MK Kabulkan Adanya Hutan Adat, Hutan Rakyat ALA Aman Dari Eksploitasi Asing Yang Dijual Penguasa Aceh?
May 19, 2013Oleh: Izzudin Alqassam
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu.
Dengan dikabulaknnya Undang-udang tersebut maka tidak ada lagi tumpang tindih di antara hutan adat dan hutan negara, begitu juga dengan hutan rakyat Aceh yang selama ini telah diberitakan akan di eksploitasi atas persetujuan Gubernur Aceh.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh yang akan menghabiskan 1,2 juta hektar lahan itu akan digunakan untuk pertambangan, perkebunan sawit dan jalan lintas negara. Pembukaan lahan itu diduga akan semakin menyuburkan praktek illegal logging di provinsi terbarat ini.
Seperti yang dikatakan Effendi Koalisi Penyelamat Hutan Aceh sebelumnya mengatakan perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan area penggunaan lahan seperti perkebunan dan pertambangan sudah terjadi di beberapa daerah di Aceh seperti di Kabupaten Aceh Tamiang di Kecamatan Tamiang Hulu, Kecamatan Tenggulun dan Kecamatan Bandar Pusaka.
Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Aceh Selatan di Kecamatan Pasir Raja , Kecamatan Kluet Timur, Kecamatan Kluet Tengah dan Kecamatan bakongan.
” Pengusaha yang berada di balik RTRW ini banyak dari Malaysia, ada juga dari lokal. Tapi hampir semua hutan dikuasai pengusaha asing ,” ujar Effendi dalam jumpa pers di Jakarta.
Sejak 2001 hingga 26 Maret 2012 terjadi kebakaran di hutan Rawa Tripa Kabupaten Nagan Raya. Kasus ini melibatkan dua perusahaan perkebunan yaitu PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur (SPS). Keduanya diduga melakukan pembukaan lahan dengan membakar lahan gambut yang menjadi wilayah konsesi mereka.
Implikasi Keputusan MK, para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya.
“ Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 ,” kata Hakim Konstitusi M. Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Dengan putusan itu, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.
Semua suku memiliki kesempatan mendapatkan dan memanfaatkan kembali hutan mereka, ada banyak masyarakat hukum adat yang dapat memanfaatkan kembali hutan mereka sesuai dengan adat istiadat mereka. Serta penguasa (Gubernur Aceh) tidak boleh semena-mena menjual hutan Aceh yang dimiliki beberapa suku tersebut.
Dengan disahkannya Undang-undang ini, maka masyarakat atau suku yang berdiam di Aceh berhak “berontak” atas tindakan pemimpin Aceh yang akan menjual atau meng eksploitasi hutan di wilayah Aceh.
Sebelum keputusan MK di atas, masyarakat hukum adat semakin terjepit kerena hutan tempat tinggal mereka, hutan yang memenuhi kebutuhan hidup mereka, direbut oleh entitas bisnis/ perusahaan perkebunan kelapa sawit, pemegang hak pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan, perusahaan tambang maupun pendatang.
Maka, rencana pembentukan lembaga adat yang tergabung dalam wilayah (ALA dan ABAS) selama ini telah dirancang untuk dibentuk supaya segera disahkan. Agar semua masyarakat yang berada di Aceh haknya terlindungi dan tidak menjadi korban segelintir kelompok yang haus kekuasaan.
Dikutip dari beberapa sumber.
GAYO Nusantara.
No comments:
Post a Comment