KORAN JAKARTA |
Gagasan
Kamis, 11 Juli 2013 | 03:00:34 WIB
ISTIMEWA
Gempa Gayo, Bencana Moral Bantuan
Mungkin inilah punktuasi ironi gempa di dataran tinggi
Gayo, Aceh : Presiden SBY bersama rombongan hanya menghabiskan waktu 30
menit bersama pengungsi, setelah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta
pada 9 Juli. Rombongan presiden tidak bermalam di lokasi.
Mereka memilih menginap di Lhokseumawe, kompleks PT. Arun LNG, sebuah perusahaan migas terbesar Indonesia (bekerjasama dengan Exxon Mobil Oil) yang mencapai puncaknya pada era 80-an. Setelah seminggu gempa (2 Juli), presiden baru hadir di titik bencana. Bencana gempa Gayo pun hanya diklasifi kasi sebagai bencana daerah. Awalnya sedikit orang, termasuk saya yang menganggap bahwa gempa yang berefek getar 6,2 skala richter ini akan menyisakan kerusakan dan nestapa yang sedemikian parah dan meluas. Menurut data Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BMKG) gempa yang berpusat di Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah ini menyebabkan lebih 40 orang meninggal, beberapa orang hilang karena tertimbun longsor, 2400 orang terluka, dan 22 ribu orang sebagai pengungsi. Adapun rumah yang rusak 15.919 unit dan 623 unit fasilitas umum termasuk perkantoran, sekolah, dan rumah ibadah porak poranda. Gempa ini merusak dua kabupaten: Bener Meriah dan Aceh Tengah. Bahkan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), 52 ribu orang kini terdata sebagai pengungsi karena banyak bangunan yang tidak lagi layak sebagai tempat hunian. BNBP sendiri telah mempersiapkan Rp. 40 miliar dana tanggap darurat. Pemerintah Aceh melalui Dinas Cipta Karya telah menganggarkan Rp. 21 miliar untuk pembangunan hunian sementara. Namun, seperti mengulang sejarah tanggap darurat bencana tsunami Desember 2004, bantuan yang telah terkonsolidasikan tidak terdistribusi dengan baik. Pusat bantuan ada di pusat pemerintahan (kantor bupati) dan militer (kodim). Sayangnya di sentral bantuan ini tidak ada mekanisme distribusi yang baik. Ketika masyarakat datang meminta bantuan diperlakukan dengan sangat ketat. Adapun para relawan dari LSM dan kelompok masyarakat yang berasal dari luar daerah Gayo yang tidak begitu mengenal titik-titik pengungsi yang terpencil. Seperti juga media, titik-titik bantuan hanya terpusat di "titik panas", atau tempat pengungsian terbanyak seperti di Kecamatan Ketol Aceh Tengah atau Kecamatan Timang Gajah Bener Meriah. Padahal seperti diriis, sedikitnya 70 titik tempat pengungsian tersebar di dua kabupaten dan susah mengakses bantuan. Ini melahirkan ironi dan satir yang cukup kompleks. Muncul adagium tikus mati di lumbung padi. Bantuan yang ada dan tidak didistribusikan dengan cepat sehingga problem kekurangan sandang dan pangan (terutama makanan, lauk-pauk, dan selimut karena daerah ini dikenal daerah dingin), semakin berular dan memilukan, apalagi di bulan Ramadhan ini. Belum lagi sikap lambat pemerintah Aceh. Sangat aneh ketika bencana ini terjadi, gubernur malah melakukan koordinasi dengan Menko Kesra di Jakarta. Wakil gubernur yang secara otomatis menjabat sebagai ketua Satkorlak juga tidak terampil menjalankan fungsinya. Lebih terkesan seremonial dan pekerjaan basi-basi dibandingkan melakukan kegiatan yang memungkinkan bencana tertanggulangi dengan lekas. Hal ini mungkin terbaca dari politik alam bawah sadar politik lokal. Sebagai representasi kekuatan mayoritas lokal (Partai Aceh), gubernur jelas memiliki identitas politik yang berbeda dengan daerah Gayo dan sekitarnya yang merupakan memiliki basis representasi politik nasional. Ini belum lagi "gempa politik" yang ditimbulkan masyarakat Gayo beberapa waktu lalu yang menolak pemberlakuan qanun Wali Nanggroe dan Bendara karena dianggap tidak merepresentasikan kepentingan mereka sebagai kelompok minoritas di Aceh. Seharusnya perbedaan baju politik tidak melahirkan sikap lancung apalagi untuk masalah penanganan bencana seperti ini. Seperti diamanatkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penanganan bencana harus didasarkan pada sikap kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, non-diskriminatif, dll. Itu belum lagi pemahaman tanggap darurat yang belum dipraktikkan secara ideal. Padahal seperti defi nisi tanggap darurat dalam UU menyebutkan "serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana." Ubah Haluan! Sebelum segalanya menjadi semakin berantakan, pemerintah nasional dan daerah Aceh harus melakukan evaluasi atas proses tanggap darurat yang terkesan kacau ini. Gubernur Aceh hanya menetapkan tenggat tanggap darurat hanya dari tanggal 3-16 Juli; sesuatu yang sangat absurd, karena penanganan minimal mendesak dan prioritas masih sangat diperlukan. Pemerintahan SBY sendiri juga agar tidak sekedar pandai mendesentralisasi penanganan bencana ini kepada daerah tanpa melakukan evaluasi dan koordinasi lebih lanjut. Melihat lambatnya penanganan tanggap darurat, dan bisa jadi akan berubah menjadi masalah sosial yang parah, presiden bisa menginst r u k s i k a n kementerian terkait untuk terus memonitor bencana di Gayo ini dan mengiventarisasi hal-hal yang belum dilakukan. Demikian pula partai politik peserta pemilu 2014 yang sudah mulai memancang panji-panji dan logo kepartaian di lokasi pengungsian, tidak hanya menjual citra, tapi benar-benar menunjukkan darma baktinya kepada korban. Jangan eksploitasi rasa sakit dan pedih masarakat untuk keuntungan elektoral. Imbangilah dengan pekerjaan kemanusiaan yang setimpal. Mumpung kebaikan di bulan Ramadhan ini akan diganjar berlipatganda. Seharusnya bencana di tanah Gayo ini menjadi pengalaman kesekian yang semakin mematangkan model penanganan. Jangan seperti keledai yang terperosok lagi lubang yang telah dilewatinya! Oleh Teuku Kemal Fasya Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe |
Search This Blog
Saturday, July 13, 2013
Gempa Gayo, Bencana Moral Bantuan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment