Tilok Wan Opoh Kerong, Biang Pembantaian Salah Tangan di Gayo
Catatan Mustawalad*
SUATU hari di bulan Oktober 1965. Siang itu Ibrahim Kadir berdiri di depan para siswa Sekolah Dasar Arul Gele, Angkop, Aceh Tengah. Dia mengajar mata pelajaran seni musik. Dia mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Indonesia… tanah airku … Tanah tumpah darahku…”
Kadir guru yang sederhana. Di usia 20-an, ia sudah mengabdi sebagai guru. Tiap hari ia berangkat mengajar dengan bersandal jepit. Tahun itu, ekonomi Indonesia payah. Kondisi ini menjalar hingga ke daerah-daerah. Gaji dan kehidupan guru amat memperihatinkan. Sejumlah guru bahkan tidak menerima gaji. Berat bagi Kadir untuk sekedar membeli sepasang sepatu.
Selain sebagai guru, Kadir dikenal sebagai penyair oleh masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Dia lahir di desa Kemili, Takengon, tahun 1942. Karena kemampuan ini, dia sering diundang untuk membaca syair di acara-acara tertentu. Kadir juga pernah diundang membaca syair dalam acara yang diadakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh Tengah. Namun, dia lebih tertarik menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di kelas Kadir siang itu, lagu Indonesia Raya masih terdengar.
“Hiduplah… Indonesia Raya…”
Tak lama setelah bait terakhir ini, dari luar kelas seseorang mengetuk pintu. Semua murid diam. Mereka melihat lelaki di depan pintu kelas.
“Pak, keluar dulu!” perintah seorang lelaki di pintu.
“Anak-anak diliburkan saja. Bapak tak perlu ke rumah lagi!” sambung lelaki itu.
“Ke mana saya mau dibawa?” balas Kadir.
“Bapak harus ikut kami. Bapak tak perlu pamit karena kita harus pergi segera,” sahut lelaki itu. Di belakang pria ini ada 14 lelaki lain. Mereka adalah anggota-anggota Wajib Militer Darurat di bawah pimpinan seorang tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Tengah. Namanya Kapten Abdul Latief.
Kadir dibawa ke kantor polisi yang berada di Desa Angkop. Malam hari, dia dibawa ke kantor Kodim Aceh Tengah di ibukota Takengon. Di dalam sebuah ruangan, Kadir melihat banyak orang yang telah lebih dulu berada di situ. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa.
Dalam ruangan ini Kadir tidak lama. Dia segera dijebloskan ke sel tahanan di sebuah penjara di Takengon. Penjara ini terletak di dekat Bioskop Gentala. Sudah ada beberapa orang yang berada dalam sel itu. Kadir dimasukkan ke sel bernomor 25.
“Hari pertama saya masuk sel, saya bertemu dengan tiga orang yang telah duluan berada dalam sel tersebut mereka adalah guru Rama, guru Muhammad Daud Nosari dan satu orang lagi yang saya tidak ingat namanya,” kenang Kadir.
Kadir kenal baik ketiga guru itu. Rama adalah guru Sekolah Dasar Negeri 1 Takengon. Ada singkatan Thd setiap Rama menuliskan nama, Thd. Rama. Tapi Kadir tak pernah tahu apa kepanjangan Thd. Sedangkan Muhammad Nosari adalah guru penilik untuk Sekolah Dasar di Aceh Tengah. Kadir sering berjumpa dengan mereka dalam rapat-rapat guru.
“Mereka adalah atasan saya. Saya mendengar mereka adalah pimpinan PKI di Aceh Tengah,” ungkap kadir.
Di dalam sel, Kadir menyatakan rasa bingungnya kepada Rama dan Nosari.
“Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke dalam sel ini,” ujar Kadir kepada keduanya.
“Kami juga tidak tahu mengapa bisa masuk ke sel,” jawab Rama yang diiyakan Nosari.
Di luar ruang sel, warga yang ditahan dalam penjara itu terus bertambah. Suatu kali, Kadir sempat melihat dari sela-sela bilah papan yang renggang ada yang terjadi di sel sebelahnya, sel nomor 24. Sel ini ternyata berisi perempuan-perempuan. Kadir sempat mendengar tangisan bayi yang berasal dari sel tersebut.
Perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan di Jakarta marak terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebut saja aksi pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) di Padang dan Manado. Lalu ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergerak meredam perlawanan mereka. Salah satu strateginya adalah memberlakukan Wajib Militer. Di Aceh Tengah, pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro membentuk pasukan milisi yang diberi nama Wajib Militer Darurat atau yang juga dikenal dengan Wamilda atau WMD. Ini berlangsung antara tahun 1953 sampai 1962.
Keberadaan WMD ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor 66 Tahun 1958. Pasal 1 menyebutkan, “Militer-wajib ialah pewajib-militer yang terpilih dan dimasukkan dalam Angkatan Perang untuk melakukan dinas wajib- militer.”
Lalu pasal 36 undang-undang ini menjelaskan, “Dalam keadaan darurat atau keadaan perang dapat diadakan panggilan darurat terhadap semua militer-wajib untuk melakukan dinas wajib-militer dimulai dengan golongan penerimaan yang paling muda dan selanjutnya berturut-turut sesuai dengan urutan usia golongan penerimaan.”
Kemudian, Wajib Militer Darurat ini kembali dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 1960 tentang Penyaluran Wajib Militer Darurat ke dalam Wajib Militer. Pada pasal 1 ayat 1 peraturan ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan Militer Wajib Darurat dalam peraturan ini ialah mereka yang telah dipanggil dan diangkat sebagai Militer Wajib Darurat oleh yang berwajib berdasarkan Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat menurut ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya tahun 1957.”
Anggota milisi ini terdiri dari berbagai unsur masyarakat, termasuk dari partai seperti anggota PNI dan Pemuda Rakyat atau populer disebut PR yang memiliki kaitan secara politik dengan PKI. Tujuan pembentukan milisi ini untuk menumpas aksi pasukan DII/TII yang berada di Aceh Tengah.
Di Aceh, pasukan DI/TII dipimpin Teungku Mohammad Daud Bereu’euh. Dia adalah seorang ulama dan pernah memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada 21 September 1953, Bereu’euh menyatakan Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Di Aceh Tengah, pasukan DI/TII dipimpin Tengku Ilyas Leubeu.
Perlawanan Bereu’euh dihadapi presiden Soekarno dengan diplomasi. Beureu’euh setuju menyerah setelah Soekarno menjanjikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada Desember 1962, pasukan DI/TII turun gunung.
Setelah itu pecah peristiwa 1965. Kali ini PKI mendapat serangan balik dari bekas pasukan DI/TII. Sebagian menjadi algojo dalam pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis.
DI lapangan Musara Alun Takengon, Aceh Tengah, seorang tentara bernama Ishak Juarsa memimpin rapat terbuka. Lelaki ini asal Banda Aceh. Di situ Juarsa memberi pidato di hadapan massa yang terdiri anggota polisi, tentara, WMD, dan sejumlah warga. Bulan Oktober 1965 itu, dari Jakarta hingga Aceh, kebencian terhadap PKI memuncak.
“Kikis habis PKI sampai ke akar-akarnya! ” kata Juarsa dengan nada tinggi.
“Kalau dalam sebuah desa ada yang tidak melaporkan, maka desa itu akan dihancurkan!”
Pertemuan itu dilaksanakan pada hari kesepuluh Ibrahim Kadir mendekam di dalam sel tahanan. Dia mendengar kabar tentang pertemuan akbar itu dari orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.
Keesokan hari setelah pertemuan itu, orang-orang yang dituduh pemimpin atau anggota PKI dipanggil keluar dari sel. Pada malam hari penjaga tahanan memanggil satu per satu nama para tahanan.
“Guru Rama! Guru Daud…!”
Tapi, nama Kadir belum disebut-sebut.
“Kami mau dibawa kemana?” Kadir mendengar beberapa orang yang namanya dipanggil bertanya kepada penjaga.
“Kalian akan dipindahkan ke Banda Aceh!” bentak penjaga.
Mereka diangkut dengan truk.
Orang-orang dalam tahanan tidak pernah tahu apa yang terjadi di luar penjara sampai datang beberapa orang baru sebagai tahanan.
“Apa Guru Rama, Guru Daud, dan teman-temannya kemarin ditahan di sini?” tanya tahanan yang baru datang.
“Iya. Betul!” sahut Kadir.
“Mereka semuanya telah menjadi mayat di Gorelen,” balas si penghuni baru. Gorelen adalah nama daerah di pinggir jalan antara Takengon dan Bireuen.
Mendengar cerita itu semua tahanan terkejut. Kadir dan tahanan yang belum dipanggil, akhirnya sadar. Kalimat “ke Banda Aceh” adalah sandi untuk membawa para korban ke tempat eksekusi. Kadir dan tahanan lain mulai ketakutan. Tubuh Kadir menggigil. Dia takut di-Banda Aceh-kan.
Petugas akhirnya memanggil Kadir. Tapi petugas tidak mengajak Kadir pergi “ke Banda Aceh”. Dia juga tidak menjalani proses interogasi. Seperti juga yang lain, Kadir sama sekali tidak menjalani proses hukum lazimnya seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan. Kadir malah menjadi saksi mata dalam proses eksekusi itu sendiri.
MALAM itu sinar bulan menerangi dataran tinggi Gayo. Hawa dingin menusuk tulang. Di penjara Takengon, penjaga memanggil satu per satu nama dalam daftar tahanan. Mereka yang dipanggil dibawa ke ruangan tersendiri. Penjaga memerintahkan Kadir mengikat para tahanan. Tiap kepala tahanan ditutup karung goni, lalu diangkut ke atas truk Dodge. Kadir ikut bersama mereka. Truk berangkat “ke Banda Aceh”. Sebuah lokasi eksekusi yang sebelumnya hanya didengar Kadir.
Setelah sampai di lokasi, satu demi satu tahanan diturunkan dari truk. Tak jauh dari tempat truk berhenti, Kadir melihat beberapa orang yang berlagak layaknya penjagal. Calon korban dibawa ke dekat tebing kemudian ditembak atau dipancung, lalu dilempar ke jurang. Meski hanya diterangi sinar bulan, Kadir bisa melihat jelas kibasan pedang dan bunyi letusan senjata.
“Seperti sudah menjadi tugas rutin, tiap malam saya mengikat orang-orang yang akan dibunuh dan ikut bersama mereka dalam truk,” ujar Kadir, lirih.
Lebih dari sepuluh kali ia menyaksikan para tahanan yang akan dibantai dari jarak antara lima hingga 15 meter. Kadir dibawa ke tiga lokasi pembantaian yang berbeda: Bur Lintang, Totor Ilang dan Totor Besi.
Bur Lintang adalah nama sebuah tempat yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari arah Takengon menuju Blang Kejeren, Gayo Lues. Ini kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam. Kini sebagian kawasan itu menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan Totor Ilang merupakan sebuah jembatan yang terletak antara desa Simpang Balek dan Blang Mancung, sekitar 11 ke arah utara kota Takengon. Begitu pula Totor Besi. Ini jembatan yang terletak di desa Simpang Teritit jalan yang menghubungkan Takengon dan Bireuen.
Malam-malam selanjutnya kian mencekam. Deru mesin truk yang memasuki halaman penjara, menjadi teror yang mengerikan bagi para tahanan. Para tahanan, juga Kadir, sudah paham, kedatangan truk itu untuk menjemput salah satu atau beberapa orang dari mereka untuk berangkat “ke Banda Aceh”.
Beberapa malam sebelum Kadir dilepas, ia masih menjalankan perintah mengikat para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Saat itu giliran seorang perempuan yang membawa anak. Seorang anggota WMD meminta sang ibu agar memberikan bayinya. Sang ibu menolak.
Dor!
Bayi mungil itu tewas saat masih dalam pelukan sang ibu. Peluru menembus hingga ke dada sang ibu. Keduanya terjerembab ke tanah. Mayat keduanya kemudian dilempar ke jurang. Kadir tidak berdaya. Kedua telapak tangannya segera menutup wajahnya. Namun, semua tragedi itu terekam dalam ingatannya.
Peristiwa-peristiwa pembantaian itu dia catat dan dicurahkannya dalam syair. Salah satunya, syair yang berjudul Ratapan.
Bintang bulan cengang menjerit
Memandang tubuh yang terpaku
Ibarat patung tak berkutik
Risau rindu tak berulang
GELOMBANG anti PKI atau komunis menjalar hingga ke desa-desa di Takengon. Suasana kota kecil di dataran tinggi Gayo ini jadi sunyi dan mencekam. Lampu-lampu teplok menerangi rumah-rumah warga. Kesunyian pecah ketika deru truk membelah jalan utama. Deru mesinnya seperti membawa beban yang sangat berat.
Muhammad Iwan Gayo masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Takengon saat itu. Jarak sekolah dan rumahnya hanya 300 meter. Pada malam-malam itu, dia kerap duduk bersama sang ibu, Hajah Bona, di dalam rumah. Rumah mereka tak jauh dari jalan raya.
“Mereka membawa PKI untuk dibunuh,” bisik sang ibu ketika suara truk menjauh. Meski tidak ada orang lain di dalam rumah, sang ibu tetap berbisik-bisik seakan tak ingin ada seekor semut pun mendengar percakapan ibu dan anak itu.
Suatu kali, Iwan Gayo menjadi saksi pembunuhan seorang warga. Namanya Islah. Dia penjaga Masjid Raya Quba, kecamatan Bebesen. Islah adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, seorang ulama yang berpengaruh di tanah Gayo. Tapi Islah dituduh sebagai anggota PKI.
Menurut keterangan Teungku Muhammad Isa Umar, guru di Pendidikan Guru Atas Takengon, Islah bukan penjaga mesjid melainkan tinggal dekat masjid. Anggota polisi Aceh Tengah, kata dia, saat itu menangkap Islah. Dia dituduh telah membakar Masjid Quba Bebesen. Pembakaran terjadi dua bulan sebelum peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada malam hari 21 Juli 1965. Masjid itu memang terbakar, tapi warga menyangsikan Islah sebagai pelakunya. Tapi polisi menuding Islah biang keladinya. Umar kini menjadi ketua Pembangunan Masjid Raya Quba Bebesen.
“Kedua tangannya diikat ke belakang. Kedua jempolnya diikat dengan rambut perempuan,” kata Iwan, melanjutkan ceritanya.
Semula dia tidak tahu akan ada rencana eksekusi terhadap Islah. Dia baru tahu ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah. Dia mendengar pengumuman dari tentara. Isinya ajakan kepada warga agar datang beramai-ramai ke Masjid Quba sore itu. Karena akan ada rencana eksekusi terhadap orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
“Itu diumumkan secara terbuka,” ujar Iwan.
Namun eksekusi tidak jadi dilakukan di sore hari itu. Tentara membunuh Islah pada malam harinya. Mereka mengeksekusi Islah di antara Jalan Kebet ke arah Tan Saril, dekat kota Takengon. Keesokan paginya, bersama sejumlah penduduk desa, Iwan melihat sosok mayat Islah. Lehernya nyaris putus. Kepala Islah tertutup kain sarung. Ususnya terburai dimakan anjing. Saat itu banyak anjing-anjing liar yang kelaparan di kawasan itu.
Beberapa hari setelah eksekusi Islah, warga desa tempat Iwan tinggal kembali heboh. Saat itu warga menemukan sesosok mayat lagi. Iwan Gayo ikut melihat mayat itu. Jenazah itu dikenali sebagai penjual ikan asin yang berdagang di Pasar Takengon. Lelaki itu berasal dari desa Nosar, di pinggiran Danau Laut Tawar. Dia dieksekusi di antara jalan desa Asir Asir dan desa Uning Kirip. Kedua desa ini terletak di tepi sungai yang berhulu di Danau Laut Tawar.
Mayat ketiga adalah lelaki berpeci hitam. Kedua tangannya diikat ke belakang. Iwan mengenali mayat itu. Sebelum menjadi mayat, lelaki itu bersama-sama dengan Iwan dalam perjalanan dari Takengon menuju kecamatan Bintang. Mereka berada dalam satu kapal kayu bersama sejumlah lelaki lainnya. Saat itu, kapal kayu menjadi alat transportasi utama di Danau Laut Tawar.
“Saya ke Bintang dengan kakek. Di dalam kapal, di sebelah kiri juru mudi, duduk seorang laki-laki. Saya mendengar samar-samar dari penumpang di kapal tersebut bahwa dia itu PKI. Kedua tangannya diikat ke belakang,” kisah Iwan Gayo.
Lelaki itu terlihat pucat. Sang kakek menyuruh Iwan agar memberi rokok kepada lelaki itu. Dia kemudian mengambil tembakau dan daun nipah dari tempat rokok milik kakeknya. Setelah dilinting, Iwan segera menyorongkan rokok ke mulut lelaki yang tampak ketakutan itu. Lalu membakarnya.
“Pada saat turun, lelaki itu masih berjalan searah dengan kami dan ketika sampai di desa Cik, kecamatan Bintang kami berpisah. Besoknya saya mendengar lelaki tersebut sudah dibunuh di desa Pulo,” kata Iwan, dengan suara bergetar.
Inen Sur, perempuan asal kecamatan Bintang yang bekerja sebagai guru sekolah dasar, menyaksikan pembunuhan lelaki yang diberi rokok oleh Iwan Gayo. Menurut Inen Sur, pria itu berasal dari Blang Kejeren. Dia ditangkap di desa Weh Ni Pongas, kecamatan Bukit.
“Sebelum dibunuh, lelaki ini mengatakan, ‘Saya bukan PKI! Saya orang miskin! Ada orang yang menyuruh saya tandatangan surat dengan janji kalau saya menandatangani surat itu saya akan dapat tanah,” kata Inen Sur menirukan teriakan lelaki malang itu sebelum meregang nyawa.
AKSI pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dimulai setelah rapat yang dihadiri oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip) dengan Komandan Kodim Aceh Tengah, Mayor Sabur (belakangan Sabur dibunuh karena terbukti sebagai anggota PKI). Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Aceh Tengah yang bernama T. Abdullah. Kegiatan ini digelar di Lapangan Simpang Tiga Redelong.
Muhammad Saleh hadir mewakili satuan Hansip. Dia warga desa Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia orang Jawa. Istrinya dua, dua-duanya asli Gayo. Saleh tinggal di Pondok Gajah sejak masih belia. Kedua orangtuanya meninggal dan dimakamkan di desa ini.
Saleh pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat atau SR yang ada di Takengon. Saat itu, kebanyakan gurunya ikut dalam organisasi Muhammadiyah. Saleh belakangan juga menjadi pendukung dan pengikut setia organisasi keagamaan ini.
Ketika remaja, Saleh menjadi anggota Tentara Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya, Prajurit Satu. Dia menjalani dinas ketentaraan sejak 1959. Berkat kedisiplinannya, tiga tahun kemudian Saleh terpilih dalam unit pasukan yang dinamai Combat. Anggota unit ini merupakan serdadu pilihan yang berasal dari beberapa kompi yang ada di Aceh. Anggota pasukan ini dianggap paling siap dan memiliki kemampuan untuk diterjunkan dalam perang di Irian Barat. Pada tahun 1962, pemerintahan Soekarno tengah gencar melakukan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda.
Saleh dan anggota Combat lain di Aceh dilatih di Pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Setelah melakukan latihan dan dianggap siap diberangkatkan ke medan tempur, Letnan Manan sebagai kepala pelatih memerintahkan anggota pasukan ini untuk meminta restu orangtua sebagai salah satu syarat sebelum ikut dalam Operasi Mandala. Mereka diberi cuti pulang kampung. Saleh pulang ke Pondok Gajah.
Malang, kedua orangtua Saleh tak merestui niatnya ikut bertempur di pulau di ujung timur Indonesia itu. Setelah melaporkan kabar dari kampung, pemimpinnya memberi dua pilihan: tetap menjadi tentara meski tak dikirim ke Irian Barat atau berhenti sebagai prajurit. Saleh memilih yang terakhir. Latihan yang dia jalani di Seulawah sia-sia jika dia tak ikut berangkat. Tahun itu juga, Saleh memutuskan melepas semua atribut ketentaraan.
Saleh kembali ke Pondok Gajah. Dia memperoleh satu hektare kebun teh dari pemerintah sebagai imbalan. Namun pengalaman kemiliterannya masih terus dia gunakan. Di kecamatan Bandar, Saleh bergabung dalam Hansip. Pangkatnya, wakil komandan peleton. Sedangkan posisi komandan peleton dipegang Ajudan Thaleb. Dia mantan anggota pasukan DII/TII yang kemudian menjadi anggota TNI. Sedangkan di desa Pondok Gajah, Saleh adalah Komandan Hansip. Markasnya di Simpang Tiga Redelong, ibukota kabupatan Bener Meriah sekarang ini.
“Dalam rapat diputuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap anggota PKI. Penyelamatan di sini maksudnya pembunuhan terhadap anggota PKI,” Saleh mengungkapkan.
Pertemuan pagi itu memutuskan daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk pembersihan. Seperti desa Pondok Gajah, Pondok Baru, Sidodadi, Blang Jorong, Bakaran Batu, dan Blang Pulo. Di desa-desa ini mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Pada malam pertama desa yang akan dibersihkan dari PKI adalah desa Pondok Gajah. Hari kedua desa Pondok Baru. Ketiga desa Sidodadi dan Bakaran Batu. Berikutnya desa Blang Jorong. Desa Blang Pulo terakhir.
Namun korban pertama dari rangkaian pembantaian ini adalah keuchik atau kepala desa Jongok Simpang Tiga bernama Lonos. Desa itu hanya beberapa meter dari tempat pertemuan. Saleh ikut dalam kelompok ini. Selain keuchik, dua warga lainnya, Aman Kar dan Aman Samsiar juga dibunuh. Mereka dibunuh sekitar pukul 10 pagi, setelah rapat bubar.
Kelompok Saleh mendapat tugas membersihkan orang-orang PKI di Pondok Gajah. Siang sebelum pembantaian, Saleh mendatangi orang-orang yang telah ada dalam daftar. Saleh berpesan pada mereka untuk datang malam hari, setelah salat isya, ke desa Kota Makmur. Ini tetangga desa Pondok Gajah. Kepada orang-orang yang didatangi, Saleh berpesan agar mereka ikut melakukan operasi ke desa Samar Kilang.
Malamnya, beberapa orang yang dipanggil Saleh berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Mereka dipanggil satu-satu. Saat itu, Saleh menghitung, ada sekitar 10 orang. Mereka adalah warga desa Pondok Gajah. Salah satunya adalah Mispan, ketua PR di Pondok Gajah. Setelah dipanggil, tangan mereka segera diikat ke belakang. Masing-masing diikat saling berhubugan satu sama lain, seperti ikatan berantai.
Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ini dibawa ke sebuah lokasi yang bernama B5, salah satu lokasi perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa Pondok Gajah, Pondok Baru dan Sidodadi dan desa disekitarnya merupakan areal perkebunan teh. Lokasi B5 berada sekitar empat kilometer ke arah timur dari desa Pondok Gajah. Tepatnya di persimpangan jalan antara desa Teleden dan desa Tanjung Beringin. Di sini terdapat jurang. Di tempat inilah orang-orang yang dibawa Saleh dibantai. Kini kawasan itu telah menjadi areal perkebunan kopi.
Operasi tahap pertama selesai sekitar pukul satu dini hari. Setelah kembali dari tempat itu, Saleh dan beberapa orang lainnya, dibantu dengan petugas Hansip berangkat ke desa Pondok Gajah. Mereka menangkap sepuluh orang lagi yang dituduh sebagai anggota PKI.
Saat itu diperkirakan ada sekitar 20 orang yang terlibat anggota PKI di desa Pondok Gajah, mereka merupakan anggota PR atau Barisan Tani Indonesia (BTI)
Mereka berhasil menangkap 10 orang lagi, di antaranya Wakidi, Nasir, Sarimin, Perono, dan Paimin. Mereka dibantai di sebuah tempat bernama Kubangan Gajah, dekat desa Pondok Gajah. Kubangan ini berbentuk seperti kolam dangkal tapi melebar. Lokasi pembantaian ini sampai sekarang tetap dibiarkan seperti itu dan tidak ditanami apapun. Tempat ini berada di dekat pintu masuk ke Balai Penelitian Kopi Gayo di desa Pondok Gajah.
Pada tahun 1980-an, Saleh mengungkapkan, kerangka mayat orang-orang yang dibantai di bekas kubangan Gajah, Pondok Gajah, sudah dipindahkan ke pekuburan umum desa di perbatasan desa Pondok Gajah dan Pondok Baru. Kuburan ini dipisahkan dengan kuburan masyarakat yang lain. Tanpa ada tanda khusus dan dibiarkan ditumbuhi semak.
SAYA menemui Saleh di rumah bantuan yang dia tempati dengan istri keduanya. Rumah bantuan ini dibangun di atas tanah bekas rumahnya yang dibakar pada awal-awal konflik di Aceh, sekitar tahun 2000. Tembok dan lantai semen bekas rumahnya yang terbakar masih tersisa. Rumah ini tersambung dengan gudang kopi. Halamannya luas, digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Saleh adalah salah seorang tauke kopi yang cukup dikenal petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sebelum usahanya terbengkalai akibat konflik, dia bisa mengirim bertruk-truk kopi ke Medan. Kini usianya sudah hampir 70 tahun. Dia hanya sesekali pergi ke kebun kopi di belakang rumahnya.
“PKI pada saat itu, sama dengan pada masa jayanya Partai Golongan Karya (Golkar), mereka ada di mana-mana. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah,” kenang Saleh.
“Saat itu di (desa) Pondok Gajah ini, tinggal keluarga saya yang tidak masuk menjadi anggota PKI.”
“Apa alasan Bapak tidak jadi anggota PKI?” tanya saya
“Saya tidak masuk jadi anggota PKI karena pengaruh guru-guru saya sewaktu saya sekolah di Takengon. Rata-rata guru saya adalah Muhammadiyah. Dan dari bacaan saya sewaktu sekolah, saya masih ingat tentang pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Dan saya tidak masuk menjadi anggota PKI.”
Namun karena begitu kuatnya pengaruh PKI di desa, hampir seluruh warga jadi anggota PKI. Kecuali keluarga Saleh. Akibatnya, dia dan keluarganya dikucilkan dan tidak dibolehkan ikut kegiatan-kegiatan di desa. Pernah suatu kali Saleh nekat tetap mencoba ikut gotong-royong membuka jalan desa di Pondok Gajah. Dari rumah dia membawa cangkul dan berangkat naik sepeda. Di kanan-kiri jalan, Saleh melihat umbul-umbul merah bendera berlambang palu-arit. Tapi begitu tiba di lokasi, dia ditolak oleh anggota PKI. Saleh disuruh pulang.
“Mereka menyuruh saya untuk makan yang enak-enak. Biasanya kalau ada yang menyuruh kita makan yang enak-enak dan orang itu bermusuhan dengan kita, mereka mempunyai tujuan tertentu. Boleh jadi mereka akan membunuh. Ini seperti pesan, kamu mau mati dan selagi sempat, makanlah yang enak-enak,” terang Saleh.
Tidak hanya itu. Timan pernah diusir saat mendatangi calon istrinya di desa Sidodadi. Timan adalah abang kandung Saleh. Saat itu Saleh ikut mengantar Timan untuk melaksanakan akad nikah. Jarak dari Pondok Gajah ke Sidodadi sekitar empat kilometer. Desa itu salah satu basis PKI di Aceh Tengah. Tapi rombongan keluarga Saleh ditolak. Alasannya, keluarga Saleh bukan anggota PKI.
“Dengan segala upaya kami tetap berusaha. Tetapi tetap tidak diterima.”
Pernikahan tetap harus dilangsungkan. Saleh menghubungi Imam Mukim Kute Teras yang membawahi desa Sidodadi. Imam Mukim itu adalah ketua Muhammadiyah tingkat kecamatan. Setelah itu, dengan bantuan Imam Mukim, akad nikah Timan bisa dilangsungkan.
Permasalahan masih belum selesai. Ketika akan melaksanakan hajatan di rumah mempelai keluarga Saleh, sebagian besar warga desa Pondok Gajah tak mau membantu mereka. Hajatan baru bisa dilakukan setelah Saleh meminta bantuan teman-temannya dari satuan Hansip di kecamatan.
“PKI pada saat itu seperti Golkar pada masa jayanya. Semua tingkatan ada orang PKI. Di sekolah, unsur pemuda, petani dan dalam struktur pemerintahan, militer maupun Sipil,” ungkap Saleh.
Saat Golkar berjaya di bawah rezim Orde Baru, Saleh tidak pernah mendukung partai itu. Istri Saleh bekerja sebagai guru. Pada masa itu, korps guru menjadi mesin politik yang jadi lumbung suara bagi Golkar. Suami-istri itu wajib memilih partai itu. Tapi Saleh selalu berkelit. Menjelang Pemilihan Umum, Saleh terkadang harus sembunyi di gua-gua atau di kawasan Dedesen, di tepi Danau Laut Tawar. Dia cemas karena kerap mendapat ancaman dari aparat.
Dedesen adalah tempat penangkapan ikan Depik (Rasbora tawarensis), ikan yang banyak terdapat Danau Laut Tawar. Tempat ini banyak terdapat di tepi danau, biasanya dibangun di antara pertemuan air dari pegunungan dan air danau. Bentuknya persegi, dan dikelilingi papan. Luasnya antara empat hingga lima meter persegi. Bagian atasnya ditutupi dedaunan, bagian dasarnya adalah dasar danau. Tempat itu menjadi tempat ikan depik bertelur.
AWAL Februari 2008, saya mengunjungi rumah Iwan Gayo di desa Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Lelaki ini pernah bekerja sebagai wartawan. Dia juga pernah mendapat penghargaan Adinegoro, hadiah tertinggi dalam jurnalis yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1981.
Namanya melambung lewat sejumlah bukunya yang saya kenal saat duduk di bangku SMP Negeri Janarata Kecamatan Bandar. Iwan Gayo menulis Buku Pintar Seri Senior dan Buku Pintar Seri Junior. Buku-buku itu lumayan tebal. Isinya macam ensiklopedia. Sekarang dia menjadi kepala Hubungan Masyarakat Komite Percepatan Pembentukan Provinisi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA) yang berjuang untuk pembentukan Provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh.
Iwan menceritakan kepada saya tentang kondisi pada masa-sama kelam di Aceh Tengah. Tahun 1965 menjadi masa yang suram bagi penduduk di Aceh Tengah. Terutama guru-guru. Pendidikan bagi anak-anak sekolah jadi terabaikan. Iwan menyebut sejumlah gurunya yang hilang.
“Ibu Hamidah, Ibu Sambani, Pak Guru Rama, Pak Daud, dan Ibu Nurlaeli yang suaminya sopir truk,” ujar Iwan, mengenang.
Pak Guru Daud dan Pak Guru Rama sempat ditahan bersama Ibrahim Kadir dalam penjara di Takengon. Iwan Gayo belakangan tahu bahwa Guru Thd. Rama adalah Ketua PKI Aceh Tengah.
“Saya pernah melihat Pak Guru Daud di penjara Takengon,” katanya.
Dinding penjara itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk. Lubang-lubang besar di sana-sini. Di antara lubang-lubang itu Iwan Gayo mengintip kegiatan yang dilakukan para tahanan dalam penjara.
“Kebiasaan tahanan pada siang hari adalah berjemur di balik jendela yang berjeruji. Ada dua atau tiga orang yang berjemur secara bergantian,” kata Iwan.
Suatu kali, dia dilarang Pak Guru Daud mengintip-intip dari celah-celah dinding papan.
“Sana kamu, anak kecil!” Iwan menirukan ucapan Pak Guru Daud.
“Beberapa hari lagi kita akan menang!” kata Pak Guru Daud, lagi.
Iwan tak mengerti apa maksud Pak Guru Daud dengan kata-kata “kita akan menang”. Belakangan, dia hanya menebak-nebak, bahwa itu mungkin berhubungan dengan angkatan kelima PKI, yaitu petani dan nelayan yang dipersenjatai. Namun, Iwan merasa amat sedih. Dia jadi tidak bisa belajar. Apalagi ketika mengingat guru perempuan bernama Nurlaeli. Dia amat terpukul.
“Ibu Guru Nurlaeli saat itu baru melahirkan. Dia ditangkap, dibawa ke penjara dengan bayinya. Kemudian hilang, sampai sekarang tidak tahu kuburnya. Mungkin sudah dibunuh,” kata Iwan kepada saya.
Saya coba menghubungkan kesaksian Iwan ini dengan apa yang diungkapkan Ibrahim Kadir. Di antara malam-malam di mana Kadir ditahan dalam penjara, dia menyaksikan seorang perempuan dan bayinya yang tewas ditembak anggota WMD di bibir jurang. Barangkali, perempuan malang yang dimaksud Kadir adalah Ibu Guru Nurlaeli bersama bayinya yang dikenal Iwan.
IBRAHIM Kadir seakan kehilangan harapan ketika menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang yang sebelumnya ditahan di penjara itu. Saat itu, ketika dia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya, Kadir menemukan ide dan berharap untuk segera dibunuh.
Ketika itu dengan kondisi badan yang masih lelah karena baru pulang dari mengantar para tahanan yang dieksekusi, dia menuju jendela sel tahanan. Sambil memandang ke luar dan memegang jeruji besi jendela penjara dia memulai aksinya, menyanyikan syair yang diciptakannya dengan keras-keras.
“Saya berharap, yang paling terganggu adalah sipir penjara, dan mereka semua marah dan langsung menembak saya di tempat. Sehingga kalau saya mati, ibu, istri, anak serta keluarga saya yang lain akan tahu di mana mayat saya. Teman-teman satu sel yang belum dibunuh yang mendengar syair tersebut, semuanya menangis,” kenang Kadir.
Syair itu dilantunkan dalam bahasa Gayo. Terdiri dari 23 Bait dan 92 baris. Dia memberi judul syair tersebut Sebuku, kurang lebih berarti ratapan.
Tanpa dia sadari, saat itu ada seorang serdadu yang merekam ratapannya. Keesokan harinya dari Gedung Panggung Hiburan Rakyat Gentala yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kadir ditahan, dari pengeras suara yang digunakan, para tahanan mendengar sayup-sayup syair yang dibawakan Kadir pada malam sebelumnnya. Pada saat syair tersebut diperdengarkan, di tempat tersebut sedang berlangsung pertemuan tokoh-tokoh partai, tokoh-tokoh tersebut berasal dari PNI, Masyumi, PSII dan partai lainnya. Kecuali dari PKI.
“Bukankah itu syair yang kamu nyanyikan tadi malam?” tanya teman satu selnya waktu itu. Dan Kadir mengiyakan.
Belakangan syair itu malah menyelamatkan Kadir dari eksekusi. Dalam pertemuan tokoh-tokoh partai tersebut, ada yang tertarik dengan syair itu. Dan menanyakan siapa yang melantunkannya. Setelah ditelusuri, si penanya mendapat jawaban: Ibrahim Kadir. Beberapa tokoh PNI dalam pertemuan tersebut kontan marah. Mereka mengatakan bahwa Kadir bukan anggota PKI, melainkan anggota PNI.
“Saya tidak ada hubungannya dengan PKI dan memang benar saya anggota PNI,” kisah Kadir kepada saya.
Selang beberapa hari dari kejadian tersebut, Kadir dipanggil ke kantor Kodim Aceh Tengah. Dia dimasukkan ke sebuah ruangan. Di situ ada meja panjang yang ditutupi taplak meja hijau. Di belakangnya, di atas kursi duduk bersisian Kepala Kejaksaan Takengon, Bupati Aceh Tengah Aman Sani, Komandan Kodim, dan dua orang hakim. Mereka mengatakan, “Maaf, guru tidak bersalah.”
“Saya marah sekali,” ujar Kadir.
“Hampir saja saya tumbuk mereka. Saya tanya mengapa mereka tidak menanyakan itu pada awal-awal penangkapan saya. Mereka hanya minta maaf, dan mereka mengatakan mendapat informasi yang salah, kemudian saya dibebaskan,” tambahnya
Tahun 2000, syair-syair Sebuku yang menyelamatkan Kadir menjadi ide cerita film Puisi Tak Terkuburkan. Film itu digarap sutradara Garin Nugroho. Di situ, Kadir berperan sebagai pemeran utama. Tahun 2001, Kadir meraih penghargaan sebagai pemeran pria terbaik dalam Festival Film Internasional Singapore. Lewat film itu, masa kelam di dataran Gayo pelan-pelan diketahui orang banyak.
ULF Sundhaussen menulis tragedi kemanusiaan di Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967. Di situ dia mengatakan, “Salah satu daerah yang paling awal melakukan pembantaian terhadap anggota PKI adalah Aceh.”
Korban yang ditimbulkan oleh operasi ini sangat besar. Guru-guru dan orang pandai yang seharusnya bisa memajukan pendidikan untuk anak-anak Gayo dibantai dan jumlah korban diperkirakan mencapai 2500. orang. Sementara jumlah penduduk Aceh Tengah pada saat itu hanya 25.000 orang.
Banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya dapat dari informasi yang tidak jelas. Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah. Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban. Seperti urusan batas tanah, warisan dan urusan pribadi lainnya.
Tak ada verifikasi, dengan hanya mendapatkan informasi dari seseorang, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai. Banyak kasus seperti ini ditemukan, tak ada tempat untuk pembelaan bagi para korban. Untuk menggambarkan banyaknya korban akibat fitnahan seperti ini muncul istilah “tilok wan opoh kerong”. Artinya kurang lebih “menunjuk dari balik kain sarung”. Suatu tindakan yang menggambarkan seseorang yang melakukan fitnah untuk berbagai tujuan yang menyebabkan dibunuhnya orang yang dimaksud.
Yang banyak menjadi korban pada masa itu, selain masyarakat sipil dan kepala, adalah guru. Tidak jelas mengapa banyak guru yang menjadi korban. Entah karena pemimpin PKI di Aceh Tengah, Thd. Rama, adalah guru sehingga menyebabkan guru banyak dilibatkan, atau entah karena sebab lain. Ataukah memang para guru ini tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non-Vaksentral yang berafiliasi kepada PKI.
Menurut Daud Beuramat, guru sekolah dasar pada tahun 1965 dan kini telah pensiun, saat itu banyak guru di Aceh Tengah yang tidak mengenal PGRI non-Vaksentral. Tapi mengetahui PGRI hanya berdasarkan nama pemimpinnya, seperti PGRI Subandrio dan PGRI M.E. Subiadinata.
“PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandrio. Non Vaksentral artinya tidak tergabung dalam suatu wadah atau federasi,” kata Daud kepada saya.
Sedangkan Saleh menceritakan, ketika akan dibantai banyak sekali korban yang mengaku tak tahu apa itu PKI. Korban, kata dia, umumnya menganggap PKI adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Isaq adalah nama suatu tempat di kabupaten Aceh Tengah yang letaknya di jalan menuju Aceh Tenggara. Atau karena hanya menandatangani sesuatu yang isinya tidak diketahui oleh korban, karena korban kebanyakan buta huruf.
“Jadi korban dibodoh-bodohi dan ditipu,” kata dia.
Untuk menggambarkan masyarakat yang ditipu, dituduh terlibat PKI, lalu dibantai, orang Gayo selalu mengingatkan temannya dengan mengatakan, “Enti sembarang teken, kahe kona geleh!” Artinya jangan sembarang tanda tangan, nanti kena potong!
Ada lagi satu istilah yang berasal akibat maraknya pembantaian yang terjadi pada saat itu. Jika seseorang melihat sekelompok orang naik di atas truk terbuka, maka kata-kata yang muncul dari orang yang melihat adalah “Oya male i geleh!” sambil menggerakan tangan di leher seperti isyarat mau memotong. Kalimat itu artinya, hayo kamu mau dibunuh! Kata-kata itu masih sering diucapkan sampai sekarang jika melihat orang berada di atas truk, walaupun hanya bermaksud untuk gurauan. Trauma itu ternyata belum hilang.
Orang-orang tua yang mengalami masa tahun 1965 sering mengatakan, situasi saat itu lebih kejam ketimbang konflik tahun 2000. Tidak ada bunyi letusan senjata, tetapi mayat ada di mana-mana.
“Situasi pada saat itu lebih mengerikan dari konflik yang terjadi akibat pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” ujar Saleh.
Siklus kekerasan berulang, pada penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Beberapa anak-anak korban pembantaian tahun 1965 menjadi Tenaga Pembantu Operasi (TPO) TNI di Aceh Tengah. Saat konflik senjata makin meningkat di tahun 2000 sampai 2004, TNI kembali membentuk milisi-milisi pendukung operasi militer di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Anggota-anggota milisi ini banyak berasal dari desa Pondok Gajah, Pondok Kresek, Pondok Sayur, Sidodadi dan Blang Pulo. Desa-desa yang disebutkan tersebut dulunya merupakan daerah yang paling banyak penduduknya dibantai karena dituduh terlibat PKI. Dan anggota-anggota GAM sebagai lawan TNI/Polri di Aceh Tengah dan Bener Meriah banyak yang mempunyai hubungan dengan mantan anggota DI/TII. Hubungan itu seperti hubungan kekerabatan langsung dari orang tua atau kakek yang menjadi anggota DII/TII.
Saleh melihat sendiri unsur balas dendam oleh anggota DI/TII yang menjadi algojo dan bergabung dalam kelompoknya ketika melakukan pembersihan terhadap anggota PKI. Lelaki itu bernama Aman Budi. Saat hendak mengeksekusi, sambil mengayunkan pedang ke leher korban, ia mengatakan, “Mampus kau! Dulu ketika kami di hutan, kami sangat menderita karena perbuatan kamu.”
Pembersihan terhadap anggota PKI di Aceh Tengah, menurut Saleh, berlangsung dalam waktu enam sampai 10 hari. Setelah itu aparat TNI melarang segala penangkapan dan pembunuhan.
“Jika tidak ada perintah bahwa operasi harus diberhentikan, bakal habis keluarga yang dituduh sebagai anggota PKI,” ungkap Saleh.
Sementara keluarga korban yang dituduh PKI, selain menderita trauma juga merasa malu karena mendapat hukuman sosial dikucilkan dan dianggap orang anti Tuhan. Tidak percaya pada Tuhan merupakan dosa yang sangat besar bagi orang Gayo yang beragama Islam. Selain itu, keluarga-keluarga ini tidak bisa menjadi pegawai negeri dan meminta bantuan kredit ke bank.
Namun Iwan Gayo menyaksikan hal yang sebaliknya. Mereka yang dibunuh umumnya justru orang-orang yang saleh.
“Siapa bilang mereka tidak sembahyang? Semua guru dan orang-orang yang saya kenal dan dibunuh karena dituduh punya hubungan dengan PKI adalah orang yang taat beragama, mereka sembahyang,” tukasnya.
Meski begitu, pada masa merebaknya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia, orang Gayo lebih memilih untuk dikatakan PKI dari pada dikatakan GAM. Sebab, saat itu mengaku PKI tidak berakibat hilangnnya nyawa. Tapi jika dituduh GAM bisa-bisa nyawa melayang.
Konflik yang berakibat hilangnya kemerdekaan individu, rasa aman, nyawa dan harta, telah menumbuhkan suatu keinginan yamg kuat dari penduduk Gayo untuk hidup damai. Tapi mereka juga ingin pelaku kejahatan kemanusiaan itu dihukum. Kata-kata bijak Gayo mengatakan, ”Agih si belem, genap si nge munge.” Artinya Sudah cukup, jangan terulang lagi!
-
*) Mustawalad adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh. Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Pantau.
SUATU hari di bulan Oktober 1965. Siang itu Ibrahim Kadir berdiri di depan para siswa Sekolah Dasar Arul Gele, Angkop, Aceh Tengah. Dia mengajar mata pelajaran seni musik. Dia mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Indonesia… tanah airku … Tanah tumpah darahku…”
Kadir guru yang sederhana. Di usia 20-an, ia sudah mengabdi sebagai guru. Tiap hari ia berangkat mengajar dengan bersandal jepit. Tahun itu, ekonomi Indonesia payah. Kondisi ini menjalar hingga ke daerah-daerah. Gaji dan kehidupan guru amat memperihatinkan. Sejumlah guru bahkan tidak menerima gaji. Berat bagi Kadir untuk sekedar membeli sepasang sepatu.
Selain sebagai guru, Kadir dikenal sebagai penyair oleh masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Dia lahir di desa Kemili, Takengon, tahun 1942. Karena kemampuan ini, dia sering diundang untuk membaca syair di acara-acara tertentu. Kadir juga pernah diundang membaca syair dalam acara yang diadakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh Tengah. Namun, dia lebih tertarik menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di kelas Kadir siang itu, lagu Indonesia Raya masih terdengar.
“Hiduplah… Indonesia Raya…”
Tak lama setelah bait terakhir ini, dari luar kelas seseorang mengetuk pintu. Semua murid diam. Mereka melihat lelaki di depan pintu kelas.
“Pak, keluar dulu!” perintah seorang lelaki di pintu.
“Anak-anak diliburkan saja. Bapak tak perlu ke rumah lagi!” sambung lelaki itu.
“Ke mana saya mau dibawa?” balas Kadir.
“Bapak harus ikut kami. Bapak tak perlu pamit karena kita harus pergi segera,” sahut lelaki itu. Di belakang pria ini ada 14 lelaki lain. Mereka adalah anggota-anggota Wajib Militer Darurat di bawah pimpinan seorang tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Tengah. Namanya Kapten Abdul Latief.
Kadir dibawa ke kantor polisi yang berada di Desa Angkop. Malam hari, dia dibawa ke kantor Kodim Aceh Tengah di ibukota Takengon. Di dalam sebuah ruangan, Kadir melihat banyak orang yang telah lebih dulu berada di situ. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa.
Dalam ruangan ini Kadir tidak lama. Dia segera dijebloskan ke sel tahanan di sebuah penjara di Takengon. Penjara ini terletak di dekat Bioskop Gentala. Sudah ada beberapa orang yang berada dalam sel itu. Kadir dimasukkan ke sel bernomor 25.
“Hari pertama saya masuk sel, saya bertemu dengan tiga orang yang telah duluan berada dalam sel tersebut mereka adalah guru Rama, guru Muhammad Daud Nosari dan satu orang lagi yang saya tidak ingat namanya,” kenang Kadir.
Kadir kenal baik ketiga guru itu. Rama adalah guru Sekolah Dasar Negeri 1 Takengon. Ada singkatan Thd setiap Rama menuliskan nama, Thd. Rama. Tapi Kadir tak pernah tahu apa kepanjangan Thd. Sedangkan Muhammad Nosari adalah guru penilik untuk Sekolah Dasar di Aceh Tengah. Kadir sering berjumpa dengan mereka dalam rapat-rapat guru.
“Mereka adalah atasan saya. Saya mendengar mereka adalah pimpinan PKI di Aceh Tengah,” ungkap kadir.
Di dalam sel, Kadir menyatakan rasa bingungnya kepada Rama dan Nosari.
“Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke dalam sel ini,” ujar Kadir kepada keduanya.
“Kami juga tidak tahu mengapa bisa masuk ke sel,” jawab Rama yang diiyakan Nosari.
Di luar ruang sel, warga yang ditahan dalam penjara itu terus bertambah. Suatu kali, Kadir sempat melihat dari sela-sela bilah papan yang renggang ada yang terjadi di sel sebelahnya, sel nomor 24. Sel ini ternyata berisi perempuan-perempuan. Kadir sempat mendengar tangisan bayi yang berasal dari sel tersebut.
Perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan di Jakarta marak terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebut saja aksi pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) di Padang dan Manado. Lalu ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergerak meredam perlawanan mereka. Salah satu strateginya adalah memberlakukan Wajib Militer. Di Aceh Tengah, pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro membentuk pasukan milisi yang diberi nama Wajib Militer Darurat atau yang juga dikenal dengan Wamilda atau WMD. Ini berlangsung antara tahun 1953 sampai 1962.
Keberadaan WMD ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor 66 Tahun 1958. Pasal 1 menyebutkan, “Militer-wajib ialah pewajib-militer yang terpilih dan dimasukkan dalam Angkatan Perang untuk melakukan dinas wajib- militer.”
Lalu pasal 36 undang-undang ini menjelaskan, “Dalam keadaan darurat atau keadaan perang dapat diadakan panggilan darurat terhadap semua militer-wajib untuk melakukan dinas wajib-militer dimulai dengan golongan penerimaan yang paling muda dan selanjutnya berturut-turut sesuai dengan urutan usia golongan penerimaan.”
Kemudian, Wajib Militer Darurat ini kembali dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 1960 tentang Penyaluran Wajib Militer Darurat ke dalam Wajib Militer. Pada pasal 1 ayat 1 peraturan ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan Militer Wajib Darurat dalam peraturan ini ialah mereka yang telah dipanggil dan diangkat sebagai Militer Wajib Darurat oleh yang berwajib berdasarkan Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat menurut ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya tahun 1957.”
Anggota milisi ini terdiri dari berbagai unsur masyarakat, termasuk dari partai seperti anggota PNI dan Pemuda Rakyat atau populer disebut PR yang memiliki kaitan secara politik dengan PKI. Tujuan pembentukan milisi ini untuk menumpas aksi pasukan DII/TII yang berada di Aceh Tengah.
Di Aceh, pasukan DI/TII dipimpin Teungku Mohammad Daud Bereu’euh. Dia adalah seorang ulama dan pernah memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada 21 September 1953, Bereu’euh menyatakan Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Di Aceh Tengah, pasukan DI/TII dipimpin Tengku Ilyas Leubeu.
Perlawanan Bereu’euh dihadapi presiden Soekarno dengan diplomasi. Beureu’euh setuju menyerah setelah Soekarno menjanjikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada Desember 1962, pasukan DI/TII turun gunung.
Setelah itu pecah peristiwa 1965. Kali ini PKI mendapat serangan balik dari bekas pasukan DI/TII. Sebagian menjadi algojo dalam pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis.
DI lapangan Musara Alun Takengon, Aceh Tengah, seorang tentara bernama Ishak Juarsa memimpin rapat terbuka. Lelaki ini asal Banda Aceh. Di situ Juarsa memberi pidato di hadapan massa yang terdiri anggota polisi, tentara, WMD, dan sejumlah warga. Bulan Oktober 1965 itu, dari Jakarta hingga Aceh, kebencian terhadap PKI memuncak.
“Kikis habis PKI sampai ke akar-akarnya! ” kata Juarsa dengan nada tinggi.
“Kalau dalam sebuah desa ada yang tidak melaporkan, maka desa itu akan dihancurkan!”
Pertemuan itu dilaksanakan pada hari kesepuluh Ibrahim Kadir mendekam di dalam sel tahanan. Dia mendengar kabar tentang pertemuan akbar itu dari orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.
Keesokan hari setelah pertemuan itu, orang-orang yang dituduh pemimpin atau anggota PKI dipanggil keluar dari sel. Pada malam hari penjaga tahanan memanggil satu per satu nama para tahanan.
“Guru Rama! Guru Daud…!”
Tapi, nama Kadir belum disebut-sebut.
“Kami mau dibawa kemana?” Kadir mendengar beberapa orang yang namanya dipanggil bertanya kepada penjaga.
“Kalian akan dipindahkan ke Banda Aceh!” bentak penjaga.
Mereka diangkut dengan truk.
Orang-orang dalam tahanan tidak pernah tahu apa yang terjadi di luar penjara sampai datang beberapa orang baru sebagai tahanan.
“Apa Guru Rama, Guru Daud, dan teman-temannya kemarin ditahan di sini?” tanya tahanan yang baru datang.
“Iya. Betul!” sahut Kadir.
“Mereka semuanya telah menjadi mayat di Gorelen,” balas si penghuni baru. Gorelen adalah nama daerah di pinggir jalan antara Takengon dan Bireuen.
Mendengar cerita itu semua tahanan terkejut. Kadir dan tahanan yang belum dipanggil, akhirnya sadar. Kalimat “ke Banda Aceh” adalah sandi untuk membawa para korban ke tempat eksekusi. Kadir dan tahanan lain mulai ketakutan. Tubuh Kadir menggigil. Dia takut di-Banda Aceh-kan.
Petugas akhirnya memanggil Kadir. Tapi petugas tidak mengajak Kadir pergi “ke Banda Aceh”. Dia juga tidak menjalani proses interogasi. Seperti juga yang lain, Kadir sama sekali tidak menjalani proses hukum lazimnya seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan. Kadir malah menjadi saksi mata dalam proses eksekusi itu sendiri.
MALAM itu sinar bulan menerangi dataran tinggi Gayo. Hawa dingin menusuk tulang. Di penjara Takengon, penjaga memanggil satu per satu nama dalam daftar tahanan. Mereka yang dipanggil dibawa ke ruangan tersendiri. Penjaga memerintahkan Kadir mengikat para tahanan. Tiap kepala tahanan ditutup karung goni, lalu diangkut ke atas truk Dodge. Kadir ikut bersama mereka. Truk berangkat “ke Banda Aceh”. Sebuah lokasi eksekusi yang sebelumnya hanya didengar Kadir.
Setelah sampai di lokasi, satu demi satu tahanan diturunkan dari truk. Tak jauh dari tempat truk berhenti, Kadir melihat beberapa orang yang berlagak layaknya penjagal. Calon korban dibawa ke dekat tebing kemudian ditembak atau dipancung, lalu dilempar ke jurang. Meski hanya diterangi sinar bulan, Kadir bisa melihat jelas kibasan pedang dan bunyi letusan senjata.
“Seperti sudah menjadi tugas rutin, tiap malam saya mengikat orang-orang yang akan dibunuh dan ikut bersama mereka dalam truk,” ujar Kadir, lirih.
Lebih dari sepuluh kali ia menyaksikan para tahanan yang akan dibantai dari jarak antara lima hingga 15 meter. Kadir dibawa ke tiga lokasi pembantaian yang berbeda: Bur Lintang, Totor Ilang dan Totor Besi.
Bur Lintang adalah nama sebuah tempat yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari arah Takengon menuju Blang Kejeren, Gayo Lues. Ini kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam. Kini sebagian kawasan itu menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan Totor Ilang merupakan sebuah jembatan yang terletak antara desa Simpang Balek dan Blang Mancung, sekitar 11 ke arah utara kota Takengon. Begitu pula Totor Besi. Ini jembatan yang terletak di desa Simpang Teritit jalan yang menghubungkan Takengon dan Bireuen.
Malam-malam selanjutnya kian mencekam. Deru mesin truk yang memasuki halaman penjara, menjadi teror yang mengerikan bagi para tahanan. Para tahanan, juga Kadir, sudah paham, kedatangan truk itu untuk menjemput salah satu atau beberapa orang dari mereka untuk berangkat “ke Banda Aceh”.
Beberapa malam sebelum Kadir dilepas, ia masih menjalankan perintah mengikat para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Saat itu giliran seorang perempuan yang membawa anak. Seorang anggota WMD meminta sang ibu agar memberikan bayinya. Sang ibu menolak.
Dor!
Bayi mungil itu tewas saat masih dalam pelukan sang ibu. Peluru menembus hingga ke dada sang ibu. Keduanya terjerembab ke tanah. Mayat keduanya kemudian dilempar ke jurang. Kadir tidak berdaya. Kedua telapak tangannya segera menutup wajahnya. Namun, semua tragedi itu terekam dalam ingatannya.
Peristiwa-peristiwa pembantaian itu dia catat dan dicurahkannya dalam syair. Salah satunya, syair yang berjudul Ratapan.
Bintang bulan cengang menjerit
Memandang tubuh yang terpaku
Ibarat patung tak berkutik
Risau rindu tak berulang
GELOMBANG anti PKI atau komunis menjalar hingga ke desa-desa di Takengon. Suasana kota kecil di dataran tinggi Gayo ini jadi sunyi dan mencekam. Lampu-lampu teplok menerangi rumah-rumah warga. Kesunyian pecah ketika deru truk membelah jalan utama. Deru mesinnya seperti membawa beban yang sangat berat.
Muhammad Iwan Gayo masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Takengon saat itu. Jarak sekolah dan rumahnya hanya 300 meter. Pada malam-malam itu, dia kerap duduk bersama sang ibu, Hajah Bona, di dalam rumah. Rumah mereka tak jauh dari jalan raya.
“Mereka membawa PKI untuk dibunuh,” bisik sang ibu ketika suara truk menjauh. Meski tidak ada orang lain di dalam rumah, sang ibu tetap berbisik-bisik seakan tak ingin ada seekor semut pun mendengar percakapan ibu dan anak itu.
Suatu kali, Iwan Gayo menjadi saksi pembunuhan seorang warga. Namanya Islah. Dia penjaga Masjid Raya Quba, kecamatan Bebesen. Islah adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, seorang ulama yang berpengaruh di tanah Gayo. Tapi Islah dituduh sebagai anggota PKI.
Menurut keterangan Teungku Muhammad Isa Umar, guru di Pendidikan Guru Atas Takengon, Islah bukan penjaga mesjid melainkan tinggal dekat masjid. Anggota polisi Aceh Tengah, kata dia, saat itu menangkap Islah. Dia dituduh telah membakar Masjid Quba Bebesen. Pembakaran terjadi dua bulan sebelum peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada malam hari 21 Juli 1965. Masjid itu memang terbakar, tapi warga menyangsikan Islah sebagai pelakunya. Tapi polisi menuding Islah biang keladinya. Umar kini menjadi ketua Pembangunan Masjid Raya Quba Bebesen.
“Kedua tangannya diikat ke belakang. Kedua jempolnya diikat dengan rambut perempuan,” kata Iwan, melanjutkan ceritanya.
Semula dia tidak tahu akan ada rencana eksekusi terhadap Islah. Dia baru tahu ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah. Dia mendengar pengumuman dari tentara. Isinya ajakan kepada warga agar datang beramai-ramai ke Masjid Quba sore itu. Karena akan ada rencana eksekusi terhadap orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
“Itu diumumkan secara terbuka,” ujar Iwan.
Namun eksekusi tidak jadi dilakukan di sore hari itu. Tentara membunuh Islah pada malam harinya. Mereka mengeksekusi Islah di antara Jalan Kebet ke arah Tan Saril, dekat kota Takengon. Keesokan paginya, bersama sejumlah penduduk desa, Iwan melihat sosok mayat Islah. Lehernya nyaris putus. Kepala Islah tertutup kain sarung. Ususnya terburai dimakan anjing. Saat itu banyak anjing-anjing liar yang kelaparan di kawasan itu.
Beberapa hari setelah eksekusi Islah, warga desa tempat Iwan tinggal kembali heboh. Saat itu warga menemukan sesosok mayat lagi. Iwan Gayo ikut melihat mayat itu. Jenazah itu dikenali sebagai penjual ikan asin yang berdagang di Pasar Takengon. Lelaki itu berasal dari desa Nosar, di pinggiran Danau Laut Tawar. Dia dieksekusi di antara jalan desa Asir Asir dan desa Uning Kirip. Kedua desa ini terletak di tepi sungai yang berhulu di Danau Laut Tawar.
Mayat ketiga adalah lelaki berpeci hitam. Kedua tangannya diikat ke belakang. Iwan mengenali mayat itu. Sebelum menjadi mayat, lelaki itu bersama-sama dengan Iwan dalam perjalanan dari Takengon menuju kecamatan Bintang. Mereka berada dalam satu kapal kayu bersama sejumlah lelaki lainnya. Saat itu, kapal kayu menjadi alat transportasi utama di Danau Laut Tawar.
“Saya ke Bintang dengan kakek. Di dalam kapal, di sebelah kiri juru mudi, duduk seorang laki-laki. Saya mendengar samar-samar dari penumpang di kapal tersebut bahwa dia itu PKI. Kedua tangannya diikat ke belakang,” kisah Iwan Gayo.
Lelaki itu terlihat pucat. Sang kakek menyuruh Iwan agar memberi rokok kepada lelaki itu. Dia kemudian mengambil tembakau dan daun nipah dari tempat rokok milik kakeknya. Setelah dilinting, Iwan segera menyorongkan rokok ke mulut lelaki yang tampak ketakutan itu. Lalu membakarnya.
“Pada saat turun, lelaki itu masih berjalan searah dengan kami dan ketika sampai di desa Cik, kecamatan Bintang kami berpisah. Besoknya saya mendengar lelaki tersebut sudah dibunuh di desa Pulo,” kata Iwan, dengan suara bergetar.
Inen Sur, perempuan asal kecamatan Bintang yang bekerja sebagai guru sekolah dasar, menyaksikan pembunuhan lelaki yang diberi rokok oleh Iwan Gayo. Menurut Inen Sur, pria itu berasal dari Blang Kejeren. Dia ditangkap di desa Weh Ni Pongas, kecamatan Bukit.
“Sebelum dibunuh, lelaki ini mengatakan, ‘Saya bukan PKI! Saya orang miskin! Ada orang yang menyuruh saya tandatangan surat dengan janji kalau saya menandatangani surat itu saya akan dapat tanah,” kata Inen Sur menirukan teriakan lelaki malang itu sebelum meregang nyawa.
AKSI pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dimulai setelah rapat yang dihadiri oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip) dengan Komandan Kodim Aceh Tengah, Mayor Sabur (belakangan Sabur dibunuh karena terbukti sebagai anggota PKI). Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Aceh Tengah yang bernama T. Abdullah. Kegiatan ini digelar di Lapangan Simpang Tiga Redelong.
Muhammad Saleh hadir mewakili satuan Hansip. Dia warga desa Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia orang Jawa. Istrinya dua, dua-duanya asli Gayo. Saleh tinggal di Pondok Gajah sejak masih belia. Kedua orangtuanya meninggal dan dimakamkan di desa ini.
Saleh pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat atau SR yang ada di Takengon. Saat itu, kebanyakan gurunya ikut dalam organisasi Muhammadiyah. Saleh belakangan juga menjadi pendukung dan pengikut setia organisasi keagamaan ini.
Ketika remaja, Saleh menjadi anggota Tentara Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya, Prajurit Satu. Dia menjalani dinas ketentaraan sejak 1959. Berkat kedisiplinannya, tiga tahun kemudian Saleh terpilih dalam unit pasukan yang dinamai Combat. Anggota unit ini merupakan serdadu pilihan yang berasal dari beberapa kompi yang ada di Aceh. Anggota pasukan ini dianggap paling siap dan memiliki kemampuan untuk diterjunkan dalam perang di Irian Barat. Pada tahun 1962, pemerintahan Soekarno tengah gencar melakukan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda.
Saleh dan anggota Combat lain di Aceh dilatih di Pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Setelah melakukan latihan dan dianggap siap diberangkatkan ke medan tempur, Letnan Manan sebagai kepala pelatih memerintahkan anggota pasukan ini untuk meminta restu orangtua sebagai salah satu syarat sebelum ikut dalam Operasi Mandala. Mereka diberi cuti pulang kampung. Saleh pulang ke Pondok Gajah.
Malang, kedua orangtua Saleh tak merestui niatnya ikut bertempur di pulau di ujung timur Indonesia itu. Setelah melaporkan kabar dari kampung, pemimpinnya memberi dua pilihan: tetap menjadi tentara meski tak dikirim ke Irian Barat atau berhenti sebagai prajurit. Saleh memilih yang terakhir. Latihan yang dia jalani di Seulawah sia-sia jika dia tak ikut berangkat. Tahun itu juga, Saleh memutuskan melepas semua atribut ketentaraan.
Saleh kembali ke Pondok Gajah. Dia memperoleh satu hektare kebun teh dari pemerintah sebagai imbalan. Namun pengalaman kemiliterannya masih terus dia gunakan. Di kecamatan Bandar, Saleh bergabung dalam Hansip. Pangkatnya, wakil komandan peleton. Sedangkan posisi komandan peleton dipegang Ajudan Thaleb. Dia mantan anggota pasukan DII/TII yang kemudian menjadi anggota TNI. Sedangkan di desa Pondok Gajah, Saleh adalah Komandan Hansip. Markasnya di Simpang Tiga Redelong, ibukota kabupatan Bener Meriah sekarang ini.
“Dalam rapat diputuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap anggota PKI. Penyelamatan di sini maksudnya pembunuhan terhadap anggota PKI,” Saleh mengungkapkan.
Pertemuan pagi itu memutuskan daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk pembersihan. Seperti desa Pondok Gajah, Pondok Baru, Sidodadi, Blang Jorong, Bakaran Batu, dan Blang Pulo. Di desa-desa ini mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Pada malam pertama desa yang akan dibersihkan dari PKI adalah desa Pondok Gajah. Hari kedua desa Pondok Baru. Ketiga desa Sidodadi dan Bakaran Batu. Berikutnya desa Blang Jorong. Desa Blang Pulo terakhir.
Namun korban pertama dari rangkaian pembantaian ini adalah keuchik atau kepala desa Jongok Simpang Tiga bernama Lonos. Desa itu hanya beberapa meter dari tempat pertemuan. Saleh ikut dalam kelompok ini. Selain keuchik, dua warga lainnya, Aman Kar dan Aman Samsiar juga dibunuh. Mereka dibunuh sekitar pukul 10 pagi, setelah rapat bubar.
Kelompok Saleh mendapat tugas membersihkan orang-orang PKI di Pondok Gajah. Siang sebelum pembantaian, Saleh mendatangi orang-orang yang telah ada dalam daftar. Saleh berpesan pada mereka untuk datang malam hari, setelah salat isya, ke desa Kota Makmur. Ini tetangga desa Pondok Gajah. Kepada orang-orang yang didatangi, Saleh berpesan agar mereka ikut melakukan operasi ke desa Samar Kilang.
Malamnya, beberapa orang yang dipanggil Saleh berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Mereka dipanggil satu-satu. Saat itu, Saleh menghitung, ada sekitar 10 orang. Mereka adalah warga desa Pondok Gajah. Salah satunya adalah Mispan, ketua PR di Pondok Gajah. Setelah dipanggil, tangan mereka segera diikat ke belakang. Masing-masing diikat saling berhubugan satu sama lain, seperti ikatan berantai.
Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ini dibawa ke sebuah lokasi yang bernama B5, salah satu lokasi perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa Pondok Gajah, Pondok Baru dan Sidodadi dan desa disekitarnya merupakan areal perkebunan teh. Lokasi B5 berada sekitar empat kilometer ke arah timur dari desa Pondok Gajah. Tepatnya di persimpangan jalan antara desa Teleden dan desa Tanjung Beringin. Di sini terdapat jurang. Di tempat inilah orang-orang yang dibawa Saleh dibantai. Kini kawasan itu telah menjadi areal perkebunan kopi.
Operasi tahap pertama selesai sekitar pukul satu dini hari. Setelah kembali dari tempat itu, Saleh dan beberapa orang lainnya, dibantu dengan petugas Hansip berangkat ke desa Pondok Gajah. Mereka menangkap sepuluh orang lagi yang dituduh sebagai anggota PKI.
Saat itu diperkirakan ada sekitar 20 orang yang terlibat anggota PKI di desa Pondok Gajah, mereka merupakan anggota PR atau Barisan Tani Indonesia (BTI)
Mereka berhasil menangkap 10 orang lagi, di antaranya Wakidi, Nasir, Sarimin, Perono, dan Paimin. Mereka dibantai di sebuah tempat bernama Kubangan Gajah, dekat desa Pondok Gajah. Kubangan ini berbentuk seperti kolam dangkal tapi melebar. Lokasi pembantaian ini sampai sekarang tetap dibiarkan seperti itu dan tidak ditanami apapun. Tempat ini berada di dekat pintu masuk ke Balai Penelitian Kopi Gayo di desa Pondok Gajah.
Pada tahun 1980-an, Saleh mengungkapkan, kerangka mayat orang-orang yang dibantai di bekas kubangan Gajah, Pondok Gajah, sudah dipindahkan ke pekuburan umum desa di perbatasan desa Pondok Gajah dan Pondok Baru. Kuburan ini dipisahkan dengan kuburan masyarakat yang lain. Tanpa ada tanda khusus dan dibiarkan ditumbuhi semak.
SAYA menemui Saleh di rumah bantuan yang dia tempati dengan istri keduanya. Rumah bantuan ini dibangun di atas tanah bekas rumahnya yang dibakar pada awal-awal konflik di Aceh, sekitar tahun 2000. Tembok dan lantai semen bekas rumahnya yang terbakar masih tersisa. Rumah ini tersambung dengan gudang kopi. Halamannya luas, digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Saleh adalah salah seorang tauke kopi yang cukup dikenal petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sebelum usahanya terbengkalai akibat konflik, dia bisa mengirim bertruk-truk kopi ke Medan. Kini usianya sudah hampir 70 tahun. Dia hanya sesekali pergi ke kebun kopi di belakang rumahnya.
“PKI pada saat itu, sama dengan pada masa jayanya Partai Golongan Karya (Golkar), mereka ada di mana-mana. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah,” kenang Saleh.
“Saat itu di (desa) Pondok Gajah ini, tinggal keluarga saya yang tidak masuk menjadi anggota PKI.”
“Apa alasan Bapak tidak jadi anggota PKI?” tanya saya
“Saya tidak masuk jadi anggota PKI karena pengaruh guru-guru saya sewaktu saya sekolah di Takengon. Rata-rata guru saya adalah Muhammadiyah. Dan dari bacaan saya sewaktu sekolah, saya masih ingat tentang pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Dan saya tidak masuk menjadi anggota PKI.”
Namun karena begitu kuatnya pengaruh PKI di desa, hampir seluruh warga jadi anggota PKI. Kecuali keluarga Saleh. Akibatnya, dia dan keluarganya dikucilkan dan tidak dibolehkan ikut kegiatan-kegiatan di desa. Pernah suatu kali Saleh nekat tetap mencoba ikut gotong-royong membuka jalan desa di Pondok Gajah. Dari rumah dia membawa cangkul dan berangkat naik sepeda. Di kanan-kiri jalan, Saleh melihat umbul-umbul merah bendera berlambang palu-arit. Tapi begitu tiba di lokasi, dia ditolak oleh anggota PKI. Saleh disuruh pulang.
“Mereka menyuruh saya untuk makan yang enak-enak. Biasanya kalau ada yang menyuruh kita makan yang enak-enak dan orang itu bermusuhan dengan kita, mereka mempunyai tujuan tertentu. Boleh jadi mereka akan membunuh. Ini seperti pesan, kamu mau mati dan selagi sempat, makanlah yang enak-enak,” terang Saleh.
Tidak hanya itu. Timan pernah diusir saat mendatangi calon istrinya di desa Sidodadi. Timan adalah abang kandung Saleh. Saat itu Saleh ikut mengantar Timan untuk melaksanakan akad nikah. Jarak dari Pondok Gajah ke Sidodadi sekitar empat kilometer. Desa itu salah satu basis PKI di Aceh Tengah. Tapi rombongan keluarga Saleh ditolak. Alasannya, keluarga Saleh bukan anggota PKI.
“Dengan segala upaya kami tetap berusaha. Tetapi tetap tidak diterima.”
Pernikahan tetap harus dilangsungkan. Saleh menghubungi Imam Mukim Kute Teras yang membawahi desa Sidodadi. Imam Mukim itu adalah ketua Muhammadiyah tingkat kecamatan. Setelah itu, dengan bantuan Imam Mukim, akad nikah Timan bisa dilangsungkan.
Permasalahan masih belum selesai. Ketika akan melaksanakan hajatan di rumah mempelai keluarga Saleh, sebagian besar warga desa Pondok Gajah tak mau membantu mereka. Hajatan baru bisa dilakukan setelah Saleh meminta bantuan teman-temannya dari satuan Hansip di kecamatan.
“PKI pada saat itu seperti Golkar pada masa jayanya. Semua tingkatan ada orang PKI. Di sekolah, unsur pemuda, petani dan dalam struktur pemerintahan, militer maupun Sipil,” ungkap Saleh.
Saat Golkar berjaya di bawah rezim Orde Baru, Saleh tidak pernah mendukung partai itu. Istri Saleh bekerja sebagai guru. Pada masa itu, korps guru menjadi mesin politik yang jadi lumbung suara bagi Golkar. Suami-istri itu wajib memilih partai itu. Tapi Saleh selalu berkelit. Menjelang Pemilihan Umum, Saleh terkadang harus sembunyi di gua-gua atau di kawasan Dedesen, di tepi Danau Laut Tawar. Dia cemas karena kerap mendapat ancaman dari aparat.
Dedesen adalah tempat penangkapan ikan Depik (Rasbora tawarensis), ikan yang banyak terdapat Danau Laut Tawar. Tempat ini banyak terdapat di tepi danau, biasanya dibangun di antara pertemuan air dari pegunungan dan air danau. Bentuknya persegi, dan dikelilingi papan. Luasnya antara empat hingga lima meter persegi. Bagian atasnya ditutupi dedaunan, bagian dasarnya adalah dasar danau. Tempat itu menjadi tempat ikan depik bertelur.
AWAL Februari 2008, saya mengunjungi rumah Iwan Gayo di desa Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Lelaki ini pernah bekerja sebagai wartawan. Dia juga pernah mendapat penghargaan Adinegoro, hadiah tertinggi dalam jurnalis yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1981.
Namanya melambung lewat sejumlah bukunya yang saya kenal saat duduk di bangku SMP Negeri Janarata Kecamatan Bandar. Iwan Gayo menulis Buku Pintar Seri Senior dan Buku Pintar Seri Junior. Buku-buku itu lumayan tebal. Isinya macam ensiklopedia. Sekarang dia menjadi kepala Hubungan Masyarakat Komite Percepatan Pembentukan Provinisi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA) yang berjuang untuk pembentukan Provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh.
Iwan menceritakan kepada saya tentang kondisi pada masa-sama kelam di Aceh Tengah. Tahun 1965 menjadi masa yang suram bagi penduduk di Aceh Tengah. Terutama guru-guru. Pendidikan bagi anak-anak sekolah jadi terabaikan. Iwan menyebut sejumlah gurunya yang hilang.
“Ibu Hamidah, Ibu Sambani, Pak Guru Rama, Pak Daud, dan Ibu Nurlaeli yang suaminya sopir truk,” ujar Iwan, mengenang.
Pak Guru Daud dan Pak Guru Rama sempat ditahan bersama Ibrahim Kadir dalam penjara di Takengon. Iwan Gayo belakangan tahu bahwa Guru Thd. Rama adalah Ketua PKI Aceh Tengah.
“Saya pernah melihat Pak Guru Daud di penjara Takengon,” katanya.
Dinding penjara itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk. Lubang-lubang besar di sana-sini. Di antara lubang-lubang itu Iwan Gayo mengintip kegiatan yang dilakukan para tahanan dalam penjara.
“Kebiasaan tahanan pada siang hari adalah berjemur di balik jendela yang berjeruji. Ada dua atau tiga orang yang berjemur secara bergantian,” kata Iwan.
Suatu kali, dia dilarang Pak Guru Daud mengintip-intip dari celah-celah dinding papan.
“Sana kamu, anak kecil!” Iwan menirukan ucapan Pak Guru Daud.
“Beberapa hari lagi kita akan menang!” kata Pak Guru Daud, lagi.
Iwan tak mengerti apa maksud Pak Guru Daud dengan kata-kata “kita akan menang”. Belakangan, dia hanya menebak-nebak, bahwa itu mungkin berhubungan dengan angkatan kelima PKI, yaitu petani dan nelayan yang dipersenjatai. Namun, Iwan merasa amat sedih. Dia jadi tidak bisa belajar. Apalagi ketika mengingat guru perempuan bernama Nurlaeli. Dia amat terpukul.
“Ibu Guru Nurlaeli saat itu baru melahirkan. Dia ditangkap, dibawa ke penjara dengan bayinya. Kemudian hilang, sampai sekarang tidak tahu kuburnya. Mungkin sudah dibunuh,” kata Iwan kepada saya.
Saya coba menghubungkan kesaksian Iwan ini dengan apa yang diungkapkan Ibrahim Kadir. Di antara malam-malam di mana Kadir ditahan dalam penjara, dia menyaksikan seorang perempuan dan bayinya yang tewas ditembak anggota WMD di bibir jurang. Barangkali, perempuan malang yang dimaksud Kadir adalah Ibu Guru Nurlaeli bersama bayinya yang dikenal Iwan.
IBRAHIM Kadir seakan kehilangan harapan ketika menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang yang sebelumnya ditahan di penjara itu. Saat itu, ketika dia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya, Kadir menemukan ide dan berharap untuk segera dibunuh.
Ketika itu dengan kondisi badan yang masih lelah karena baru pulang dari mengantar para tahanan yang dieksekusi, dia menuju jendela sel tahanan. Sambil memandang ke luar dan memegang jeruji besi jendela penjara dia memulai aksinya, menyanyikan syair yang diciptakannya dengan keras-keras.
“Saya berharap, yang paling terganggu adalah sipir penjara, dan mereka semua marah dan langsung menembak saya di tempat. Sehingga kalau saya mati, ibu, istri, anak serta keluarga saya yang lain akan tahu di mana mayat saya. Teman-teman satu sel yang belum dibunuh yang mendengar syair tersebut, semuanya menangis,” kenang Kadir.
Syair itu dilantunkan dalam bahasa Gayo. Terdiri dari 23 Bait dan 92 baris. Dia memberi judul syair tersebut Sebuku, kurang lebih berarti ratapan.
Tanpa dia sadari, saat itu ada seorang serdadu yang merekam ratapannya. Keesokan harinya dari Gedung Panggung Hiburan Rakyat Gentala yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kadir ditahan, dari pengeras suara yang digunakan, para tahanan mendengar sayup-sayup syair yang dibawakan Kadir pada malam sebelumnnya. Pada saat syair tersebut diperdengarkan, di tempat tersebut sedang berlangsung pertemuan tokoh-tokoh partai, tokoh-tokoh tersebut berasal dari PNI, Masyumi, PSII dan partai lainnya. Kecuali dari PKI.
“Bukankah itu syair yang kamu nyanyikan tadi malam?” tanya teman satu selnya waktu itu. Dan Kadir mengiyakan.
Belakangan syair itu malah menyelamatkan Kadir dari eksekusi. Dalam pertemuan tokoh-tokoh partai tersebut, ada yang tertarik dengan syair itu. Dan menanyakan siapa yang melantunkannya. Setelah ditelusuri, si penanya mendapat jawaban: Ibrahim Kadir. Beberapa tokoh PNI dalam pertemuan tersebut kontan marah. Mereka mengatakan bahwa Kadir bukan anggota PKI, melainkan anggota PNI.
“Saya tidak ada hubungannya dengan PKI dan memang benar saya anggota PNI,” kisah Kadir kepada saya.
Selang beberapa hari dari kejadian tersebut, Kadir dipanggil ke kantor Kodim Aceh Tengah. Dia dimasukkan ke sebuah ruangan. Di situ ada meja panjang yang ditutupi taplak meja hijau. Di belakangnya, di atas kursi duduk bersisian Kepala Kejaksaan Takengon, Bupati Aceh Tengah Aman Sani, Komandan Kodim, dan dua orang hakim. Mereka mengatakan, “Maaf, guru tidak bersalah.”
“Saya marah sekali,” ujar Kadir.
“Hampir saja saya tumbuk mereka. Saya tanya mengapa mereka tidak menanyakan itu pada awal-awal penangkapan saya. Mereka hanya minta maaf, dan mereka mengatakan mendapat informasi yang salah, kemudian saya dibebaskan,” tambahnya
Tahun 2000, syair-syair Sebuku yang menyelamatkan Kadir menjadi ide cerita film Puisi Tak Terkuburkan. Film itu digarap sutradara Garin Nugroho. Di situ, Kadir berperan sebagai pemeran utama. Tahun 2001, Kadir meraih penghargaan sebagai pemeran pria terbaik dalam Festival Film Internasional Singapore. Lewat film itu, masa kelam di dataran Gayo pelan-pelan diketahui orang banyak.
ULF Sundhaussen menulis tragedi kemanusiaan di Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967. Di situ dia mengatakan, “Salah satu daerah yang paling awal melakukan pembantaian terhadap anggota PKI adalah Aceh.”
Korban yang ditimbulkan oleh operasi ini sangat besar. Guru-guru dan orang pandai yang seharusnya bisa memajukan pendidikan untuk anak-anak Gayo dibantai dan jumlah korban diperkirakan mencapai 2500. orang. Sementara jumlah penduduk Aceh Tengah pada saat itu hanya 25.000 orang.
Banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya dapat dari informasi yang tidak jelas. Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah. Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban. Seperti urusan batas tanah, warisan dan urusan pribadi lainnya.
Tak ada verifikasi, dengan hanya mendapatkan informasi dari seseorang, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai. Banyak kasus seperti ini ditemukan, tak ada tempat untuk pembelaan bagi para korban. Untuk menggambarkan banyaknya korban akibat fitnahan seperti ini muncul istilah “tilok wan opoh kerong”. Artinya kurang lebih “menunjuk dari balik kain sarung”. Suatu tindakan yang menggambarkan seseorang yang melakukan fitnah untuk berbagai tujuan yang menyebabkan dibunuhnya orang yang dimaksud.
Yang banyak menjadi korban pada masa itu, selain masyarakat sipil dan kepala, adalah guru. Tidak jelas mengapa banyak guru yang menjadi korban. Entah karena pemimpin PKI di Aceh Tengah, Thd. Rama, adalah guru sehingga menyebabkan guru banyak dilibatkan, atau entah karena sebab lain. Ataukah memang para guru ini tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non-Vaksentral yang berafiliasi kepada PKI.
Menurut Daud Beuramat, guru sekolah dasar pada tahun 1965 dan kini telah pensiun, saat itu banyak guru di Aceh Tengah yang tidak mengenal PGRI non-Vaksentral. Tapi mengetahui PGRI hanya berdasarkan nama pemimpinnya, seperti PGRI Subandrio dan PGRI M.E. Subiadinata.
“PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandrio. Non Vaksentral artinya tidak tergabung dalam suatu wadah atau federasi,” kata Daud kepada saya.
Sedangkan Saleh menceritakan, ketika akan dibantai banyak sekali korban yang mengaku tak tahu apa itu PKI. Korban, kata dia, umumnya menganggap PKI adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Isaq adalah nama suatu tempat di kabupaten Aceh Tengah yang letaknya di jalan menuju Aceh Tenggara. Atau karena hanya menandatangani sesuatu yang isinya tidak diketahui oleh korban, karena korban kebanyakan buta huruf.
“Jadi korban dibodoh-bodohi dan ditipu,” kata dia.
Untuk menggambarkan masyarakat yang ditipu, dituduh terlibat PKI, lalu dibantai, orang Gayo selalu mengingatkan temannya dengan mengatakan, “Enti sembarang teken, kahe kona geleh!” Artinya jangan sembarang tanda tangan, nanti kena potong!
Ada lagi satu istilah yang berasal akibat maraknya pembantaian yang terjadi pada saat itu. Jika seseorang melihat sekelompok orang naik di atas truk terbuka, maka kata-kata yang muncul dari orang yang melihat adalah “Oya male i geleh!” sambil menggerakan tangan di leher seperti isyarat mau memotong. Kalimat itu artinya, hayo kamu mau dibunuh! Kata-kata itu masih sering diucapkan sampai sekarang jika melihat orang berada di atas truk, walaupun hanya bermaksud untuk gurauan. Trauma itu ternyata belum hilang.
Orang-orang tua yang mengalami masa tahun 1965 sering mengatakan, situasi saat itu lebih kejam ketimbang konflik tahun 2000. Tidak ada bunyi letusan senjata, tetapi mayat ada di mana-mana.
“Situasi pada saat itu lebih mengerikan dari konflik yang terjadi akibat pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” ujar Saleh.
Siklus kekerasan berulang, pada penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Beberapa anak-anak korban pembantaian tahun 1965 menjadi Tenaga Pembantu Operasi (TPO) TNI di Aceh Tengah. Saat konflik senjata makin meningkat di tahun 2000 sampai 2004, TNI kembali membentuk milisi-milisi pendukung operasi militer di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Anggota-anggota milisi ini banyak berasal dari desa Pondok Gajah, Pondok Kresek, Pondok Sayur, Sidodadi dan Blang Pulo. Desa-desa yang disebutkan tersebut dulunya merupakan daerah yang paling banyak penduduknya dibantai karena dituduh terlibat PKI. Dan anggota-anggota GAM sebagai lawan TNI/Polri di Aceh Tengah dan Bener Meriah banyak yang mempunyai hubungan dengan mantan anggota DI/TII. Hubungan itu seperti hubungan kekerabatan langsung dari orang tua atau kakek yang menjadi anggota DII/TII.
Saleh melihat sendiri unsur balas dendam oleh anggota DI/TII yang menjadi algojo dan bergabung dalam kelompoknya ketika melakukan pembersihan terhadap anggota PKI. Lelaki itu bernama Aman Budi. Saat hendak mengeksekusi, sambil mengayunkan pedang ke leher korban, ia mengatakan, “Mampus kau! Dulu ketika kami di hutan, kami sangat menderita karena perbuatan kamu.”
Pembersihan terhadap anggota PKI di Aceh Tengah, menurut Saleh, berlangsung dalam waktu enam sampai 10 hari. Setelah itu aparat TNI melarang segala penangkapan dan pembunuhan.
“Jika tidak ada perintah bahwa operasi harus diberhentikan, bakal habis keluarga yang dituduh sebagai anggota PKI,” ungkap Saleh.
Sementara keluarga korban yang dituduh PKI, selain menderita trauma juga merasa malu karena mendapat hukuman sosial dikucilkan dan dianggap orang anti Tuhan. Tidak percaya pada Tuhan merupakan dosa yang sangat besar bagi orang Gayo yang beragama Islam. Selain itu, keluarga-keluarga ini tidak bisa menjadi pegawai negeri dan meminta bantuan kredit ke bank.
Namun Iwan Gayo menyaksikan hal yang sebaliknya. Mereka yang dibunuh umumnya justru orang-orang yang saleh.
“Siapa bilang mereka tidak sembahyang? Semua guru dan orang-orang yang saya kenal dan dibunuh karena dituduh punya hubungan dengan PKI adalah orang yang taat beragama, mereka sembahyang,” tukasnya.
Meski begitu, pada masa merebaknya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia, orang Gayo lebih memilih untuk dikatakan PKI dari pada dikatakan GAM. Sebab, saat itu mengaku PKI tidak berakibat hilangnnya nyawa. Tapi jika dituduh GAM bisa-bisa nyawa melayang.
Konflik yang berakibat hilangnya kemerdekaan individu, rasa aman, nyawa dan harta, telah menumbuhkan suatu keinginan yamg kuat dari penduduk Gayo untuk hidup damai. Tapi mereka juga ingin pelaku kejahatan kemanusiaan itu dihukum. Kata-kata bijak Gayo mengatakan, ”Agih si belem, genap si nge munge.” Artinya Sudah cukup, jangan terulang lagi!
-
*) Mustawalad adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh. Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Pantau.
No comments:
Post a Comment