Hikmah di Balik Musibah
April 25, 2012
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
Allah l memiliki hikmah yang indah. Di antaranya ada yang dipahami dan ada yang tidak dipahami oleh siapa pun selain-Nya. Tidaklah Allah l menamai diri-Nya dengan Hakim-Dzat Yang Mahabijaksana- melainkan karena semua takdir dan syariat-Nya penuh hikmah. Demikian samarnya maksud terjadinya musibah yang menimpa manusia hingga membutuhkan renungan yang lama dan pandangan yang saksama. Meskipun demikian, terkadang manusia tidak memahami apa yang terjadi. Kadang, ada yang memahami sebagian kecilnya, yang lain dimudahkan memahami sebagian besarnya.
Yang wajib, kita harus memahami bahwa Allah l memiliki banyak hikmah dalam pengaturan makhluk-Nya; tersamarkan dari pemahaman kebanyakan para ulama, lebih-lebih orang awam. Dia memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Manusia juga memiliki hikmah, namun sesuai dengan sedikitnya ilmu mereka.
Kaidah (memahami) hikmah-hikmah ini telah disebutkan oleh Allah l secara global. Namun, hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia, banyak yang dirahasiakan oleh-Nya l. Oleh karena itu, tampak oleh manusia satu hikmah, akan tetapi tersamarkan olehnya sekian banyak hikmah lain. Dalam hal ini, manusia sesuai dengan keyakinannya kepada Allah l dan kekuatan imannya terhadap nama-nama Allah l dan makna yang dikandungnya (di antaranya: al-Hakim, al-Lathif, al-Khabir, al-Qawi, al-‘Aziz, dan al-Jabbar). Barang siapa yang keyakinannya kepada Allah l disertai oleh ilmu dan pengetahuan terhadap nama-nama Allah l dan sifat-sifat-Nya, ia akan mampu memahami sesuatu yang tidak dipahami oleh orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ لِلهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah l memilki 99 nama. Barang siapa yang mengetahui, memahami, dan mengamalkan konsekuensinya, ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Hal lain yang perlu dipahami, beragam musibah dan bencana baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tidak, tidaklah terjadi melainkan karena perbuatan dosa. Namun, hikmah yang terjadi berbeda-beda. Pada satu musibah, Allah l memiliki kelembutan (keindahan) di satu sisi dan kehancuran di sisi lain. Pengaruhnya akan tampak bagi orang yang paham dan merenungkan keadaan. Secara umum, manusia lebih tahu tentang dirinya sendiri daripada orang lain. Kaidah ini telah dijelaskan Allah l di banyak tempat dalam kitab-Nya. Demikian pula, Rasulullah n telah menjelaskannya dalam sabdanya.
Allah l berfirman:
“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an-Nisa’: 79)
Rasulullah n bersabda dalam hadits Abu Hurairah z:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Terkadang, ada bencana dan musibah yang terjadi tanpa diketahui penyebab yang mengharuskan musibah itu terjadi. Misalnya, seseorang gelisah tanpa tahu asal-muasalnya karena kelalaian akibat kesalahan-kesalahannya. Oleh karena itu, Allah l berfirman menghikayatkan keadaan para sahabat setelah musibah terjadi pada Perang Uhud:
ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ
Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badr), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Ali ‘Imran: 165)
Jadi, segala bentuk musibah, meskipun sangat kecil, asalnya adalah dari hamba dan disebabkan oleh dosanya. Dari Aisyah x, Nabi n bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah l menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebuah kisah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Auf bin Abdillah. Ia berkata bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan (kalimat itu)?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah l berfirman tentang para sahabat Nabi n:
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha’ yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad n.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah l tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat, atau terkena musibah juga tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah lyang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Ketika tertimpa musibah, sebagian manusia merasa sangat terbebani, akhirnya marah dan tidak sabar sehingga diharamkan mendapatkan pahala. Oleh karena itu, pengaruh (dampak) musibah terhadap orang yang mampu bersabar lebih besar daripada orang yang marah/berkeluh kesah, meskipun musibah yang menimpanya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia kembali kepada Allah l. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas tentang surat as-Sajdah ayat 21:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).”
bahwa makna azab yang dekat adalah musibah.
Musibah yang menimpa manusia sendiri bermacam-macam. Ada yang tampak, ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, namun sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain. Allah l mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya. Dari Aisyah x, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا مِنَ الْعَمَلِ ابْتَلَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْحُزْنِ لِيُكَفِّرَهَا عَنْهُ
“Apabila telah banyak dosa seorang hamba, dan ia tidak memiliki amalan yang menjadi penghapusnya, Allah l mengujinya dengan kesedihan supaya dosanya terhapuskan.” (HR. Ahmad)
Kemampuan akal dan pemahaman manusia cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawinya. Akan tetapi, Allah l menanamkan kepadanya akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu sehingga ia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi dari suatu keumuman. Oleh karena itu, semakin banyak merenungkan hikmah ilahiah, ia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya tentang agungnya kelembutan Allah l.
Di antara hikmah dari musibah adalah:
1. Sebagai peringatan
Allah l berfirman:
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah t menerangkan, “Sesungguhnya Allah l menakuti manusia dengan tanda-tanda (bencana, petaka, pen.) apa pun yang Dia l kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah l, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa di masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup, terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan kepada manusia, seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertaubatlah!’.”
2. Hukuman
Firman Allah l:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di t berkata, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yaitu rusak dan berkurangnya mata pencaharian mereka dan terjadinya bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya. Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah l membalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah l merasakan (azab) kepada mereka disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Ia tidak membiarkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia).”
3. Penghapus dosa
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah l akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
4. Pahala yang mulia
Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah l memberikan kepadanya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)
Posted By. GAYO Nusantara
Allah l memiliki hikmah yang indah. Di antaranya ada yang dipahami dan ada yang tidak dipahami oleh siapa pun selain-Nya. Tidaklah Allah l menamai diri-Nya dengan Hakim-Dzat Yang Mahabijaksana- melainkan karena semua takdir dan syariat-Nya penuh hikmah. Demikian samarnya maksud terjadinya musibah yang menimpa manusia hingga membutuhkan renungan yang lama dan pandangan yang saksama. Meskipun demikian, terkadang manusia tidak memahami apa yang terjadi. Kadang, ada yang memahami sebagian kecilnya, yang lain dimudahkan memahami sebagian besarnya.
Yang wajib, kita harus memahami bahwa Allah l memiliki banyak hikmah dalam pengaturan makhluk-Nya; tersamarkan dari pemahaman kebanyakan para ulama, lebih-lebih orang awam. Dia memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Manusia juga memiliki hikmah, namun sesuai dengan sedikitnya ilmu mereka.
Kaidah (memahami) hikmah-hikmah ini telah disebutkan oleh Allah l secara global. Namun, hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia, banyak yang dirahasiakan oleh-Nya l. Oleh karena itu, tampak oleh manusia satu hikmah, akan tetapi tersamarkan olehnya sekian banyak hikmah lain. Dalam hal ini, manusia sesuai dengan keyakinannya kepada Allah l dan kekuatan imannya terhadap nama-nama Allah l dan makna yang dikandungnya (di antaranya: al-Hakim, al-Lathif, al-Khabir, al-Qawi, al-‘Aziz, dan al-Jabbar). Barang siapa yang keyakinannya kepada Allah l disertai oleh ilmu dan pengetahuan terhadap nama-nama Allah l dan sifat-sifat-Nya, ia akan mampu memahami sesuatu yang tidak dipahami oleh orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ لِلهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah l memilki 99 nama. Barang siapa yang mengetahui, memahami, dan mengamalkan konsekuensinya, ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Hal lain yang perlu dipahami, beragam musibah dan bencana baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tidak, tidaklah terjadi melainkan karena perbuatan dosa. Namun, hikmah yang terjadi berbeda-beda. Pada satu musibah, Allah l memiliki kelembutan (keindahan) di satu sisi dan kehancuran di sisi lain. Pengaruhnya akan tampak bagi orang yang paham dan merenungkan keadaan. Secara umum, manusia lebih tahu tentang dirinya sendiri daripada orang lain. Kaidah ini telah dijelaskan Allah l di banyak tempat dalam kitab-Nya. Demikian pula, Rasulullah n telah menjelaskannya dalam sabdanya.
Allah l berfirman:
“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an-Nisa’: 79)
Rasulullah n bersabda dalam hadits Abu Hurairah z:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Terkadang, ada bencana dan musibah yang terjadi tanpa diketahui penyebab yang mengharuskan musibah itu terjadi. Misalnya, seseorang gelisah tanpa tahu asal-muasalnya karena kelalaian akibat kesalahan-kesalahannya. Oleh karena itu, Allah l berfirman menghikayatkan keadaan para sahabat setelah musibah terjadi pada Perang Uhud:
ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ
Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badr), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Ali ‘Imran: 165)
Jadi, segala bentuk musibah, meskipun sangat kecil, asalnya adalah dari hamba dan disebabkan oleh dosanya. Dari Aisyah x, Nabi n bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah l menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebuah kisah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Auf bin Abdillah. Ia berkata bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan (kalimat itu)?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah l berfirman tentang para sahabat Nabi n:
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha’ yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad n.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah l tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat, atau terkena musibah juga tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah lyang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Ketika tertimpa musibah, sebagian manusia merasa sangat terbebani, akhirnya marah dan tidak sabar sehingga diharamkan mendapatkan pahala. Oleh karena itu, pengaruh (dampak) musibah terhadap orang yang mampu bersabar lebih besar daripada orang yang marah/berkeluh kesah, meskipun musibah yang menimpanya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia kembali kepada Allah l. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas tentang surat as-Sajdah ayat 21:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).”
bahwa makna azab yang dekat adalah musibah.
Musibah yang menimpa manusia sendiri bermacam-macam. Ada yang tampak, ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, namun sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain. Allah l mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya. Dari Aisyah x, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا مِنَ الْعَمَلِ ابْتَلَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْحُزْنِ لِيُكَفِّرَهَا عَنْهُ
“Apabila telah banyak dosa seorang hamba, dan ia tidak memiliki amalan yang menjadi penghapusnya, Allah l mengujinya dengan kesedihan supaya dosanya terhapuskan.” (HR. Ahmad)
Kemampuan akal dan pemahaman manusia cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawinya. Akan tetapi, Allah l menanamkan kepadanya akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu sehingga ia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi dari suatu keumuman. Oleh karena itu, semakin banyak merenungkan hikmah ilahiah, ia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya tentang agungnya kelembutan Allah l.
Di antara hikmah dari musibah adalah:
1. Sebagai peringatan
Allah l berfirman:
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah t menerangkan, “Sesungguhnya Allah l menakuti manusia dengan tanda-tanda (bencana, petaka, pen.) apa pun yang Dia l kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah l, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa di masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup, terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan kepada manusia, seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertaubatlah!’.”
2. Hukuman
Firman Allah l:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di t berkata, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yaitu rusak dan berkurangnya mata pencaharian mereka dan terjadinya bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya. Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah l membalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah l merasakan (azab) kepada mereka disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Ia tidak membiarkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia).”
3. Penghapus dosa
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah l akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
4. Pahala yang mulia
Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah l memberikan kepadanya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)
Posted By. GAYO Nusantara
No comments:
Post a Comment