Bahasa (Gayo) ku Tergerus Waktu
Oleh: M. Fadli Ferdiansyah Putra*
SEBAGAI
warga Aceh Tengah, terutama bersuku Gayo. Terdengar aneh, jika tidak
pandai berbahasa Gayo. Seperti saya sendiri, saya lahir di Tanoh Gayo
tetapi saya kurang mahir berbahasa Gayo. Lucu memang, tetapi saya pikir
mengapa saya tidak bisa berbahasa Gayo dengan baik dan benar mungkin
karena pergaulan dan lingkungan.
Mengapa saya mengangkat judul ini?
Karena selain saya ikut merasakannya, saya juga mulai merasa prihatin
dengan nasib bahasa Gayo sekarang ini. Terutama di kalangan anak muda
Gayo yang mulai gengsi menggunakan bahasa Gayo.
Contoh sederhana adalah banyaknya
penggunaan bahasa Gayo yang melenceng dari tutur kata, tutur kepada
orang tua, abang, kakak, adik, bahkan teman sebaya. Ironis memang,
ketika sopan santun sudah tidak bisa dijaga. Misal dalam tutur memanggil
adik laki-laki ayah atau ibu dari keluarga bersuku Gayo seperti pak cik, kil, cik, ama ucak. Berganti alur dengan masuknya budaya lain menjadi om atau paman.
Lainnya seperti panggilan untuk adik perempuan ibu seperti encu, ibi
berganti alur menjadi bunda atau tante. Jika ini kita biarkan,
bayangkan nasib bahasa Gayo di masa anak cucu kita. Para sejarawan Gayo,
memprediksi 50 Tahun ke depan bahasa Gayo akan lenyap dari Tanoh Gayo.
Sama halnya dengan remaja di kota besar, remaja Gayo juga mulai terpengaruh dengan bahasa-bahasa alay (anak lebay). Jika sedang berkumpul, mereka suka menggunakan bahasa yang kerap ditampilkan di televisi seperti kata lo, gue, ente, cemungut, masbuloh, ilfil, jutek, jeles, cakep, bete dan masih banyak lagi.
Memang terdengar keren, jika anak Gayo
sudah mulai ikut modern seperti anak kota metropolitan. Tetapi coba
pikir ke depan, bila ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan bahasa Gayo
akan benar-benar hilang dari muka bumi. Ini memang terdengar
mengerikan, tetapi itulah kenyataannya.
Bahkan akan lebih mengerikan lagi, bila
dari segi bahasa saja bisa lenyap, apalagi dari segi budaya? Coba kita
perhatikan jika sedang ada acara didong Gayo. Para remaja Gayo hanya
segelincir saja yang nampak antusias menontonnya, tetapi jika ada konser
group band di lapangan Musara Alun, maka akan sesak dipenuhi dengan
remaja yang saling berpasang-pasangan.
Hal lainnya yang bisa kita jadikan
contoh, coba kita perhatikan di sekeliling kita. Banyak anak-anak
sekolah dasar yang tak pandai berbahasa gayo dengan baik, bahkan
rata-ratanya mereka hanya tahu bahasa kotor hanya untuk sekedar
mengejek temannya sendiri.
Mungkin di tingkat sekolah dasar masih
ada pelajaran muatan lokal yang mempelajari bahasa Gayo dan bahasa Arab,
tetapi bagaimana dengan yang di jenjang yang lebih tinggi seperti SMP
dan SMA? Pelajaran tentang bahasa Gayo sudah tidak ada lagi. Mengapa
demikian? Apakah karena tingkat SMP dan SMA sudah penuh mata pelajaran
yang lebih penting dari sekadar bahasa Gayo?
Menurut saya, salah satu cara untuk
mengembalikan dan melestarikan bahasa Gayo ke para remaja adalah melalui
musik atau lagu-lagu Gayo. Dengan otomatis, mereka akan mencari tahu
apa makna dan arti kata tersebut, seperti aliran-aliran musik Ervan ceh
kul yang kini kebanyakan disukai oleh kalangan muda Gayo.
Intinya kita sebagai generasi penerus
budaya Gayo, harus melestarikan bahasa kita sendiri. Jangan sampai
punah dari atas permukaan bumi Tanoh Gayo. Karena bahasa Gayo lah yang
menyatukan kita yang menyokong budaya kita dan melindungi adat istiadat
kita. Mari kita lestarikan bahasa kita, bahasa Gayo.(editor: ZI)
No comments:
Post a Comment