Wali Nanggroe; Pemersatu atau Pemecah?
Wali Nanggroe; Pemersatu atau Pemecah?
Kamis, 13 Juni 2013 09:56 WIB
Oleh Safaruddin
DEMONSTRASI menuntut pemisahan wilayahnya dari Provinsi Aceh terus
bergulir di dataran tanah tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Bener
Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues hingga Aceh Tenggara. Demo serupa juga
menjangkiti Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan hingga
Singkil dan Subulussalam. Satu tuntutan mereka; memisahkan tanah Gayo
dan pantai barat dari Provinsi Aceh. Jika perjuangan mereka berhasil,
maka Aceh akan terdiri dari tiga provinsi yang dipimpin tiga orang
gubernur; Aceh, Aceh Leuser Antara (ALA), dan Aceh Barat Selatan (ABAS).
Jika pada 4 Desember 1976 Aceh di bawah kampanye Dr Hasan Muhammad di
Tiro menyuarakan kemerdekaan Aceh dari NKRI, maka kini giliran mantan
pengikut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang harus meredakan gelora merdeka
dari dua belahan bumi Aceh. Ini adalah fenomena menarik dan dibenarkan
dalam panggung demokrasi jika ditempuh melalui jalur-jalur damai dan
demokratis. Oleh sebab itu, para penguasa Aceh (eksekutif dan
legislatif) yang sebagian besar berasal dari kalangan mantan kombatan
agar mempertimbangkan dengan jernih suara merdeka dari wilayah tengah
dan pantai barat selatan Aceh.
Dianggap angin lalu
Sebenarnya rakyat tanah tinggi Gayo dan pantai barat selatan adalah
orang-orang yang waras, santun dan cerdas dalam menjalani hidup bersama
warga Aceh daratan. Mereka sangat mencintai Aceh, dan itu terlihat dari
masukan-masukan yang mereka utarakan saat berbagai kebijakan disusun di
ibukota provinsi. Terakhir, mereka menyampaikan aspirasi tentang isi
rancangan qanun (raqan) Wali Nanggroe sebelum disahkan menjadi qanun.
Tapi, apa hendak dikata, suara mereka dianggap bagai angin lalu. Pembuat
kebijakan tetap pada keputusannya, seakan menutup mata dan telinga atas
masukan rakyatnya itu.
Sejak dulu sering terdengar suara
ketidakmerataan pembangunan antara wilayah Aceh daratan dengan Aceh
pedalaman dan barat selatan. Kini, di era pascadamai suara miring itu
tetap menggema. Penduduk wilayah tengah dan barat selatan merasa
diperlakukan bagai anak tiri. Baik dari segi komposisi kepemimpinan
provinsi, pemerataan pembangunan, hingga kebijakan soal Wali Nanggroe
yang dinilai memarginalkan budaya Gayo dan budaya-budaya lain di Aceh.
Akhirnya, mereka menjadikan momen ini sebagai pijakan menuju terwujudnya
ALA dan ABAS.
Pencantuman nama Aceh pada kedua bakal provinsi
baru ini menunjukkan bahwa mereka sangat mencintai Aceh dan tak hendak
terpisah dari Aceh. Kalaupun harus berpisah, maka nama Aceh tak boleh
dihapuskan pada identitas mereka. Pada sisi lain, andai Provinsi Aceh
harus terbelah tiga, itu bukanlah dosa dalam hidup bersama NKRI. Toh,
wilayah-wilayah lain di Indonesia satu per satu memekarkan diri; dari 26
provinsi (tanpa Timtim) menjadi 33 provinsi sekarang.
Yang
namanya pemekaran pasti akan ada jabatan yang ikut dimerkarkan. Para
kandidat calon gubernur, calon anggota legislatif, calon kepala dinas
tidak rebut-rebutan pada kursi yang terbatas di sebuah provinsi.
Konsentrasi mereka akan terpecah ke daerah-daerah baru yang dimekarkan
sehingga cenderung dapat menciptakan kondisi yang lebih sehat dan
pembangunan pun lebih merata. Dan, terbukti daerah-daerah pemekaran
semakin berkembang karena adanya sentuhan khusus dari pemerintah pusat
dan pemerintah pemekaran.
Gugat ke MA dan MK
Lembaga Wali
Nanggroe merupakan kekhususan Aceh yang diberikan oleh konstitusi dalam
pasal 18 B UUD 1945, yang kemudian dituang dalam pasal 96 dan 97 UU
No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun kehadirannya yang diharapkan
menjadi pemersatu Aceh justru menimbulkan pro dan kontra yang mengarah
pada perpecahan teritorial Aceh.
Jika dilihat dari aspek
yuridis, fungsi Lembaga Wali Nanggroe seperti tertuang dalam UUPA Pasal
96 (1) merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang
independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat-istiadat dan
pemberian gelar dan upacara-upacara adat lainnya; (2) bukan merupakan
lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh; (3) dipimpin oleh
seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen; (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara
pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler,
keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan
Qanun Aceh.
Jika dilihat dari aspek sosiologis empiris,
terjadi penolakan yang luar biasa dari elemen masyarakat, bahkan
penolakan oleh lembaga negara seperti beberapa DPRK di dataran tinggi
Gayo dan Aceh Barat-Selatan menolak isi Qanun Wali Nanggroe yang disusun
oleh DPRA karena tidak menampung aspirasi etnis mereka yang juga
merupakan bagian wilayah Aceh, dan penolakan tersebut telah mengarah
pada disintegrasi Aceh.
Ada beberapa langkah hukum yang dapat
ditempuh oleh masyarakat yang tidak sependapat dengan Qanun Wali
Nanggroe: Pertama, melakukan Judicial Review terhadap Qanun tersebut ke
Mahkamah Agung (MA) karena MA punya kewenangan untuk menguji peraturan
perundangan di bawah UU jika suatu UU bertentangan dengan UU yang lebih
tinggi ataupun peraturan perundangan tersebut merugikan hak
konstitusionalitasnya sebagai warga negara, dan; Kedua, melakukan
judicial review Pasal 96 dan 97 UUPA ke Mahakamah Konstitusi (MK)
sebagai landasan hukum dari Lembaga Wali Nanggroe, karena MK diberikan
kewenangan oleh konstitusi untuk menguji UU jika bertentangan dengan UUD
1945.
Berharap bijaksana
Kita tentu tidak berharap Aceh
terpecah-belah hanya karena substansi Qanun Wali Nanggroe yang disusun
oleh DPRA yang dinilai tidak aspiratif dan tidak akomodatif, bahkan
terkesan eksklusif. Kita berharap kepada DPRA dan Gubenur Aceh agar
lebih bijaksana dalam memimpin Aceh, cakap dalam menyerap aspirasi
rakyat, tidak ego kelompok dan menentang kepentingan publik, jangan
melakukan makar terhadap mandat rakyat untuk kepentingan kelompok. Kita
tak inginkan Aceh terbelah gara-gara pemaksaan kursi untuk orang
tertentu.
Dalam tulisan terdahulu “Menggugat Wali Nanggroe”
penulis pernah mengusulkan agar qanun WN direferendumkan (Serambi,
4/9/2012). Maka, sudah seharusnya Pemerintah Aceh dan DPRA menggelar
referendum untuk qanun ini agar rakyat dapat memberikan persetujuan
secara demokratis sehingga Qanun WN menjadi pemersatu Aceh, bukan justru
menjadi pemecah belah Aceh. Lembaga WN adalah konstitusional dalam
kekhususan Aceh, tapi jangan dilaksanakan dengan cara yang
inkonstitusional. Jika tidak, maka jangan salahkan saudara-saudara kita
di dataran tinggi Gayo dan pantai Barat-Selatan menuntut pemisahan diri.
Semoga!
* Safaruddin, SH, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Banda Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com
No comments:
Post a Comment