Published On: Mon, Jul 29th, 2013
Sejarah Masjid Quba Bebesen Aceh Tengah
Akibat Gempa pada 2 Juli 2013 lalu, beberapa dinding masjid Quba mengalami retak. Berikut Sejarah Singkat Masjid Quba, Bebesen, Aceh Tengah, Sebagaimana yang ditulis dalam buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Jilid 1, 2009, dikeluarkan oleh Kemenag Aceh.
Sejarah Ringkas Masjid Quba – Bebesen
Bebesen adalah sebuah kejurun (wilayah) yang muncul setelah Kerajaan Aceh menetapkan empat kejurun di Gayo, yaitu Kejurun Bukit, Siah Utama, Linge dan Gayo Lues, (Snouck Hurgronje, 1996: 107). Diriwayatkan bahwa pihak Batak Karo 27 berperang melawan Kejurun Bukit. Pihak Batak Karo 27 memperoleh kemenangan, dan setelah perdamaian Kejurun Bukit terpaksa dipindahkan ke Kampung Kebayakan. Setelah Batak Karo 27 menguasai Bebesen, diangkatlah Lebe Kader (pemimpin pasukan Batak Karo 27) sebagai Raja Cik Bebesen. Raja Cik Bebesen tidak memperoleh pengukuhan resmi dari Sultan Aceh, tapi ia telah memerintah dengan tanpa halangan dari Sultan Aceh. (H. M. Gayo, 1983: 51).
Kini Bebesen merupakan Ibukota Kecamatan Bebesen yang terletak di sebelah Barat yang jaraknya lebih kurang 2.5 km dari ibukota Takengon. Sejak zaman Belanda sampai zaman Jepang (tahun 1904-1942), Bebesan merupakan ibukota negeri dari Zelfbestuurder van Cik yang meliputi wilayah Bebesan, Pegasing, Silih Nara dan Katal. Wilayah ini dipimpin oleh seorang Zelfbestuurder.
Pada masa permerintahan Jepang (1942-1945) pemerintahan di wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Sunco dari keturunan Zelfbastuurder van Cik. Di zaman kemerdekaan Republik Indonesia, nama wilayah ini dirubah menjadi Kenegerian Bebesen. Peme-rintahannya pada saat itu dipimpin oleh beberapa orang yang disebut Bestuur Comisi dengan seorang ketuanya.
Pembangunan Mesjid.
Sejak masuknya agama Islam ke Bebesen telah dibangun sebuah mesjid beratap ijuk, dinding papan dan lantai tanah liat. Lalu pada tahun 1917, bangunan masjid ini direnovasi menjadi masjid dengan tiang beton, atap seng, dan lantai semen.
Mengingat kondisi mesjid yang tidak dapat lagi menampung jamaah yang meliputi Kampung Bebesen, Daling, Tan Saran, Lalabu, Umang, Blang Kolak I, Blang Kolak II, Kemili dan Mongal, maka pada tahun 1947 dimulai pembangunan masjid baru secara swadaya masyarakat dengan ukuran 18 x 12 m. Bangunan masjid ini berkonstruksi semipermanen. Pembangunannya diprakarsai dan dikoordinir oleh Teungku M. Nur Thalib, Teungku Abdur-rahman, Teungku M. Saleh, dan Teungku Imam Aman Dolah. Mesjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1950 dan merupakan kebanggaan bagi masyarakat sekitar Bebesen. Masjid ini menjadi tempat ibadah pusat kegiatan masyarakat Bebesen dan sekitarnya (antara lain; Daling, Tan Saran, Lelabu, Umang, Blang Kolak I, Blang Kolak II, Kemili dan Mongal).
Masjid Dibakar Oknum PKI
Pada hari Rabu malam tanggal 20/21 Juli 1965, di tengah malam buta terdengarlah teriakan masyarakat yang panik karena melihat api menyala di bahagian mimbar masjid. Masyarakat dari beberapa kampung berdatangan menuju masjid untuk berusaha memadamkan api. Namun api terus berkobar walaupun pemadam kebakaran berusaha membantu masyarakat memadamkannya. Usaha tersebut tidak berhasil sehinggga dalam tempo 2.5 jam masjid tersebut musnah dilalap api.
Di kala api sedang menyala terdengar dari seorang penduduk yang mengungkapkan bahwa sumber api berasal dari wayer mikrofon yang tidak dilepaskan dari baterai. Akibatnya timbul api dan menjilat sajadah yang terletak dekat mikrofon. Api menyala mulai pukul 22.15 wib dan padam pukul 24.45 wib.
Masyarakat amat sedih bercampur geram melihat masjid yang telah runtuh dimakan api, menjadi puing-puing yang berserakan tak karuan. Sebahagian masyarakat terpaku dan tidak beranjak dari lokasi sampai siang hari. Pemerintah dan masyarakat berusaha menyelidiki sebab-sebab terjadinya kebakaran.
Petunjuk Tentang Sebab Kebakaran
Pada tanggal 21 Juli 1965 pukul 09.00 wib, Tripida kecamatan Bebesen bersama masyarakat membongkar puing-puing reruntuhan masjid untuk mencari spiker mikrofon yang mungkin ikut terbakar. Ternyaka spiker tersebut tidak ditemukan dalam reruntuhan. Lalu diambillah kesimpulan sementara, bahwa spiker telah dicuri orang, dan pencurinya diduga sebagai pelaku pembakaran.
Di samping penelitian yang dilakukan oleh pihak berwajib, masyarakat melakukan usaha pula dalam bentuk sembahyang hajat. Shalat ini diikuti oleh tidak kurang dari 1000 orang selama dua malam berturu-turut (Kamis dan Jumat tanggal 22 dan 23 Juli 1965). Mereka memohon kepada Allah swt. agar memberikan hukuman setimpal kepada orang yang telah melakukan pembakaran mesjid ini, dan agar memberikan kesabaran kepada masyarakat.
Masyarakat Bebesen dan sekitarnya sangat terikat hatinya dengan masjid ini, sehingga shalat Jumat tetap dilakukan di lokasi bekas reruntuhan masjid. Meskipun harus shalat di alam terbuka, namun masyarakat tetap tidak mau beralih ke masjid lain.
Masjid Baru
Sementara itu pada tanggal 23 Juli 1965 pukul 13.30 wib, atas permintaan asisten Wedana Kecamatan Bebesan, masyarakat Kecamatan Bebesan berkumpul di Meunasah Uken. Mereka ber-musyawarah untuk membentuk panitia pembangunaan masjid Bebesan yang baru. Dari musyawarah ini terbentuklah susunan panitia pembangunan masjid sebagai berikut:
Ketua I : Mansoer (Asisten Wedana)
Ketua II: Tgk. M. Nur A. Thalib
Sekretaris I: Amir Abdullah
Sekretaris II: Ismail
Bendahara; Tgk. H. Abdurrahmah
Pembantu-pembantu:
Para Keuchik dan Imum dalam Kecamatan Bebesan.
Panitia memutuskan untuk membangun mesjid dengan fisik permanen. Masyarakat bergotong-royong, bekerja dan memberi sumbangan yang tidak sedikit, karena terdorong oleh perasaan haru di samping juga sebagai wujud pengabdian kepada Allah swt., akhirnya usaha ini terlaksana. Para tokoh yang terlibat dalam pendirian masjid ini antara lain ialah; Teungku Bilel Ujung, Teungku Aman Bedu Melala, Teungku Umah Uken, Teungku H. Abdurrahman, Teungku M. Thaib Tan, Teungku Aman Raoh Melala dan Teungku Ibrahim Aman Muji.
Bapak Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (Brib. Nyak Adam Kamil), juga sempat melihat dari dekat keadaan masjid yang telah terbakar. Dan beliau juga menyampaikan pesan-pesan pembangunan masjid yang baru. Sementara di tengah kesibukan masyarakat membangun masjid yang baru, tersiarlah kabar bahwa PKI melakukan pemberontakan. Akibatnya kegiatan masyarakat membangun masjid agak terganggu.
Setelah gerakan penumpasan G. 30 S/PKI berakhir, panitia pembangunan masjid bersama masyarakat meningkatkan usaha pembanguna masjid. Lebih kurang selama 10 tahun berselang, bangunan induk masjid ini dapat dimanfaatkan, yaitu dalam tahun 1977. Pembangunan masjid baru ini menelan biaya sebesar Rp 150.000.000,- dan diberi nama mesjid Quba.
Oknum Pembakar Mesjid
Dalam proses penumpasan G.30 S/PKI, salah seorang anggota PKI yang tertangkap mengaku dan memberikan keterangan bahwa orang yang membakar Masjid Bebesen adalah anggota PKI. Pelaku pembakaran terdiri dari tujuh orang anggota kelompok. Ketujuh orang ini telah diamankan oleh masyarakat.
Sekarang ini masjid Quba telah dilengkapi dengan ruang kantor, perpustakaan dan ruang ganti untuk muazzin/khatib.Hal ini merupakan langkah yang diambil oleh generasi muda guna menjawab kebutuhan zaman. Demikianlah sejarah ringkas masjid Quba, semoga tulisan ini ada manfaatnya. (Asg/Kemenag/suaragayo.com).
No comments:
Post a Comment