Kakekku Sang Seniman Gayo
(Ibrahim Kadir)
*Catatan Ridho Nazila
ADALAH seorang seniman
Gayo dan seorang kakek yang luar biasa bagiku. Beliau lahir pada tahun
1942. Pada saat umur kakek masih belia, kira-kira sepuluh tahun. Beliau
telah membuat syair dan lagu didong pertamanya. Saat itu, karya kakek
belum terkenal di masyarakat Gayo. Tetapi sekitar 25-30 tahun kemudian,
masyarakat Gayo terkejut setelah mendengar ulang karya kakek yang
sebelumnya. Sehingga karya 25- 30 tahun yang lalu itu, menjadi sangat
populer di telinga masyarakat Gayo. Hal yang menarik lainnya dari
kakekku adalah sejak kecil hingga sekarang, beliau sangat hobi
memancing.
“Alam ini sangat dekat dengan kakek.
Kakek merasa tidak dapat dipisahkan dengan alam. Alam memberikan banyak
hal, seperti ketenangan jiwa, refleksi untuk dapat menciptakan
syair-syair yang kakek gali dari cerita rakyat Gayo dan terkadang pula,
kakek menciptakan puisi- puisi didong pada saat kakek memancing di Danau
Lut Tawar. Kakek terus saja menciptakan puisi-puisi. Bagi kakek, itu
sangatlah penting. Di samping hal-hal lain seperti berkebun ataupun
bersawah, kakek merasa terpanggil oleh gunung-gunung, burung-burung
karena keindahannya.” Suatu ketika, kakek bercerita padaku saat kami
sedang memancing di Danau Lut Tawar.
Hingga sekarang ini, kakek masih saja
menulis puisi. Walaupun sudah tak serajin dulu, sebab kesibukan beliau
yang mengurus masjid di kampung kami tepatnya di Kemili. Pernah suatu
ketika, saya bertanya pada kakek mengenai pendapatnya mengenai didong
sekarang ini dengan didong zaman beliau. Beliau menjawab dengan nada
kecewa bahwa didong sekarang ini, tidaklah sama seperti didong pada masa
beliau masih muda dulu. Jika sekarang ini kakek perhatikan, adab para
pedidong sudah berkurang. Di dalam menembangkan sebuah lagu didong itu,
sebenarnya haruslah memliki suatu ciri khas. Menembangkan didong, harus
ada ciri-ciri yang mengikutinya seperti Guk, Jangin, Denang, Sarik, dan Tuk.
Tanpa kelima unsur itu, didong yang akan ditembangkan akan salah di
mengerti. Misalnya didong yang seharusnya bernada sedih, akan terdengar
gembira kalau tidak ada kelima unsur tersebut. Dan menurut kakek, kelima
unsur inilah sekarang ini sudah sangat jarang terdengar ada digunakan
oleh pedidong.
Kakek banyak berbagi cerita
pengalamannya padaku, seperti pengalaman beliau lainnya pada masa
pemberontakan. Ketika beliau sedang berdidong, mengisi acara pernikahan
di sebuah kampung. Tiba-tiba terdengar suara tembakan, dari pemberontak
Pasukan Islam Merdeka. Saat itu, grup didong kakek dengan grup lawannya
sontak berlarian. Para penonton menjerit histeris dan semuanya menunduk.
Pengalaman itu, tidak akan pernah dilupakan kakek dan teman-teman kakek
yang merupakan seniman Gayo juga seperti Sali Gobal, Ceh Tujuh, Ceh
Semaun, Ceh Lakiki, Ceh Damha, Ceh Win Kul, Ceh Apit, M. Din, Abdul
Rauf, dan Ceh To’et. Selain berdidong dan penulis syair, kakek juga
piawai dalam hal lainnya seperti menari (Tari Guel), membuat lagu,
seperti lagu tingkis, batil, gere mukunah, emun beriring, bebalun berukir dan masih banyak lagi. Lagu-lagu kakek, sebagiannya lagi juga diaransement langsung oleh maestro Gayo Alm. Ar. Moese.
Kakekku adalah debar banggaku, selain kepiawaiannya dalam hal mencipta ternyata kakekku juga piawai dalam ber-acting. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatannya dalam sebuah film. Film yang kakekku pernah mainkan yaitu film Tjoet Nya Dien dan Puisi Tak Terkuburkan,
disutradarai oleh Garin Nugroho dan diperankan oleh berbagai artis
bintang film Indonesia salah satunya seperti Christine Hakim. Film kakek
lainnya ada juga Penyair dari Negeri Linge yang distutradarai oleh Aryo Danusiri.
Di film Puisi Tak Terkuburkan,
khusus menceritakan tentang pengalaman kakek yang di penjara pada
tanggal 12 Oktober 1965. Tanpa pengadilan karena dituduh sebagai
komunis. Saat di penjara, kakek pertama kalinya menyaksikan bagaimana
cara petugas di penjara tersebut membunuh para tahanan.
“Saya melihat para tahanan yang dipancung, hingga mayatnya bertimbun dan kemudian saya melihat, kaki mereka yang menggelepar.”
“Kupikir, kalau dia berpisah antara tubuh dengan kepala, sakit sekali rasanya. Kematian itu, memang semua. Kita mengalami mati, berpisah kepala dengan tubuh ini. Sedih rasanya, sedih, sedih sekali. Pada saat lahir, badannya utuh. Mulai dari kaki, sampai ke rambut. Diciptakan Tuhan lengkap, tapi kita menceraikannya. Ciptaan Tuhan itu! Heey, aku tidak suka dengan ciptaan ini katanya. Kemudian dia memotongnya..“
Salah satu kutipan dalam film tersebut. Kakekku juga menciptakan
puisi ketika beliau berada di dalam penjara. Salah satu puisinya
berbunyi:
Sudah renggaskah rumput di halaman?
Layukah sudah pucuk terinjak manusia?
Luruhkah sudah putik-putik bunga kembang di Telaga?
Akan tetapi film ini tidak selesai
dibuat, lantaran kakek yang sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan
syuting. Beliau tidak tahan, jika harus terus mengingat
kejadian-kejadian yang dialaminya selama di penjara. Namun di Film Puisi
Tak Terkuburkan ini, kakek telah berhasil mendapatkan penghargaan Silver Screen Award for Best Asian Actor pada festival Film Singapura (2001) dan kakek juga berhasil mendapat penghargaan The Best Actor dalam cinefan India (2001) serta penghargaan pemeran terbaik ke-2 dalam festival Film Jokarno,
Italia (2000). Itulah sekerat kisah, jalan hidup kakekku yang penuh
dengan inspirasi dan motivasi untukku. Mengajarkanku untuk terus
berkarya dan semoga bisa menjadi penerus untuk melestarikan budaya
Gayoku. (Editor: Ana)
*Ridho Nazila, siswa
kelas XI SMA N 4 Takengon dan perwakilan provinsi Aceh, mengikuti Gita
Bahana Nusantara di Istana Merdeka tahun 2012 lalu.
1 comment:
kakeknya hebta, pasti Anda sangat bangga ya
Post a Comment