Pengakuan Hak Masyarakat Adat Berpotensi Konflik
Senin, 15 Juli 2013 | 14:15 WIB
Dalam Keputusan tersebut, MK mengukuhkan secara konstitusi tentang kewajiban negara untuk mengakomodasi hak masyarakat adat dalam mengelola hutannya. Memperkuat keputusan tersebut, MK juga mengeluarkan keputusan No 45/PUU-IX/2011 di mana MK membatalkan definisi kawasan hutan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan serta mendefinisikan ulang penunjukan kawasan hutan yang tidak boleh sepihak.
"Banyak sekali wilayah hutan masyarakat adat yang telah berubah menjadi lahan konsesi. Dengan dilandasi pengakuan secara legal oleh MK masyarakat adat merasa punya hak untuk mengambil kembali hutan mereka, kondisi ini bisa berubah menjadi konflik bila tidak segera ditindaklanjuti," tegas Abdon dalam diskusi di Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) Jakarta, Senin (16/7).
Pihaknya, lanjut Abdon, menyarankan agar Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur inventarisasi hutan yang berada dalam hak ulayat.
"Jadi dengan inventarisasi tersebut status hukumnya kan bisa jadi jelas. Jangan sampai negara melakukan pembiaran terhadap potensi-potensi konflik terkait perebutan hak hutan adat. Masyarakat adat merasa haknya sudah diakui secara konstitusi tapi kok ngga ada praktek perubahan juga di lapangan," papar Abdon.
Terkait inventarisasi hak atas hutan yang dibawahi Masyarakat Hukum Adat (MHA) AMAN sendiri menurut Abdon telah melakukan sejak lima tahun silam. "Kita telah memiliki Peta Wilayah Adat MHA, dengan cakupan inventarisasi wilayah hutan MHA di 33 provinsi," jelas Abdon.
Dalam peta tersebut, lanjut Abdon, selain peta wilayah geografis juga dicantumkan sejarah dan Hukum Adat yang berlaku di wilayah ulayat yang bersangkutan.
"Dengan adanya peta tersebut, bila ada konflik di masa mendatang terkait perebutan hak antara masyarakat adat dengan pihak luar maka pemerintah sudah punya rekomendasi untuk menyelesaikanya," jelas Abdon.
Peta Wilayah Adat tersebut di serahkan AMAN kepada KLH untuk bisa dijadikan baseline dalam inventarisasi wilayah adat di Indonesia. KLH sendiri mengatur tentang keberadaan MHA dan wilayah-wilayah hukumnya dalam Pedoman Tata Cara Keberadaan MHA, Kearifan Lokal, dan Hak MHA.
"Pedoman dan tata cara keberadaan MHA ini kita akui, turunan dari amanat hukum Protokol Nagoya yang sudah kita ratifikasi," ujar Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) Balthasar Kambuaya dalam kesempatan yang sama.
Di Indonesia sendiri KLH mencatat ada 555 etnis masyarakat, lebih kurang terdapat 70.640 komunitas desa, dan 30 juta jiwa yang berpotensi sebagai MHA.
"Meski jumlahnya banyak sayangnya keberadaan MHA ini tidak begitu diakui oleh negara dan kerap harus menempuh jalur konflik untuk mempertahankan hak ulayatnya," ujar Balthasar.
Untuk mengakomodir hal tersebut menurut Balthasar KLH telah meratifikasi Protokol Nagoya terkait keanekaragaman hayati termasuk pengakuan dan hak MHA. KLH juga telah menandatangani kerjasama inventarusasi keberadaan MHA dan kearifan lokal.
"Dengan adanya peta rekomendasi dari AMAN ini kita akan bisa mulai memverifikasi untuk selajutnya ditindaklanjuti dengan pengakuan MHA di wilayah ulayatnya," ujar Balthasar.
Peta yang diserahkan tersebut menurut Abdon baru memuat 2,6 juta hektare hutan masyarakat adat yang dibawahi sekitar 360 MHA karena itu perjanjiannya dengan KLH akan selalu ada pemukhtahiran setiap tahunnya.
"Kami prediksi saat ini ada 15 ribuan MHA yang memiliki hak adat atas 40 juta hektar hutan di Indonesia. Sementara hutan kita sendiri kan sebelum ada konsesi jumlahnya sekitar 126 juta hektar, sekarang sudah menyusut jadi sekitar 80 juta hektare yang separuhnya hak masyarakat adat. Penting sekali hutan yang tersisa ini untuk dijaga karena kebetulan inilah hutan kita yang paling bagus masih tersisa untuk menjaga keseimbangan alam dunia," ujar Abdoni menandaskan. (Soraya Bunga Larasati)
Editor: Asnawi Khaddaf
No comments:
Post a Comment