Siaga Bencana dalam Islam
Jumat, 23 Desember 2011 14:25 WIB
Oleh Abdillah Imron Nasution
INDONESIA yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun di sisi lain juga kaya akan sumber daya alam.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) didorong oleh kejadian gempa dan tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Kejadian ini telah mengawali proses pembahasan dan penetapan kebijakan yang dititikberatkan pada kegiatan pengurangan risiko bencana yang sampai saat ini sudah mulai dikembangkan dalam beberapa produk hukum turunan undang-undang dan kebijakan lainnya di tingkat pusat maupun di daerah secara ideal. Aceh telah membuka ruang pembelajaran bagi penanggulangan bencana Indonesia dan dunia internasional dengan ‘pengorbanan’ nyawa, harta, dan benda yang tidaklah kecil jumlahnya.
Hakikatnya, bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Pandangan ini memberikan arah bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh baik pada masa sebelum, pada saat terjadi dan setelah kejadian bencana. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah manajemen khusus untuk menanganinya. Saat ini, dalam pengelolaan manajemen bencana, telah terjadi beberapa pola pergeseran pandangan, yaitu dari bersifat memberi tanggapan menjadi bersifat pencegahan, dari urusan pemerintah menjadi partisipatif masyarakat, dari tanggung jawab beberapa sektor menjadi tanggung jawab berbagai sektor, serta, dari pola menangani dampak menjadi mengurangi risiko.
Pada dasarnya, pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) adalah sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) berbagai aktivitas pembangunan. Pengarusutamaan ini ditujukan untuk dapat meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan. Ini menjadi alasan kuat mengapa pengurangan risiko bencana tidak harus selalu dengan membuka sekolah atau program khusus mengenai bencana atau ilmu manajemen bencana. Sebagai arus utama, pengurangan risiko bencana sudah sepantasnya menjadi muatan yang harus diajarkan di semua bidang ilmu, sekolah, dan perguruan tinggi.
Islam dan Siaga Bencana
Dari tahapan penanggulangan bencana menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), proses penanggulangan bencana tidak selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan dan dilakukan secara berurutan. Seperti tahapan tanggap darurat yang pada dasarnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana atau dikenal dengan istilah siaga bencana ketika perkiraan bencana akan segera terjadi. Pada tahapan siaga ini terdapat dua kemungkinan yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi.
Dalam Alquran Surah Ali ‘Imran ayat 200 dikatakan bahwasanya orang yang beriman untuk selalu dalam keadaan siaga sebelum akan terjadinya suatu yang membahayakan, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” Lebih lanjut, dalam Surah Al An’aam ayat 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.”, Al Quran menganjurkan untuk sebuah daerah berpenduduk dan memiliki pemerintahan untuk memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.
Dalam konteks manajemen, kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan. Perencanaan merupakan fungsi-fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam rangkaian proses yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana, jadi perencanaan menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan.
Ayat 18 dari Surat Al-Hasyr dikenal sebagai konsep perencanaan. Ulama terkemuka seperti Imam Al Ghazali menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada manusia untuk memperbaiki, meningkatkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui proses kehidupan yang tidak boleh sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Imam Ghazali juga memberi penegasan pada kata perhatikanlah di mana manusia harus memperhatikan setiap perbuatan yang telah dikerjakan, serta mempersiapkan diri (merencanakan) untuk selalu berbuat yang terbaik demi hari esok.
Konsep perencanaan siaga dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 ini merupakan pokok pikiran yang sama dengan panduan penyusunan rencana kontinjensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tahun 2011. Ada lima aspek yang dapat dilihat dari kesamaan konsep perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, perencanaan harus melibatkan proses penetapan keadaan masa depan yang diinginkan (analisis dampak), kedua, keadaan masa depan yang diinginkan dibandingkan dengan kenyataan sekarang sehingga dapat dilihat kesenjangannya (analisis kesenjangan). Ketiga, untuk menutup kesenjangan perlu dilakukan usaha yang dapat dilakukan dengan berbagai ikhtiar dan alternatif (skenario kedaruratan). Keempat, perlu pemilihan alternatif yang baik, dalam hal ini mencakup efektifitas dan efisiensi (alokasi tugas dan sumber daya). Kelima, alternatif yang sudah dipilih hendaknya dirinci untuk dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan (sinkronisasi dan harmonisasi).
Hikmah Bencana
Beberapa desa di Aceh diketahui merupakan kawasan rawan bencana. Sebagai contoh adalah Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah yang terdiri dari beberapa tingkat kerawanan berdasarkan hasil kajian-kajian terhadap sejarah letusan yang pernah ada. Dengan kajian ini suatu kawasan dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana I, II, dan II yang diingatkan memiliki berbagai potensi dampak yang berbeda-beda berdasarkan ancamannya. Berdasarkan kajian ini, beberapa kampung yang termasuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana II misalnya, dinyatakan sebagai kampung-kampung yang terletak dalam radius 5 kilometer dari gunung tersebut berpotensi terlanda aliran hawa panas, lava dan lahar, hujan abu lebat, dan lontaran batu (Direktorat Geologi dan Vulkanologi Energi Sumber Daya Mineral, 2001).
Beberapa peringatan di masa kini yang dapat menjadi hikmah pembelajaran juga telah kita lihat dan kita dengarkan. Bencana alam yang memberi dampak terhadap penghidupan masyarakat begitu banyak diberitakan di berbagai media, baik media massa maupun elektronik. Hikmah pembelajaran terhadap bencana yang mengancam sangat erat kaitannya dengan peringatan yang meningkatkan kesiapsiagaan. Hal ini telah diingatkan di dalam Alquran, dalam Surah Asy Syu’ara’ ayat 26: “Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.”
* Penulis adalah Direktur Karst Aceh.
INDONESIA yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun di sisi lain juga kaya akan sumber daya alam.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) didorong oleh kejadian gempa dan tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Kejadian ini telah mengawali proses pembahasan dan penetapan kebijakan yang dititikberatkan pada kegiatan pengurangan risiko bencana yang sampai saat ini sudah mulai dikembangkan dalam beberapa produk hukum turunan undang-undang dan kebijakan lainnya di tingkat pusat maupun di daerah secara ideal. Aceh telah membuka ruang pembelajaran bagi penanggulangan bencana Indonesia dan dunia internasional dengan ‘pengorbanan’ nyawa, harta, dan benda yang tidaklah kecil jumlahnya.
Hakikatnya, bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Pandangan ini memberikan arah bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh baik pada masa sebelum, pada saat terjadi dan setelah kejadian bencana. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah manajemen khusus untuk menanganinya. Saat ini, dalam pengelolaan manajemen bencana, telah terjadi beberapa pola pergeseran pandangan, yaitu dari bersifat memberi tanggapan menjadi bersifat pencegahan, dari urusan pemerintah menjadi partisipatif masyarakat, dari tanggung jawab beberapa sektor menjadi tanggung jawab berbagai sektor, serta, dari pola menangani dampak menjadi mengurangi risiko.
Pada dasarnya, pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) adalah sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) berbagai aktivitas pembangunan. Pengarusutamaan ini ditujukan untuk dapat meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan. Ini menjadi alasan kuat mengapa pengurangan risiko bencana tidak harus selalu dengan membuka sekolah atau program khusus mengenai bencana atau ilmu manajemen bencana. Sebagai arus utama, pengurangan risiko bencana sudah sepantasnya menjadi muatan yang harus diajarkan di semua bidang ilmu, sekolah, dan perguruan tinggi.
Islam dan Siaga Bencana
Dari tahapan penanggulangan bencana menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), proses penanggulangan bencana tidak selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan dan dilakukan secara berurutan. Seperti tahapan tanggap darurat yang pada dasarnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana atau dikenal dengan istilah siaga bencana ketika perkiraan bencana akan segera terjadi. Pada tahapan siaga ini terdapat dua kemungkinan yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi.
Dalam Alquran Surah Ali ‘Imran ayat 200 dikatakan bahwasanya orang yang beriman untuk selalu dalam keadaan siaga sebelum akan terjadinya suatu yang membahayakan, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” Lebih lanjut, dalam Surah Al An’aam ayat 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.”, Al Quran menganjurkan untuk sebuah daerah berpenduduk dan memiliki pemerintahan untuk memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.
Dalam konteks manajemen, kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan. Perencanaan merupakan fungsi-fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam rangkaian proses yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana, jadi perencanaan menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan.
Ayat 18 dari Surat Al-Hasyr dikenal sebagai konsep perencanaan. Ulama terkemuka seperti Imam Al Ghazali menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada manusia untuk memperbaiki, meningkatkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui proses kehidupan yang tidak boleh sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Imam Ghazali juga memberi penegasan pada kata perhatikanlah di mana manusia harus memperhatikan setiap perbuatan yang telah dikerjakan, serta mempersiapkan diri (merencanakan) untuk selalu berbuat yang terbaik demi hari esok.
Konsep perencanaan siaga dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 ini merupakan pokok pikiran yang sama dengan panduan penyusunan rencana kontinjensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tahun 2011. Ada lima aspek yang dapat dilihat dari kesamaan konsep perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, perencanaan harus melibatkan proses penetapan keadaan masa depan yang diinginkan (analisis dampak), kedua, keadaan masa depan yang diinginkan dibandingkan dengan kenyataan sekarang sehingga dapat dilihat kesenjangannya (analisis kesenjangan). Ketiga, untuk menutup kesenjangan perlu dilakukan usaha yang dapat dilakukan dengan berbagai ikhtiar dan alternatif (skenario kedaruratan). Keempat, perlu pemilihan alternatif yang baik, dalam hal ini mencakup efektifitas dan efisiensi (alokasi tugas dan sumber daya). Kelima, alternatif yang sudah dipilih hendaknya dirinci untuk dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan (sinkronisasi dan harmonisasi).
Hikmah Bencana
Beberapa desa di Aceh diketahui merupakan kawasan rawan bencana. Sebagai contoh adalah Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah yang terdiri dari beberapa tingkat kerawanan berdasarkan hasil kajian-kajian terhadap sejarah letusan yang pernah ada. Dengan kajian ini suatu kawasan dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana I, II, dan II yang diingatkan memiliki berbagai potensi dampak yang berbeda-beda berdasarkan ancamannya. Berdasarkan kajian ini, beberapa kampung yang termasuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana II misalnya, dinyatakan sebagai kampung-kampung yang terletak dalam radius 5 kilometer dari gunung tersebut berpotensi terlanda aliran hawa panas, lava dan lahar, hujan abu lebat, dan lontaran batu (Direktorat Geologi dan Vulkanologi Energi Sumber Daya Mineral, 2001).
Beberapa peringatan di masa kini yang dapat menjadi hikmah pembelajaran juga telah kita lihat dan kita dengarkan. Bencana alam yang memberi dampak terhadap penghidupan masyarakat begitu banyak diberitakan di berbagai media, baik media massa maupun elektronik. Hikmah pembelajaran terhadap bencana yang mengancam sangat erat kaitannya dengan peringatan yang meningkatkan kesiapsiagaan. Hal ini telah diingatkan di dalam Alquran, dalam Surah Asy Syu’ara’ ayat 26: “Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.”
* Penulis adalah Direktur Karst Aceh.
No comments:
Post a Comment