Ulama Mekkah di Samalanga
Oleh M Adli Abdullah
Pada 17 Juni 2012 lalu, Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah, Desa Meunasah Subung, Samalanga, Kabupaten Bireuen, resmi berdiri kembali yang dipimpin oleh seorang ulama muda Aceh, Tgk Tarmizi HM Daud Al Yusufi. Dayah Meunasah Subung dalam catatan sejarah didirikan dulunya oleh seorang ulama Mekkah Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pada tahun 1703 M. Peresmian kembali dayah ini dilakukan oleh Tgk H Hasanul Basri, pimpinan dayah Mudi Mesra Samalanga, dan ditepung-tawari oleh Abu Kuta krueng.
Maka kali ini menarik untuk mengupas riwayat hidup Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi ini, yang berasal dari Mekkah dan menetap di Cot Meurak, Samalanga, Kabupaten Bireuen. Hingga sekarang, sosok ulama itu masih menyisakan bukti- bukti sejarah berupa peninggalan bekas pasantrennya dan tanah-tanah wakaf di Meunasah Subung, Samalanga, hingga di Mekkah almukarramah.
Kedatangan Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi (Tgk Syik Awe Geutah) ke Aceh pada masa Sultan Badrul Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726).
Sebelum tiba di Kerajaan Aceh, kedua intelektual muda ini belajar di Zabid, Yaman. Kemudian ke Mekkah pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji yang berasal dari Zabid, Yaman. Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji menjabat sebagai mufti di Mekkah menggantikan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili yang pulang ke Aceh pada tahun 1665 M.
Pengajian Syeikh Abdussalam dan Syeikh Abdurrahim pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah, Kabupaten Bireuen. Di sana terdapat sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam an-Nawawi tentang sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal). Informasi ini juga ada dalam silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip di Awe Geutah.
Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan, Syaik Al-Mizjaji seorang guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang Taj Al-‘Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah AlTaj Al-’Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin . Murthadha Az-Zabidi kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama terkemuka di sana. Azra mengakui bahwa Aceh sangat berperan dalam membawa gagasan pembaharuan Islam di Nusantara.
Di Awe Geutah terdapat sebuah surat yang berdasarkan verifikasi sejarawan Aceh ditulis oleh Syeikh Abdurahim kepada adiknya Syeikh Abdussalam (Tgk Cot Meurak). Dia meminta adiknya untuk membeli kitab ketika adiknya pulang ke Mekkah.
Di sini menunjukkan bahwa Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pernah kembali ke Mekkah setelah membangun Dayah Meunasah Subung, Samalanga.
Kedatangan Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syaikh ‘Abdurrahim Bawarith al-Asyi (anak Syaikh Jamaluddin al-Bawarith dari Zabid Yaman) dengan tujuh ulama lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi, atas instruksi dari Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dan Syeikh Ibrahim Kurani. Setelah Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili meninggal pada tahun 1695, maka teman teman Syeikh Abdurrauf di Mekkah mengirim muridnya ke Aceh agar ajaran-ajaran Syeikh Abdurrauf Al Fansuri tetap kekal dan berkembang di Aceh.
Sebagaimana diketahui bahwa Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, Syeikh Ibrahim Kurani, dan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili adalah murid dari Ahmad Qushashi, Ahmad Shinawi, dan ‘Abd Karim al-Kurani, yang mengembangkan tarekat Shattariyyah di Haramayn. Maka wajar sampai sekarang di kawasan Samalanga dan sekitarnya masih sangat berkembang tarekat Shattariyyah.
Dayah Subung Hancur
Perang Aceh melawan kolonial Belanda yang dimulai pada tanggal 26 Maret 1873 antara lain dipimpin oleh kalangan ulama yang langsung memimpin pertempuran. Dampak ulama bertempur yakni dayah-dayah menjadi telantar.
Salah satu benteng kuat pertahanan Aceh adalah Batee Iliek Samalanga. Belanda kewalahan mengalahkan benteng Batee Iliek, sampai pada tahun 1877 Jenderal Van Der Hijden terkena tembakan sehingga menyebabkan satu matanya buta.
Belanda membutuhkan 28 tahun (1873-1901) untuk mengalahkan benteng Batee Iliek yang jauhnya hanya 200 meter dari Dayah Meunasah Subung.
Ketika benteng Batee Iliek ditakluki oleh van Heutzh pada tahun 1901, dayah Meunasah Subung yang dipimpin oleh Syeikh Yahyauddin Bin Abdurrahim Bawarith, cicit Syeikh Abdussalam, turut dihancurkan. Seluruh manuskrip dan kitab-kitab pun terbakar.
Pada tahun 1930-an, Tgk H Abdullah yang pulang dari Mekkah berkeinginan menghidupkan kembali Dayah Meunasah Subung. Namun Belanda melarangnya dengan alasan akan bangkit kembali semangat anti-Belanda di Samalanga. Belanda mengawasi apa pun gerakan keagamaan di sana yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politiknya.
Sejak itu Dayah Meunasah Subung hanya tinggal nama, sedangkan warisan tanah wakaf dayah hingga ke Mekkah, yakni di kawasan Syammiyah. Namun sejak tahun 2008, tanah wakaf itu termasuk wilayah perluasan Masjidil Haram. Hingga kini proses ganti rugi tanah masih berlangsung di Mahkamah Syariah Mekkah.
Berdasarkan tanah-tanah wakaf yang membudaya di Aceh pada masa lalu hingga terbentang di Mekkah, kita bisa memahami mengapa Aceh disebut Serambi Mekkah. Di halaman Masjidil Haram terdapat berhektare-hektere tanah wakaf masyarakat Aceh, yang diwakafkan untuk dunia pendidikan seperti asrama sejak era Chik Pante Kulu.
Budaya wakaf tanah yang dulu sangat diminati oleh rakyat Aceh patut dilestarikan, karena itu bagian dari amal di dunia. Dengan menyumbang harta akan melimpah berkah hingga ke akhirat kelak, karena itu merupakan ajuran agama
* Penulis adalah pemerhati adat dan sejarah Aceh
Pada 17 Juni 2012 lalu, Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah, Desa Meunasah Subung, Samalanga, Kabupaten Bireuen, resmi berdiri kembali yang dipimpin oleh seorang ulama muda Aceh, Tgk Tarmizi HM Daud Al Yusufi. Dayah Meunasah Subung dalam catatan sejarah didirikan dulunya oleh seorang ulama Mekkah Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pada tahun 1703 M. Peresmian kembali dayah ini dilakukan oleh Tgk H Hasanul Basri, pimpinan dayah Mudi Mesra Samalanga, dan ditepung-tawari oleh Abu Kuta krueng.
Maka kali ini menarik untuk mengupas riwayat hidup Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi ini, yang berasal dari Mekkah dan menetap di Cot Meurak, Samalanga, Kabupaten Bireuen. Hingga sekarang, sosok ulama itu masih menyisakan bukti- bukti sejarah berupa peninggalan bekas pasantrennya dan tanah-tanah wakaf di Meunasah Subung, Samalanga, hingga di Mekkah almukarramah.
Kedatangan Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi (Tgk Syik Awe Geutah) ke Aceh pada masa Sultan Badrul Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726).
Sebelum tiba di Kerajaan Aceh, kedua intelektual muda ini belajar di Zabid, Yaman. Kemudian ke Mekkah pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji yang berasal dari Zabid, Yaman. Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji menjabat sebagai mufti di Mekkah menggantikan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili yang pulang ke Aceh pada tahun 1665 M.
Pengajian Syeikh Abdussalam dan Syeikh Abdurrahim pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah, Kabupaten Bireuen. Di sana terdapat sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam an-Nawawi tentang sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal). Informasi ini juga ada dalam silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip di Awe Geutah.
Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan, Syaik Al-Mizjaji seorang guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang Taj Al-‘Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah AlTaj Al-’Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin . Murthadha Az-Zabidi kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama terkemuka di sana. Azra mengakui bahwa Aceh sangat berperan dalam membawa gagasan pembaharuan Islam di Nusantara.
Di Awe Geutah terdapat sebuah surat yang berdasarkan verifikasi sejarawan Aceh ditulis oleh Syeikh Abdurahim kepada adiknya Syeikh Abdussalam (Tgk Cot Meurak). Dia meminta adiknya untuk membeli kitab ketika adiknya pulang ke Mekkah.
Di sini menunjukkan bahwa Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pernah kembali ke Mekkah setelah membangun Dayah Meunasah Subung, Samalanga.
Kedatangan Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syaikh ‘Abdurrahim Bawarith al-Asyi (anak Syaikh Jamaluddin al-Bawarith dari Zabid Yaman) dengan tujuh ulama lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi, atas instruksi dari Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dan Syeikh Ibrahim Kurani. Setelah Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili meninggal pada tahun 1695, maka teman teman Syeikh Abdurrauf di Mekkah mengirim muridnya ke Aceh agar ajaran-ajaran Syeikh Abdurrauf Al Fansuri tetap kekal dan berkembang di Aceh.
Sebagaimana diketahui bahwa Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, Syeikh Ibrahim Kurani, dan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili adalah murid dari Ahmad Qushashi, Ahmad Shinawi, dan ‘Abd Karim al-Kurani, yang mengembangkan tarekat Shattariyyah di Haramayn. Maka wajar sampai sekarang di kawasan Samalanga dan sekitarnya masih sangat berkembang tarekat Shattariyyah.
Dayah Subung Hancur
Perang Aceh melawan kolonial Belanda yang dimulai pada tanggal 26 Maret 1873 antara lain dipimpin oleh kalangan ulama yang langsung memimpin pertempuran. Dampak ulama bertempur yakni dayah-dayah menjadi telantar.
Salah satu benteng kuat pertahanan Aceh adalah Batee Iliek Samalanga. Belanda kewalahan mengalahkan benteng Batee Iliek, sampai pada tahun 1877 Jenderal Van Der Hijden terkena tembakan sehingga menyebabkan satu matanya buta.
Belanda membutuhkan 28 tahun (1873-1901) untuk mengalahkan benteng Batee Iliek yang jauhnya hanya 200 meter dari Dayah Meunasah Subung.
Ketika benteng Batee Iliek ditakluki oleh van Heutzh pada tahun 1901, dayah Meunasah Subung yang dipimpin oleh Syeikh Yahyauddin Bin Abdurrahim Bawarith, cicit Syeikh Abdussalam, turut dihancurkan. Seluruh manuskrip dan kitab-kitab pun terbakar.
Pada tahun 1930-an, Tgk H Abdullah yang pulang dari Mekkah berkeinginan menghidupkan kembali Dayah Meunasah Subung. Namun Belanda melarangnya dengan alasan akan bangkit kembali semangat anti-Belanda di Samalanga. Belanda mengawasi apa pun gerakan keagamaan di sana yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politiknya.
Sejak itu Dayah Meunasah Subung hanya tinggal nama, sedangkan warisan tanah wakaf dayah hingga ke Mekkah, yakni di kawasan Syammiyah. Namun sejak tahun 2008, tanah wakaf itu termasuk wilayah perluasan Masjidil Haram. Hingga kini proses ganti rugi tanah masih berlangsung di Mahkamah Syariah Mekkah.
Berdasarkan tanah-tanah wakaf yang membudaya di Aceh pada masa lalu hingga terbentang di Mekkah, kita bisa memahami mengapa Aceh disebut Serambi Mekkah. Di halaman Masjidil Haram terdapat berhektare-hektere tanah wakaf masyarakat Aceh, yang diwakafkan untuk dunia pendidikan seperti asrama sejak era Chik Pante Kulu.
Budaya wakaf tanah yang dulu sangat diminati oleh rakyat Aceh patut dilestarikan, karena itu bagian dari amal di dunia. Dengan menyumbang harta akan melimpah berkah hingga ke akhirat kelak, karena itu merupakan ajuran agama
* Penulis adalah pemerhati adat dan sejarah Aceh
Editor : bakri
No comments:
Post a Comment