“Sarik” dalam Guel, Sebuku, Didong dan Puisi “Mantra” yang Menghipnotis
HENTAKAN
Guel, pepongotan, Didong,dan Puisi yang diramu dalam “Sarik” tampil
memukau dan menghipnotis pengunjung “Gayo Bersilaturahmi” dan Pelantikan
pengurus Keluarga Negeri Antara (KNA) di Aula Utama Asrama Haji Banda
Aceh, Sabtu malam (4/12/2014).
Penampilan dua penari Guel Aga dan Sandi diawali dengan tepukan Didong dengan beat cepat, lalu kedua penari terdiam diatas panggung. Lalu disambut sebuku dan lagu “aman” vocal Misda seraya terdengar tabuhan gegedem, seorang penari mulai bergerak, dan satu lagi tetap diam membatu. sebuku kemudian berhenti dan kembali pukulan tepukan dan percusi berbeat cepat menggema.
Aga, si penari Guel masih belum bergerak, dan terus terbungkuk. Lalu, kala musik mulai pelan, terdengar puisi, tidak terlihat sosok pembacanya. Setelah melewati sebait puisi berjudul “Mantra Gayo” (Muasal), Wiratmadinata muncul lewat kerumunan penonton yang memadati Aula Utama Asrama Haji. Wira terus berjalan dan naik ke panggung, berputar-putar seraya membaca puisi.
Aga yang tampil menggunakan mulai bergerak dan seperti tidak menyadarkan diri. Habis gerakan “guel” dia praktekkan, melompat dan memutar opoh ulen-ulen lalu kembali lagi.
“Ini luar biasa. Pasti penarinya ikut kesurupan,” kata Agam, warga Lampriet yang hadir menyaksikan “Sarik”.
Seraya bergerak guel, Wira, penyair yang dikenal sebagai penyair nasional dan juara 1 puisi piala HB Yasin beberapa tahun lalu itu terus berteriak dengan syair “Kembalikan pada muaranya”.
“Puisi ini memang Mantra,” kata Wira selepas tampil kepada LintasGayo.co di Asrama Haji.
Garapan seni “Sarik” digagas bersama dan diharapkan akan menjadi sebuah garapan baru untuk kesenian Gayo. Aga sangat sepakat apabila penggabungan ini dapat menjadi solusi kebuntuan seni di tanoh Gayo. “Garapan ini serius, nanti akan terus disempurnakan,” Ujar Aga singkat.
Sarik ditutup puisi Pawan Uten karya Sofyan Griantara yang berbahasa Gayo. (tarina)
Penampilan dua penari Guel Aga dan Sandi diawali dengan tepukan Didong dengan beat cepat, lalu kedua penari terdiam diatas panggung. Lalu disambut sebuku dan lagu “aman” vocal Misda seraya terdengar tabuhan gegedem, seorang penari mulai bergerak, dan satu lagi tetap diam membatu. sebuku kemudian berhenti dan kembali pukulan tepukan dan percusi berbeat cepat menggema.
Aga, si penari Guel masih belum bergerak, dan terus terbungkuk. Lalu, kala musik mulai pelan, terdengar puisi, tidak terlihat sosok pembacanya. Setelah melewati sebait puisi berjudul “Mantra Gayo” (Muasal), Wiratmadinata muncul lewat kerumunan penonton yang memadati Aula Utama Asrama Haji. Wira terus berjalan dan naik ke panggung, berputar-putar seraya membaca puisi.
Aga yang tampil menggunakan mulai bergerak dan seperti tidak menyadarkan diri. Habis gerakan “guel” dia praktekkan, melompat dan memutar opoh ulen-ulen lalu kembali lagi.
“Ini luar biasa. Pasti penarinya ikut kesurupan,” kata Agam, warga Lampriet yang hadir menyaksikan “Sarik”.
Seraya bergerak guel, Wira, penyair yang dikenal sebagai penyair nasional dan juara 1 puisi piala HB Yasin beberapa tahun lalu itu terus berteriak dengan syair “Kembalikan pada muaranya”.
“Puisi ini memang Mantra,” kata Wira selepas tampil kepada LintasGayo.co di Asrama Haji.
Garapan seni “Sarik” digagas bersama dan diharapkan akan menjadi sebuah garapan baru untuk kesenian Gayo. Aga sangat sepakat apabila penggabungan ini dapat menjadi solusi kebuntuan seni di tanoh Gayo. “Garapan ini serius, nanti akan terus disempurnakan,” Ujar Aga singkat.
Sarik ditutup puisi Pawan Uten karya Sofyan Griantara yang berbahasa Gayo. (tarina)
No comments:
Post a Comment