Kondisi pertanian Aceh abad 16 dari kacamata penjelajah Eropa
Kamis, 23 Mei 2013 11:20 WIB
BOY NASHRUDDIN AGUS | Foto : Ilustrasi
ORANG Aceh dikenal angkuh dan enggan menjadi petani kendati alam Aceh begitu subur sehingga ribuan hektar tanah terbengkalai begitu saja. Setidaknya inilah yang dicatat oleh Beaulieu, seorang pelayar dari Prancis yang datang ke Aceh seperti yang ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda.
“Tanahnya baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada rerumputan yang bagus sekali, tempat merumput banyak kerbau yang dipakai mengolah (membajak) tanah, menarik bajak dan muatan,” kata Beaulieu.
Masih dalam catatan Denys Lombard, Beaulieu mengatakan di Aceh biri-biri (domba) tidak begitu cocok hidup di alam Aceh namun sangat bagus untuk sapi, kuda serta unggas. Pelaut-pelaut berjiwa petani yang datang dari Benua Eropa kesal melihat tanah itu tidak digarap. “Yang mereka tanam hanyalah padi… dan hanya sedikit sayuran…”
“They plowe the ground with baffles of which there are great plenties but with small skill and less diligence.”
Menurut penjelajah Eropa di abad ke 16, orang-orang Aceh kerap menyewa budak untuk mengurusi lahan mereka. Namun tidak semua orang Aceh yang malas. Ada sebagian petani yang menanam padi. Jumlahnya sangat sedikit dan hasil sawahnya hanya dimakan untuk sendiri dan lebih bergantung pada hewan piaraannya. Terutama ayam dan itik yang telurnya kerap dijual ke kota.
“Daerah ibu kotanya tak cukup pertaniannya untuk member makan kepada penduduknya sehingga sebagian besar berasnya datang dari luar,” ujar Beaulieu.
Sultan Aceh, kata Beaulieu, harus memikirkan dua hal yaitu impor beras ke pusat kota dan bagaimana caranya budak-budak kerajaan tetap menanam padi di daerah sekitarnya. Kedua hal ini menjadi kewajiban yang harus dipikirkan sultan guna stabilitas politik di dalam negeri. Jika dua hal tersebut tidak terkontrol dengan baik maka akan berdampak pada kemarau dan bencana kelaparan.
Bencana kelaparan ini pernah diderita masyarakat Aceh di masa Sultan ‘Ali Riayat Syah sekitar tahun 1605 seperti yang dinukilkan Nuruddin dalam Bustanussalatin. Bencana tersebut tidak berlaku di masa Sultan Iskandar Muda yang berhasil memberikan kemakmuran kepada rakyatnya.
Semua penjelajah Eropa sama-sama menegaskan bahwa beras di Aceh jarang dan mahal. Lancaster, penjelajah dari Inggris salah satunya yang datang ke Aceh pada tahun 1602. “Rice is brought from other places, it is a good merchandise and is sold by the bambue six or seven bambues for nine pence,” kata Lancaster seperti dikutip Denys Lombard.
Kekurangan pangan di ibu kota juga terjadi 20 tahun sesudah kedatangan Lancaster ke Aceh. Beaulieu mencatat bahwa beras saat itu didatangkan dari Pedir yang menjadi lumbung Aceh dan dari Daya sama sekali tidak mencukupi kebutuhan ibukota. Beras turut diimpor dari Semenanjung untuk kebutuhan pangan di ibu kota.
Penjelajah dari Eropa memanfaatkan situasi tersebut dengan membawa beras yang nilainya tinggi. Mereka juga turut membawa budak-budak dari Koromandel untuk menanam padi. Budak-budak yang dibawa Inggris dan Denmark tersebut kemudian memperkenalkan jenis pertanian kepada orang Aceh. Namun padi yang mereka tanam sesudahnya masih belum mencukupi kebutuhan ibukota serta terpaksa mengimpor dari luar negeri.[] sumber : Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda karangan Denys Lombard
No comments:
Post a Comment