperlihatkan foto dan barang
perang Aceh yang dirampas oleh Belanda seperti rencong, pedang, senapan
kuno, balai mini, pakaian adat lengkap, buku hikayat prang sabi, foto
hitam putih suasana perang, foto sadis gelimpangan ribuan mayat hasil
pembantaian di Kuta Reh, hingga sebuah sampul buku karikatur Van Daalen
sedang menunggang kuda putih berlatar belakang barisan tengkorak.
Van Daalen saat itu menjabat gubernur militer yang memerintahkan untuk membantai ribuan orang di Kuta Reh pada 14 Juni 1904.
Van Daalen saat itu menjabat gubernur militer yang memerintahkan untuk membantai ribuan orang di Kuta Reh pada 14 Juni 1904.
Patung panglima Belanda untuk Aceh tahun 1876, Jendral Van Der Heijden |
Di atas lemari kaca yang transparan terdapat beberapa patung jenderal
militer yang pernah bertugas di Aceh. Uniknya, patung tersebut hanya
kepala hingga kebahu saja yang tampak, namun didadanya penuh dengan
bintang jasa.
Dalam perjumpaan dengan pemandu sukarela itu, katanya Hasan Tiro acap kali ke museum ini dulu untuk mencari dokumen perang Aceh - Belanda sebagai referensi tulisannya, bahkan dia ikut membantu menjadi pemandu museum gratis.
Dalam perjumpaan dengan pemandu sukarela itu, katanya Hasan Tiro acap kali ke museum ini dulu untuk mencari dokumen perang Aceh - Belanda sebagai referensi tulisannya, bahkan dia ikut membantu menjadi pemandu museum gratis.
Saya yakin, siapa pun yang berkunjung ke museum Bronbeek itu akan
menambah rasa cinta nasionalisme keacehannya karena fakta sejarah hitam
diatas putih ada di depan mata. Begitu juga seperti fakta lainnya yang
tiada terbantahkan;
”Orang Aceh dulu tidak ke Belanda untuk berperang, tetapi Belanda-lah
yang datang untuk mengobarkan perang, bahkan hingga saat ini maklumat
perang tersebut tidak pernah dicabutnya”.
Di tulis oleh Asnawi Ali, warga Aceh di Swedia
No comments:
Post a Comment