Hukum adat di Indonesia
Dari
19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hukum
Adat mengenai tata negara
2. Hukum
Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3. Hukum
Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah
Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul “De Atjehers” menyebutkan istilah hukum adat sebagai
“adat recht” (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem
pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat
Indonesia.
Hukum adat di Indonesia
Dari
19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hukum
Adat mengenai tata negara
2. Hukum
Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3. Hukum
Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah
Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul “De Atjehers” menyebutkan istilah hukum adat sebagai
“adat recht” (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian
sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah
ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal
sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat
lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga
hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada
yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana
hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan
(gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.
Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat,
wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi
beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang
pakar Belanda,
Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.
Menurutnya daerah di Nusantara menurut
hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1. Aceh
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatra
Selatan
7. Enggano
8. Melayu
11. Sangihe-Talaud
12. Gorontalo
13. Toraja
15. Maluku Utara
17. Maluku
Tenggara
18. Papua
Penegak hukum adat
Penegak
hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum
Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
1. Agama :
Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan
Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan
Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2. Kerajaan
seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya
bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia,
ini memang sangat prinsipilkarena adat merupakan
salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan
identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang
terletak di daerah Maluku Tengah, ini
butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada
saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi
di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor
4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari
kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus
yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal 24 Juni 1999,
telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan
persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
2. Kriteria
dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Di
tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria
No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:
1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi
ahli waris.
2. Mengenai
kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana
cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing
ahli waris.
3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu
tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta
tersebut semua dapat diwariskan.
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis
sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sistem
Patrilineal,
2. Sistem
Matrilineal, dan
3. Sistem
Parental atau bilateral.
Ad.1. Sistem Patrilineal adalah sistem
kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini setiap
orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris.
Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram,
NTT dan lain-lain.
Ad.2. Sistem matrilineal adalah
sistem kekerabatan yang ditarik dari garis Pihak Ibu. Sehingga dalam hal
kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada garis Bapak.
Sistem kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor.
Ad.3. Sistem
parental/bilateral adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari
kedua belah pihak Bapak dan Ibu, sehingga kedudukan anak laki-laki dan
anak perempuan dalam hal mewaris adalah seimbang dan sama. Masyarakat yang
menganut sistem ini misalnya Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan
dan lain-lain.
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai
dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu
bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan
bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada
masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada
masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang
menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
Jika kita mengambil contoh Suku Jawa
yang hukum adat-nya bersistem parental, maka terhadap permasalahan
di atas, hal-hal yang menjadi catatan kita adalah:
a. Saudara
adalah anak kandung dari Suami Pertama.
b. Saudara
tidak tinggal bersama secara langsung.
c. Ibu
Saudara memiliki anak-anak lagi dari hasil perkawinannya yang sekarang sebanyak
6 orang.
d. Sehingga
jumlah keseluruhan anaknya adalah 7 orang, yang mana jumlah anak laki-laki
2 dan anak perempuan 5, serta meninggalkan seorang suami.
e. Warisan
Ibu berasal dari neneknya, artinya bukan berasal dari harta bersama dengan
suami kedua-nya, artinya harta tersebut adalah harta bawaan, yang akan
diwariskan kepada anak keturunannya.
Di dalam masyarakat Jawa, semua anak
mendapatkan hak mewaris, dengan pembagian yang sama, tetapi ada juga yang
menganut asas sepikul segendongan (Jawa Tengah), artinya anak laki-laki
mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian, hampir sama
dengan pembagian waris terhadap anak dalam Hukum Islam.
Pada dasarnya, yang menjadi
ahli waris adalah generasi berikutnya yang paling karib dengan Pewaris (ahli
waris utama) yaitu anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga (brayat) si
Pewaris. Terutama anak kandung. Sementara untuk anak yang tidak tinggal
bersama, tidak masuk ke dalam ahli waris utama. Tetapi ada juga masyarakat Jawa
(Jawa Tengah), yang mana anak angkat (yang telah tinggal dan
dirawat oleh orang tua angkatnya) mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya,
baik orang tua kandung atu angkat.
Jika anak-anak tidak ada, maka kepada
orang tua dan jika orang tua tidak ada baru saudara-saudara Pewaris.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan,
semoga berkenan dan bermanfaat.
PENGERTIAN HUKUM ADAT MENURUT PARA AHLI
Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli - Berikut ini informasi seputar pengertian hukum adat
menurut para ahli yang mungkin anda cari untuk keperluan pendidikan. Silahkan
dibaca pengertian
hukum adat menurut para ahli dibawah
ini.
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain :
~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.
~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.
Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.
Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2. Hukum kebiasaan.
Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain :
~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.
~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.
Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.
Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2. Hukum kebiasaan.
Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat
merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan, diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat. Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakt hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan, diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat. Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakt hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
1. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita
mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah :
1. Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut
kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan
gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan
lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak
ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan
manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan
khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung
adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau
perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan
peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus
yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan
dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus
Magis adalah :
ü bersifat kesatuan batin
ü ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
ü ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus
lainnya.
ü percaya adanya kekuatan gaib
ü pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
ü setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
ü percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti
terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain
sebagainya.
ü Percaya adanya kekuatan sakti
ü Adanya beberapa pantangan-pantangan.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa
kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan
yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia
adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama
lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan..
Secara singkat
arti dari Komunal adalah :
ü manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.
ü Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya
ü Hak subyektif berfungsi sosial
ü Kepentingan bersama lebih diutamakan
ü Bersifat gotong royong
ü Sopan santun dan sabar
ü Sangka baik
ü Saling hormat menghormati
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala
sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih
diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya
musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan :
Pemindahan atau
peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu
peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya
tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap
hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang
berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai
tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
2. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang
Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh
karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan
Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam
UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang
dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini
pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131
ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan
Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1. Hukum Eropa
2. Hukum Eropa yang telah diubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini
ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa
Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi
perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat
mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah
hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa
segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan
putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya
campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam
Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud
dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14
tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di
masyarakat.
Dari uraian di
atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum
adat di Indonesia adalah :
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi
dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman
4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber
hukum adat adalah :
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang
merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia
asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam
masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu,
yang memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan
oelh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum
adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
4. Pembidangan Hukum Adat
Mengenai
pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk
mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum
Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar,
dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui
pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat,
bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi.
Soepomo
Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Harr
didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan
pembidangnya sebagai berikut :
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah
tersangkut
5. Hukum Hutang piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10. Hukum Delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan
hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas,
cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo
Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik
Tidak jauh
berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam
bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan
pembidangan, sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
No comments:
Post a Comment